Arisha bisa mendengar suara pintu kamar inapnya dibuka oleh seseorang. Namun, Arisha memilih pura-pura tidur daripada melihat siapa yang datang ke kamarnya selarut ini tetapi ia menduga kalau yang datang adalah Ilham dan Tara. Derap langkah kaki yang dibalut dengan sebuah sepatu pantofel yang beradu dengan lantai keramik terdengar cukup kencang karena sunyinya ruang inap Arisha.
Arisha merasa sedikit keheranan, kenapa hanya ada satu pasang suara derap langkah yang masuk ke dalam ruangannya? Kalau memang Ilham dan Tara yang datang, seharusnya ada suara Tara juga. Apa memang bukan Ilham dan anak laki-lakinya yang datang? Pikir Arisha dalam pejaman matanya.
Sebuah pergerakan di kasurnya cukup terasa oleh Arisha. Mata Arisha sedikit ia buka untuk mengintip. Samar-samar ia bisa melihat seorang pria jangkung yang sedang mencoba dengan sangat hati-hati untuk memindahkan Tara yang tertidur di gendongannya ke sebelah Arisha.
“Anak pintar,” gumam pria jangkung
Dengan tergesa, Arisha menuntun kedua anaknya di sisi kiri dan kanannya. Langit sudah gelap dan Arisha memutuskan untuk pergi dari rumah sakit di mana ia harus dirawat. Ia memilih pergi sebelum Ilham kembali datang menemui mereka kembali.Hal ini sudah Arisha rencanakan sedari pagi tadi. Dan waktu inilah waktu di mana Ilham pergi karena sebuah urusan yang dia bilang pada kedua anaknya kalau urusannya tidak bisa ia tunda dan tinggalkan. Bisa Arisha lihat saat Ilham meninggalkan anaknya dengan berat hati, tetapi, itulah saat-saat yang Arisha tunggu.“Kita mau ke mana, Mah? Momi ‘kan harusnya masih harus dirawat sama suster,” ujar Tya yang ia tuntun di sisi kanannya.Arisha tampak celingak-celinguk di depan lobi rumah sakit seakan mencari sosok yang ia tunggu. Sekaligus ia takut kalau-kalau ada Ilham datang. Akan gagal sudah acara kabur dari laki-laki itu bila Ilham tiba-tiba muncul, pikir Arisha.“Nanti kalau Pap ... eh, kalau Om Ilh
“Ada apa, Kian? Saya sedang banyak pekerjaan. Bila ingin sesuatu, katakan dengan jelas,” tegas Ilham saat mendengar suara manja dari sang istri di seberang sambungan teleponnya.Ilham sudah tau betul bagaimana sikap istrinya itu bila menginginkan sesuatu. Selalu terdengar manja dan menyebalkan. Dan yang menjengkelkan, Kian hanya menghubunginya jika ia menginginkan sesuatu. Tidak pernah Kian benar-benar mencarinya jika tidak punya suatu keinginan, itula hal yang paling memuakkan dari istrinya menurut Ilham.“Hehe ... Mas, kok nanyanya gitu, sih? Aku cuma kangen loh, udah dua hari gak lihat Mas,” balas Kian.“Kalau tidak ada yang penting, saya tutup teleponnya,” ancam Ilham yang semakin dibuat jengkel.“Eh, tunggu, Mas. Anu ... aku mau pergi ke Bali sama temen-temenku. Bole—”“Terserah, Kian. Lakukan apa yang kamu mau,” jawab Ilham dengan cepat memotong ucapan Kian ya
“Kalau ternyata Om Ilham itu papa kandungnya Tya gimana?”“Jangan ngomong sembarangan, Tya. Jangan bahas soal papa, Mama gak suka. Mama selalu sedih kalau Tya maksa cari tau tentang hal itu,” jawab Arisha yang terdengar egois.Tya menundukkan kepalanya, ia tampak murung kali ini. Arisha yang tidak bisa melihat anaknya itu murung memilih pergi meninggalkannya duduk di sana. Bukan Arisha tidak sayang, hanya saja hal itu sangat menyakiti hatinya mengingat banyak hal yang Arisha korbankan untuk kedua anaknya tetapi kini anaknya malah bertanya-tanya tentang ayahnya yang meninggalkan kenangan pahit untuk Arisha. Ia juga tidak mau membiarkan Tya larut dalam pertanyaan tentang keberadaan ayahnya.Karena Ilham memang benar ayah kandung Tara dan Tya yang selama ini mereka pertanyakan. Hanya saja, Arisha ingat betul bagaimana ancaman sang kakak tiri padanya bila ia merusak kebahagiaannya dengan membawa anak-anaknya pada Ilham di lima tahun yang lalu
