Share

Amnesia Palsu, Tapi Melepaskannya Sungguh-sungguh
Amnesia Palsu, Tapi Melepaskannya Sungguh-sungguh
Author: Jora

Bab 1

Author: Jora
"Tante, aku dan orang tuaku hanya ingin menjengukmu." Suara manis kekanakan itu bergema lembut di dalam kamar rumah sakit.

Kepalaku masih dibalut perban. Aku menunduk untuk melihat putraku yang berusia lima tahun, Zavier Pahlevi, yang kedua tangannya sedang menggandeng salah satu tangan dua orang dewasa tersebut. Senyum licik terpatri di wajahnya.

Suamiku, Rayan Pahlevi, yang berpakaian sangat rapi itu sama sekali tidak berniat mengoreksi panggilan 'tante' dari putraku. Sebaliknya, dia hanya menatapku dengan sorot ingin tahu.

Wanita yang digandeng oleh Zavier mengenakan gaun panjang berwarna putih, terlihat anggun dan lembut. Saat tatapanku tertuju padanya, dia terlihat sedikit gugup dan segera menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

Zavier menyadari tatapanku pada Yuki Wisam dan segera berdiri dengan waspada di hadapanku. Bersikap seperti pelindung.

Kalau aku benar-benar amnesia, mungkin aku akan mengira mereka bertiga adalah keluarga kecil yang bahagia nan harmonis.

Zavier menarik pelan tangan Rayan dan berbisik, "Ayah, karena Ibu amnesia, apa kalian sekarang bisa bercerai?"

Meski dia sedang berbisik, suaranya diatur sedemikian rupa agar aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Aku tahu ini hanyalah trik kecilnya. Dia sedang menghukumku karena aku kemarin menegurnya dan membuatnya malu di depan orang lain. Dia marah.

Ini memang gaya jahil Zavier yang biasa. Dia senang mempermainkanku.

Namun, aku tidak ingin terus bermain dalam sandiwara kecilnya lagi.

Karena aku sudah mengatakan kalau aku amnesia, maka aku akan terus pura-pura melakukannya.

Berpura-pura kalau aku tidak punya anak dan suami ini.

"Maaf … kalian siapa?"

Zavier sedikit terkejut, suaranya terdengar agak panik, "Kamu benar-benar nggak ingat aku? Nggak mungkin kamu lupain aku. Aku ini … aku ini anak yang paling kamu sayangi."

Rayan mengernyitkan alisnya heran, sorot matanya makin tajam. Suaranya terdengar tidak sabar, "Natania, jangan pura-pura. Dokter bilang kamu hanya mengalami gegar otak ringan, nggak parah. Jangan kira kamu bisa menghindari perceraian dengan pura-pura amnesia."

"Benar! Jangan pura-pura lagi! Kamu sangat mencintai kami! Mana mungkin kamu bisa melupakan kami begitu saja!" Ekspresi marah dan sinis Zavier terlihat sangat mirip dengan Rayan.

Aku merasa rasa sakit di kepalaku datang lagi.

Belum sempat aku mengatakan apa pun, seorang perawat di depan pintu mengetuk dan berkata, "Pasien butuh istirahat. Mohon yang tidak berkepentingan untuk keluar terlebih dahulu."

Rayan dan Zavier segera pergi tanpa mengatakan apa pun, membawa serta Yuki.

Tak lama kemudian, seorang perawat muda masuk ke kamar dan berkata padaku, "Suami Anda baru saja datang, sekarang dia keluar sebentar untuk membelikan bubur."

"Suami saya?"

Kepalaku rasanya agak kacau. Bukankah 'suami' ku barusan sudah kamu usir?

Perawat muda itu berkedip dan menjelaskan, "Benar, sebenarnya saya dulu bekerja di bidang kebidanan dan kandungan empat tahun lalu. Saya beberapa kali melihat kalian. Kalian berdua sangat tampan dan cantik, jadi sangat sulit dilupakan."

Empat tahun lalu aku memang menjalani pemeriksaan kehamilan di rumah sakit ini, tetapi Rayan tidak pernah sekalipun menemaniku.

Perawat itu melanjutkan, "Dan suami Anda adalah orang yang jarang bermain ponsel sepanjang waktu. Dia menunggu Anda diperiksa sampai selesai dengan cemas di depan pintu."

"Dia tinggi, tampan juga sangat perhatian dan berdedikasi. Membuat kami para perawat percaya dengan cinta lagi!"

