Setelah dibukakan pintunya lebar-lebar. Kulihat Keyla datang tapi bersama suaminya, Firman. Pasti ia sengaja membuntuti istrinya karena disuruh oleh Mas Haviz.Aku melayangkan senyuman miring, rasa tidak menyukai kedatangan Firman pun aku tonjolkan."Kenapa sih suamimu ngintil terus? Takut kehilangan kamu atau nggak percaya?" Aku sengaja memberikan pertanyaan ini padanya. Mata mereka saling beradu pandang, lalu mengeluarkan senyuman mengembang. "Kami nggak disuruh duduk? Cuma disuruh masuk aja nih?" Sepertinya Firman sengaja mengalihkan. Tenyata Mas Haviz sudah mewanti-wanti pada Firman. Ini justru membuatku semakin curiga. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Keyla? Kenapa harus dicegah kalau memang bukan hal yang biasa?Aku mulai memikirkan ide, agar kedatangan Keyla tidak sia-sia. Sepertinya ia memang ingin mengatakan sesuatu. Namun, dihalangi suaminya, Firman. Caranya juga halus, dengan terus membuntuti Keyla. Jadi rumah tangga mereka pun tetap rukun tanpa harus ikut campur.
"Mimpi apa barusan, Man?" tanyaku sambil mengangkat alis. Kulihat mereka juga langsung beradu pandangan."Nggak tahu lupa, Ra. Emang tadi aku ngigau apaan?" tanya Firman balik. Aku pun menghela napas panjang sambil tersenyum.Sebenarnya aku tahu bahwa Firman hanya takut pada Mas Haviz. Ia adalah teman dekat yang terpercaya, lelaki yang dipegang memang hanya ucapannya, meskipun itu menjadi boomerang untuk orang lain nantinya."Sudahlah, lupakan masalah ngigau tadi, ngomong-ngomong kamu tuh tidur lama banget loh, kemarin nggak tidur ya?" candaku disertai mimik wajah ngeledek."Nggak tahu, tiba-tiba mataku ngantuk, apa jangan-jangan ...." Firman memutuskan ucapannya. Kemudian, ia menoleh ke arah istrinya."Nggak apa-apa, kamu cuma ngantuk aja, Mas. Sekarang udah nggak ngantuk kan? Kalau masih, aku yang nyupir mobil," tutur Keyla sambil berdiri.Ia meminta aku memanggil ibu mertuaku, dan Keyla pamit. Setelah itu mereka bergegas pergi. Sedangkan aku yang masih mengingat ucapan Keyla. Alama
Tiba-tiba telepon selulerku berdering. Dari orang tuaku di kampung."Ya, Mah. Ada apa?" tanyaku sambil mengamati kondisi salon. Khawatir Mas Haviz keluar."Eh iya, Ra. Minta nomor rekening kamu ya, nanti kalau uang cair Mama langsung transfer ke kamu," ucapnya dengan nada terdengar bahagia. Dimana-mana orang tua sangat bahagia jika memberikan sesuatu untuk anaknya. Kebahagiaannya tidak terkira, ia sangat terdengar semringah."Iya, nanti Ara kirim." Aku menjawab sambil celingukan."Kamu di mana sih? Kok sepertinya bising?" tanya mama."Di jalan, Mah. Udah dulu ya," jawabku kemudian mematikan sambungan teleponnya.Aku bergegas masuk ke dalam. Kulihat sekeliling, dan naik ke lantai atas. Kalau kata petugasnya, mereka berada di lantai atas."Tante!" teriak bocah kecil melengking.Padahal aku sudah diam-diam ingin memergoki mereka. Lagi-lagi ia memanggilku. Tidak lama kemudian, mamanya datang menghampirinya."Anggi, kamu ke play ground dulu ya, Mama ada urusan sebentar," tutur wanita itu p
"Oh jadi Mama masih bersikeras untuk menjodohkan Mas Haviz dengan anak teman Mama?" tanyaku disertai dengan senyuman."Iya lah, anak teman Mama itu udah jelas bibit bobot bebet nya, lah kalau kalian? Yang Mama heran tuh ya, Haviz kenapa sih mau nikahi kamu? Kalau Maya, Mama maklum kenapa dia tidak ninggalin Maya, tentunya karena Anggi adalah darah dagingnya. Sedangkan kamu, udah ibu rumah tangga, orang tua juga hanya tinggal di kampung, lalu apa yang dipertahankan?" Pertanyaan yang muncul dari mulut Mama Yuni sangat menyakitkan untukku. Namun, ini sudah sering kutelan mentah-mentah."Mah, jangan bawa-bawa keluargaku, mereka tidak tahu apa-apa, tolong jaga mulut Mama!" tekanku kesal.Kemudian, Maya juga tampak kesal karena seolah-olah Mama Yuni merendahkan para istri Mas Haviz."Mas, kamu jangan diam saja, lakukan sesuatu, tujuan kamu ke sini tuh untuk mengenalkan aku sebagai istri pertama, bukan malah dihina oleh Mama kamu begini!" sungut Maya terdengar kesal.Aku memutuskan untuk per
