Aku menatap jalanan yang lumayan padat dari balik jendela mobil milik Adam. Lelaki itu duduk dibalik setir sambil menyesap rokoknya. Sengaja kubuka jendela lebar-lebar agar asap rokok menyebar.Aku tak suka lelaki perokok.Mama memaksa Adam mengantarku pulang ke rumah Papa, sementara Mama pulang sendiri menggunakan mobilku. Alasan karena hari sudah semakin malam dan tak baik jika gadis pulang sendirian.Cih. Mama malah menjebakku ke kandang buaya.“Nyokap lu yang mau kita dekat.” Adam tersenyum mengejar. “mau lu tolak kek apa juga nggak bakal berhasil. Mungkin kita jodoh.”Najis sekali berjodoh dengan lelaki seperti dia. Lebih baik aku menjadi perawan tua selamanya dari pada harus menjalani kehidupan bersama dia.“Mimpi.”Adam tertawa. “Dari dulu lu nggak pernah berubah, selalu bersikap acuh ke gue, dan itu bikin gue makin penasaran.”Aku tak menanggapi. Malas sekali. Jika bukan karena Mama, aku tak mau pulang dengan dia. Pak Rully sudah pulang terlebih dahulu sore tadi, jika boleh m
“Jadi selama ini kamu bersembunyi di rumah Mama saya?”Aku menggaruk pelipisku yang tak gatal. Salting alias salah tingkah. Ketahuan kalau sedang kabur.“Kamu tahu kalau saya—“Aku menggoyang-goyangkan kakiku. Seperti anak kecil yang sedang diomeli Bapaknya. Bedanya, aku sedang diomeli jodohku.Eh, maksudnya Bosku gara-gara menghilang tanpa kabar.“Sabia, kamu dengar saya?” tanya Pak Rully geram.Ya, aku tak tahu kalau ternyata inisial R.K dibuku novel yang ada dikamar ternyata Rully Khaidar, Bos galakku. Kalau tahu, juga aku tak mungkin bersembunyi di rumah ini.“Dengar, Pak,” ucapku takut-takut. Tak berani menatapnya takut dicium.Astaghfirullah salah lagi. Maksudnya takut dipelototi. Kalau aku jatuh cinta gimana? Repot nanti jadinya.“Kamu sudah melalaikan tugas kamu di kantor. Kamu juga lalai sebagai penulis naskah,” kata Pak Rully.Loh, kan sudah selesai?“Tapi, Pak—““Jangan menyela, Sabia. Saya belum selesai bicara.”Oke. Aku diam. Diam-diam mencintaimu. Asyik nyanyi.“Kamu jug
Pada akhirnya, aku tak tahu siapa yang Kukuh sukai. Gara-gara motor yang lewat, membuatku tak mendengar ucapan Kukuh.Mengapa ini begitu penting?Tentu saja. Ini soal hati dan perasaan. Aku akan mundur jika memang Kukuh mencintai wanita lain, asal bukan Sabia. “Loh, Sabrina? Kukuh?” Papa muncul dari dalam rumah.Kukuh mengambil tangan kanan Papa lalu menciumnya. Aku tertegun sebentar. Pantas saja Papa menginginkan menantu seperti Kukuh, sopan. Aku mengikuti apa yang dilakukan Kukuh. Sesuatu yang selama ini tak pernah kulakukan.“Kamu baru pulang?” tanya Papa. Aku mengangguk. “Tadi saya ketemu dengan Sabrina di depan gang, Om. Jadi sekalian saya antar pulang.”Papa tersenyum. “Terima kasih, saya kira kalian belum saling kenal.”“Kami sudah saling kenal sejak Sabrina tinggal di sini, Om.”“Oh, begitu.” Papa mengangguk paham. “ayo, masuk dulu. Om bik
Aku melirik Pak Rully dari balik laptop. Dia sedang duduk tak jauh dariku. Menatapku intens dengan kedua tangan yang dilipat didadanya dan kaki diatas satu kaki lainnya. Mirip di film luar negeri, bos mafia yang siap menembak hatiku.Dor. Matilah aku.Beberapa kali aku berdehem, menghilangkan kegugupan diantara aku dan dia. Sejak dia bilang sesuatu yang aneh tadi sore, jujur saja aku jadi merasa canggung.“Mungkin saya bisa dengan mudah mencari penggantimu di kantor, tapi tidak dengan posisi kamu di hati saya.”Ucapan Pak Rully terus terngiang dikepalaku, membuat konsentrasiku buyar seketika.Astaga. Aku menggelengkan kepala beberapa kali untuk menghilangkan bayangan Pak Rully. Tapi, sepertinya sangat sulit. Bahkan tulisanku menjadi typo beberapa kali. Nama tokoh laki-laki dalam novelku berubah menjadi nama Pak Rully semua. Ya ampun, apakah ini yang dinamakan jatuh .... ah untuk mengucapka