"Oh iya! Pria dewasa dan anak kecil tadi itu siapa? Memang tampan sih, tetapi wajah mereka seram seperti rentenir."

Aku terkekeh mendengar perkataannya.

Dari empat belas kali pemeriksaan kehamilan, Rayan memang tidak pernah datang sekalipun. Orang yang menemaniku adalah Samudra.

Dia adalah adik laki-lakiku. Dia lima tahun lebih muda dariku, saat itu usianya masih delapan belas tahun.

Aku tidak ingin repot-repot menjelaskan hubungan antara aku, Rayan dan Zavier. Lagipula, sebentar lagi kami memang tidak akan ada hubungan apa-apa.

Tak lama kemudian, Samudra masuk ke kamar membawa kotak makanan sambil terengah-engah.

Aku memang sudah lapar sejak tadi. Seharian ini aku belum makan apa-apa, perutku mulai terasa nyeri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Amnesia Palsu, Tapi Melepaskannya Sungguh-sungguh   Bab 14

    Seketika aku merasa panik, seolah-olah ada sesuatu di dalam hatiku yang diam-diam menghilang.Manusia memang makhluk yang selalu lambat menyadari sesuatu dan baru menghargainya setelah kehilangannya.Aku mulai membuka kembali unggahan-unggahan lamanya di media sosial, melihat kembali keseharian yang dulu pernah dia bagikan padaku.Aku tak bisa menahan senyum melihat isi obrolan kami dulu, bagaimana dia menceritakan segala hal dengan ceria dan penuh semangat.Ternyata, pesan-pesan yang dulu dia kirimkan padaku selalu sehangat dan semenarik itu.Namun, dalam riwayat obrolan itu, sebagian besar dialah yang mengirimkan pesan panjang dan lebar. Sementara aku jarang membalas bahkan membacanya.Lambat laun, dia mulai mengurangi frekuensi mengirim cerita kesehariannya padaku, bahkan berhenti menghubungiku terlebih dahulu.Hasrat seseorang untuk berbagi tidak pernah hilang, hanya berpindah tempat. Maka dia mulai mencurahkan hal-hal kecil dalam hidupnya kepada Samudra.Tanpa disadari, Samudra pe

  • Amnesia Palsu, Tapi Melepaskannya Sungguh-sungguh   Bab 13

    Dia mengundangku ke sebuah kafe untuk minum kopi bersama."Nona Natania, waktu itu di rumah sakit, aku mengira Zavier sedang menguji apakah kamu benar-benar kehilangan ingatan, jadi aku tidak langsung membantah. Untuk hal itu, aku memang harus meminta maaf padamu.""Aku seharusnya nggak ikut campur dalam hubunganmu dengan Rayan. Aku juga seharusnya nggak tergiur uang untuk menjadi guru privat Zavier."Yuki menundukkan kepalanya."Perceraianku dengan Rayan sama sekali nggak ada hubungannya denganmu, jadi kamu nggak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Aku tahu kamu bukan orang seperti itu."Aku memang masih berutang satu kebaikan pada Yuki.Saat masih kelas dua SMA, Yuki sempat pindah ke kelasku untuk sementara waktu.Saat itu, di kalangan sosial ibu kota, Yuki bisa dibilang seperti 'putri ' dari kalangan elit, tetapi sikapnya rendah hati dan tidak sombong. Dia selalu tersenyum lembut kepada semua orang. Sikap tenangnya sungguh luar biasa.Semantara aku yang masih berusia tujuh belas tahun

  • Amnesia Palsu, Tapi Melepaskannya Sungguh-sungguh   Bab 12

    "Aku tanya, kenapa dia sampai bisa kecelakaan?""Itu karena kamu meninggalkannya di jalan tol demi Yuki.""Saat dia sakit atau nggak enak badan, kamu ada di mana? Apa kamu pernah berpikir dia adalah istrimu saat kamu terus-terusan meninggalkannya?"Bibir Rayan menyunggingkan senyum kecut. Dia ingin menyangkalnya, tetapi semua yang pria itu katakan adalah kebenaran. Rasanya seperti seseorang sedang mencekiknya, seperti ada duri di tenggorokannya, membuat pikirannya kosong.Saat aku mendengar kalau Rayan menerobos ke kantor untuk mencari Samudra, aku segera memanggil satpam dan pergi ke lantai atas kantor bersama."Rayan! Apa yang kamu lakukan?" Begitu kami sampai keluar lift, aku melihat Rayan terlihat menarik kerah Samudra. Pria itu terlihat marah sekaligus malu.Satpam segera maju untuk menghentikan Rayan dan aku berdiri di depan Samudra.Sudut bibir Samudra yang bengkak terlihat mencolok di wajahnya yang pucat. Matanya berkaca-kaca, terlihat sangat menyedihkan. Aku dengan lembut meng