"Sini handphoneku!" Aku merampas ponsel yang tadi kuberikan padanya. Ada yang kulupakan, rekaman untuk gugat cerai ada di handphone itu, tapi aku malah mengembalikan semua pemberiannya, emosional yang membuatku lupa akan hal itu, "Ra, Ra," panggil mama masih tersambung."Nanti telepon lagi," sahutku, lalu mematikan sambungan telepon."Mama kamu sudah dengar penjelasan palsuku, Ra," ucap Mas Haviz penuh dengan kesombongan. Senyumnya dimiringkan seraya ia yang menang."Tunggu saja pembalasan aku, Mas," ancamku di hadapan Mas Haviz dan Mama Yuni. Mertuaku tampak ketakutan, ia berdiri di pojokan.Kemudian, aku pergi dari rumah Mas Haviz. Kudengar ia meneriakiku dari kejauhan. Namun, aku tak pedulikan itu.Lalu, ponselku berdering kembali. Dari mama lagi. "Ra, ada apa sebenarnya? Kenapa Haviz bicara seperti itu?" tanya mama."Nanti Ara jelasin, sekarang Ara mau pulang kampung," jawabku sambil berjalan ke arah depan jalan mencari ojek."Ya sudah, kamu hati-hati di jalan, ya. Dari tadi Mam
Mama melangkahkan kakinya dengan cepat. Matanya kulihat memerah seakan ingin marah. Aku coba ikuti langkah kakinya.Setibanya di ruang tamu, terlihat mertuaku dan Mas Haviz berdiri seraya menyambut kedatangan kami. Senyum tak lupa dipancarkan oleh mereka sembari menundukkan kepalanya. Mereka terlihat sopan dan jinak, padahal otak mereka isinya kelicikan."Kamu selingkuh kan, Haviz?" tanya mama sambil berkacak pinggang. Mamaku sudah pasang dada di hadapanku.Beberapa saat kemudian, papaku yang tidak mengetahui apa-apa datang menghampiri. "Kalau ada tamu tuh sediakan minum. Ara, ambil minum untuk mertua dan suamimu," suruh papa membuatku menghela napas berat."Pah, ngapain ngasih minum ke orang-orang songong ini?" Mama terdengar menentang dan marah."Mah, kamu apa-apaan sih? Jangan begitu di hadapan tamu," timpal papa belum paham juga.Kemudian, aku segera mengambil minum lalu menyediakan di meja agar cepat mengusir mereka.Mereka berdua belum mulai menyanggah dan menyangkal obrolan kal
Bu Halimah tampak kebingungan, ia menyoroti kami satu persatu. Aku tidak bermaksud mempermalukan keponakannya di hadapan orang tuaku. Namun, karena mertuaku juga ikut merahasiakan apa yang dilakukan anaknya, maka orang tuaku juga harus mengetahui ini."Cerita saja yang semalam Bu Halimah ceritakan," pintaku agar Bu Halimah tidak lagi kebingungan."Maksud saya bengong tuh kenapa ponakan saya disebut-sebut di tengah-tengah keluarga kamu, Ra?" tanyanya kebingungan. Walau bagaimanapun dia saudaranya, tentu masih berprasangka baik pada ponakannya itu."Ya, nanti saya jelaskan jika Bu Halimah bercerita," ujarku lagi.Kemudian, Mas Haviz memegang tanganku, tapi kutepis. Kini wajahnya bercucuran keringat seraya ketakutan dan tegang.Suasana hening, Mas Haviz yang didampingi ibunya pun saling beradu pandang juga. "Ada rahasia apa lagi yang Mama tidak ketahui, Viz?" tanya Mama Yuni yang tampaknya tidak mengetahui asal usul Maya Agustina.Mas Haviz mengedipkan mata seraya berkata pada ibunya unt
"Jadi, Maya Agustina adalah mantanku," ucap Mas Haviz membuatku seketika bangkit. Rasa pusing di kepala saat itu juga hilang, yang tersisa hanya luka di hati yang ia torehkan.Aku menyandar di sandaran ranjang. Menelan ludah karena teringat ucapan ia dulu yang bilang sudah tidak ada ikatan apa-apa dengan mantan-mantannya."Mantan yang masih berstatus pacar kah waktu itu?" tanyaku penasaran. Namun, ia menggelengkan kepalanya."Kami sudah putus, tapi Maya sulit melupakan aku, ia terus menerus mengejarku. Hingga pada waktu dua bulan sebelum kita menikah, saat itu sedang mempersiapkan undangan dan segala macam, Maya minta ketemuan," jawabnya sedikit jelas sekarang. Dari sini aku menangkap, bahwa wanita jika mencintai satu pria, ia takkan mudah melepaskannya begitu saja. Wanita lebih sulit membuka hatinya."Kemudian, kalian bertemu dan memadu kasih, begitu?" cecarku dengan nada menyindirnya. Saat ini bukan rasa sakit saja atas pengkhianatan Mas Haviz. Akan tetapi, aku merasa dibodohi deng