“Apa maksud kamu ucapan kalian barusan?” tanya Papa dengan nada bergetar.Aku menunduk takut, melirik Kukuh yang sepertinya juga merasakan hal yang sama.“Sabrina!” seru Papa hampir mirip dengan bentakan.“Apa Sabia pergi dari rumah Mamamu?” tanya Papa lagi dengan lebih menekan.Aku mengangguk ragu. Aku takut sekali. Papa tak pernah semarah ini sebelumnya.“Kenapa?”Aku dan Kukuh bergeming. Apa aku harus jujur pada Papa kalau Sabia dan Mama bertengkar?Astaga. Sama saja aku membuat Mama dan Papa ribut besar.Mama yang tak pernah menerima Sabia, cukup membuat Papa kecewa hingga akhirnya Papa membawa Sabia. Memberikannya kasih sayang yang tak pernah Sabia dapat dari Mama.Wajar saja jika Papa semarah ini.“Sabrina?”“Sabia bertengkar dengan Mama,” ucapku lirih.Papa terduduk di kursi dengan napas memburu. Aku melirik Ku
“Sabia!” seru Kukuh dan Pak Rully bersamaan ketika aku menampar pipi Sabrina.Keterlaluan!Diperlakukan seperti apa pun oleh Mama, aku tak pernah membalasnya. Apalagi sampai meninggikan suara di depan orang tua. Kata pak Ustadz dosa.“Bukannya gue sudah berpesan untuk jaga Papa karena kesehatannya sedang buruk?” tanyaku pada Sabrina yang memegang pipi yang tadi kutampar.“Kenapa malah lu bikin Papa masuk rumah sakit?” “Sabia.” Kukuh mendekatiku. “Nggak semua karena Sabrina.”Aku menatap lelaki itu tak percaya. Masih saja membela Sabrina.“Gue yang memulainya,” ucapnya membuatku semakin heran.“Maksud lu apa, Kuh?”Kukuh membuang napas berat. “Gue tanyai keberadaan lu ke Sabrina. Kita sempat berdebat sedikit hingga akhirnya Om Surya mendengar percakapan kami.”Aku mengernyit. “Om Surya marah karena lu pergi dari rumah Mama lu.”Tanganku
“Toh pas Papa bangun nanti yang akan dicari pasti gue. Jadi, biar gue yang di sini.”Ucapan Sabia benar-benar menohokku. Benar. Mana mungkin Papa mencariku. Sabia memang lebih penting. Kukuh menggiringku keluar dari rumah sakit, sementara Sabia dan Pak Rully masih di dalam sana. Entah bagaimana pria yang berprofesi sebagai produser film itu menemukan kembaranku.“Siapa lelaki itu?” tanya Kukuh saat kami sudah berada di dalam mobil.Maksudnya Pak Rully?“Laki-laki yang datang dengan Sabia tadi.”“Pak Rully,” jawabku singkat.“Siapa dia?”Kenapa Kukuh begitu penasaran?Apa begitu penting keberadaan Pak Rully?“Bos Sabia.”Kukuh melirikku sebentar, lalu mulai menjalankan mobilnya. Keheningan terjadi diantara kami. Aku dengan pikiranku sendiri, dan Kukuh juga sama.Sudah hampir tengah malam jalanan tak begitu ramai. Pemandang
Aku menatap plastik keresek yang tiba-tiba menggantung di depanku. Ada bungkusan makanan dan satu botol air mineral di dalamnya.Dua pasang sepatu sudah berdiri di depanku. Kalau sepasang nanti dikira orang gila. “Ambil,” titahnya tanpa basa-basi.Aku mendongak. Puput. Muka yang biasa ceria itu terlihat kesal menatapku. Berapa lama kami tak bertemu?“Nggak mau ambil?” tanyanya dengan muka jutek.Aku buru-buru mengambil kantong yang disodorkan olehnya. Sejak pagi memang aku tak mengisi perutku dengan makanan apa pun. Bukan karena masih diet, tapi melihat kondisi Papa yang belum juga membuka mata membuat nafsu makanku benar-benar menghilang.Belum lagi mata yang belum tidur dari semalam. Semalaman Pak Rully menemaniku di rumah sakit. Kami saling diam setelah perkataannya yang mengejutkanku. Otakku masih loading untuk menerima pengakuannya yang aneh itu.“Jadi karena ini lu pergi dari kita dan nggak kasih kabar sama sekali?” tanya Puput kesal. Dia sudah duduk di sebelahku dengan muka