Arisha baru saja sampai di toko katering miliknya sendiri. Sudah ada beberapa karyawannya yang tiba di sana. Kedatangan Arisha tentu saja disambut baik oleh para pegawainya yang mempertanyakan ke mana perginya Arisha yang tidak hadir tanpa memberi kabar apa-apa selama dua hari kebelakang.Itu karena walaupun Arisha adalah pemilik katering dan pimpinan teratas di sana, tetap saja ia selalu hadir setiap hari kerja untuk mengkoordinasikan para pegawainya. Ia tidak pernah seenaknya datang atau tidak hadir. Arisha selalu memberi kabar pada salah satu orang kepercayaannya di sana dan akan terasa sangat aneh bila Arisha tiba-tiba tidak hadir tanpa kabar sama sekali.“Pagi, Bu. Bagaimana keadaan Ibu?” tanya salah satu pegawainya dengan sopan.Arisha melemparkan senyumnya pada pegawai wanitanya itu. “Alhamdulillah, baik. Katering gimana? Kemarin ada orderan masuk lagi pas saya gak masuk?” balas Arisha bertanya.Pegawainya itu mengangguk pel
Arisha bisa melihat pegawainya menunduk segan pada seseorang yang berdiri di belakangnya. Sudah Arisha duga, pasti Ilham kini sudah memergokinya. Dengan penuh keraguan, Arisha berbalik memastikan siapa yang ada di belakangnya.“Loh, Arisha?”Arisha menengadahkan kepalanya, matanya membelalak saat dugaannya ternyata benar. Ilham tengah berdiri menatapnya terkejut. Mata mereka saling beradu pandang di tengah keterkejutan masing-masing. Arisha tampak salah tingkah saat sudah berusaha untuk terus menghindar tetapi pada akhirnya tetap saja mereka bertemu.“Ah, iya. Anda yang memesan katering, ‘kan?” tanya Arisha yang terlihat bingung.“Maaf, Bu. Saya permisi dulu,” pamit sang pegawai yang merasa canggung berada di sana.Tangan Arisha segera menggapai tangan si pegawai agar tidak pergi meninggalkannya. Hal itu cukup membuat si pegawai sedikit terkejut karena ia sampai tertarik selangkah kebelakang imbas dari tari
Perhatian Ilham segera teralihkan pada sepasang anak yang meneriakinya dengan sebutan papa. Ilham sedikit terkejut dengan kehadiran Tara dan Tya yang tiba-tiba saja menghambur ke arahnya. Sendok yang ia pegang untuk menyuap hidangan yang Arisha suguhkan untuk ia cicipi pun segera ia simpan. “Tara! Tya! Ngapain kalian ke sini!?” seru Arisha bertanya. Dengan wajah tanpa merasa bersalahnya, Tya melirik sekilas ke arah sang ibunda lalu memeletkan lidahnya sekilas. Hal tersebut tentu saja membuat mata Arisha membelalak tidak percaya. Ia bisa melihat betapa bahagianya kedua anak kembarnya itu saat bertemu Ilham, tetapi tidak dengan dirinya. “Papaaaah!” panggil Tya dengan manja. “Papa ke mana aja? Kenapa baru sekarang datang ke sini?” tanya Tara dengan senyum manis di wajahnya. Arisha tertegun, ia tidak begitu percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar di depannya. Terlebih lagi melihat bagaimana baiknya sambutan Tara pada Ilham. Tara adala
Tara tampak menundukan kepalanya saat Arisha berhasil membentaknya. Arisha yang menyadari hal tersebut seketika melihat ke arahnya. Ia tahu kalau dirinya telah hilang kendali tidak seperti biasanya.“Tara,” panggil Arisha pelan dan hati-hati.Tara menengadahkan kepalanya menatap sang ibunda, wajahnya sudah tampak memerah menahan tangis. Arisha mengira, Tara akan marah padanya dan pergi meninggalkannya. Namun, yang Arisha dapatkan adalah Tara yang berlari ke arahnya lalu membenamkan wajahnya di perut Arisha yang tengah duduk.“Mama, jangan marah sama Tara, maafin Tara ya,” ucap Tara lirih.Arisha sadar betul kalau anak laki-lakinya itu sedang menahan tangisnya. Mendengar suara Tara yang lirih meminta maaf kepadanya, Arisha merasa sangat bersalah. Sejak kapan ia tidak bisa mengendalikan emosinya seperti ini? Sememusingkan apapun kedua anaknya, Arisha tidak pernah membentak keduanya sebelumnya.“Tara, kalau Tara mau
“Ayo, bilang makasih dulu sama Papa,” ujar Arisha lagi pada kedua anaknya.Tara dan Tya saling melempar pandangan. Mereka tidak tau harus memanggil Ilham dengan sebutan apa kali ini. Karena bila menyebut dengan sapaan Papa, sepasang anak kembar itu takut jika Arisha akan kembali marah dan sedih.“Makasih, Om,” ujar Tara ragu.“Iya, makasih banyak ya ... Om,” imbuh Tya pelan.Arisha tampak mengerutkan dahinya keheranan. Ada apa dengan kedua anaknya ini? Pikir Arisha merasa aneh. Tentu saja kedua anak kembar itu takut menyakiti hatinya lagi.“Kenapa? Bukannya kalian suka manggil dengan sebutan ‘Papa’?” tanya Arisha pada sepasang anak kembarnya.Arisha terdiam saat kedua anaknya mencoba untuk memeluk dirinya walaupun hanya bisa memeluk kakinya. Kedua anaknya itu tampak sedih, apa drama tadi siang itu benar-benar membuat kedua anaknya setraumatik ini? Pikir Arisha mulai cemas.