  • Amnesia Palsu, Tapi Melepaskannya Sungguh-sungguh   Bab 11

    Aku bersikap seolah tidak ada yang terjadi. "Hmm … memang brendi."Aku berjalan maju meninggalkan Samudra berdiri di belakang. Wajahnya memerah sampai telinga.Samudra segera menyusulku dan memelukku dengan erat. Dia sedikit membungkuk untuk melingkupi seluruh tubuhku. Wajahnya terbenam di leherku seperti seorang anak kecil yang bahagia.Dia terus-menerus bergumam, "Tania, Tania, aku sangat menyukaimu ….."Begitu kami sampai di rumah, Samudra terlihat sudah sadar dan menekanku ke pintu."Tania, boleh aku menciummu?"Saat dia melihatku mengangguk, dia seperti anak anjing yang melihat tulang, matanya terbakar hasrat.Kami berciuman sepanjang jalan menuju ranjang.Dia perlahan mencium tulang selangkaku dan saat merasakan badanku gemetar dia berhenti.Dia mendekat ke telingaku dan berbisik, "Tania, jangan mendorongku pergi."Di dalam kegelapan, aku membuka ikat pinggangnya.Rayan hanya duduk diam sambil minum di pertemuan yang diselenggarakan oleh teman-temannya.Dia tanpa sengaja mendenga

  • Amnesia Palsu, Tapi Melepaskannya Sungguh-sungguh   Bab 10

    Dia masuk begitu saja, seolah-olah sudah sangat akrab dan langsung menyelinap lewat celah pintu lalu duduk di sofa.Anak itu sama sekali lupa bahwa terakhir kali dia datang ke sini, bocah itu menyuruhku berlutut minta maaf padanya.Zavier membuka album foto, lalu menarikku mendekat."Ibu, lihat! Ini saat aku masih berada di dalam perut ibu dan ini foto saat aku baru saja lahir. Aku imut, 'kan? Nenek bilang aku bayi paling imut di seluruh rumah sakit."Dia sedang berusaha membangkitkan kembali rasa keibuanku.Tetapi, saat aku menatap foto-foto itu, hal yang kurasakan bukanlah kasih sayang, melainkan rasa kasihan pada diriku sendiri di masa lalu.Di foto itu, aku tampak sangat kurus. Perutku sangat buncit. Saat itu aku menderita muntah yang parah dan memuntahkan apa pun yang kumakan.Wajahku pucat dan lelah, rambut kering dan tak terawat. Zavier sudah sangat aktif sejak berada di dalam kandungan. Dia selalu menendangku saat tengah malam.Aku menatap foto-foto itu dan mendesah pelan, "Ego

  • Amnesia Palsu, Tapi Melepaskannya Sungguh-sungguh   Bab 9

    Dengan kaus katun putih dengan celana abu-abu, dia benar-benar seperti mahasiswa.Eh, dia memang baru saja lulus.Dia terlihat muda dan penuh energi. Aku hanya berbaring di sofa dan menghela napas.Lihat saja bagian belakang dan pinggangya.Ck, ck, ck sangat enak dipandang. Tidak heran banyak orang memelihara gigolo muda.Samudra berjalan menghampiriku sambil membawa secangkir kopi. Aku segera pura-pura membaca majalah dengan serius.Aku menerima kopi darinya dan menyesapnya sedikit. Saat Samudra duduk, Loli langsung melompat ke pangkuannya dan bersandar di perutnya.Tatapanku tertuju pada Loli yang menginjak-injak celana abu-abu Samudra dengan manja.Tunggu … celana abu-abu?Tanpa sadar pandanganku tertuju pada satu titik."Besar juga."Samudra mendekat ke samping telingaku, napas hangatnya menyapu cuping telingaku."Tania, kamu lihat apa?"Telingaku terasa geli. Napasku tercekat dan mataku tidak fokus."A … aku hanya bilang kalau kucingnya sudah besar."Dengan wajah merah padam aku l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status