Malam itu, setelah memastikan Kaisar tertidur, Rahayu mengambil tasnya dengan tangan gemetar. Napasnya berat, pikirannya kacau. Namun, hanya ada satu hal yang terus terngiang di kepalanya: ia harus pergi dari rumah ini. Ia tidak bisa lagi bertahan di tempat di mana hatinya diinjak-injak tanpa ampun.Dengan langkah hati-hati, ia membuka lemari dan mengambil beberapa pakaian, sekadar cukup untuk perjalanan jauh. Tidak ada yang tahu ke mana dia akan pergi, tapi dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: Cilacap, rumah orang tuanya.Namun, sebelum ia bisa melangkahkan kaki ke luar kamar, suara lirih terdengar dari tempat tidur."Bu... dingin..." Kaisar menggeliat, tubuhnya berkeringat tetapi wajahnya pucat.Rahayu segera menghampiri dan menempelkan tangannya ke dahi anak itu. Panas. Kaisar demam. Seketika rasa panik merayapi tubuhnya. Ia tidak bisa pergi dalam kondisi seperti ini.Tanpa pikir panjang, ia meraih selimut dan membungkus Kaisar, lalu buru-buru berlari keluar kamar. Namun, belum s
Kaisar masih terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak pucat, tubuhnya masih sedikit panas meski dokter sudah memastikan kondisinya mulai membaik setelah mendapatkan donor yang tepat. Rahayu duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kecil anaknya.Sudah dua hari mereka kembali dari rumah sakit, tapi suasana rumah ini terasa lebih dingin daripada biasanya. Arya belum mengucapkan sepatah kata pun kepadanya sejak hasil tes DNA keluar. Lelaki itu lebih memilih menghabiskan waktunya di luar kamar, berkutat dengan pekerjaannya atau sekadar menghindari keberadaannya.Rahayu tahu Arya masih mempercayai hasil tes itu. Ia tahu suaminya sedang berperang dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari alasan untuk tidak sepenuhnya membencinya. Namun, diamnya Arya justru lebih menyakitkan.Malam itu, Rahayu memberanikan diri keluar kamar. Ia menemukan Arya di ruang tamu, duduk di sofa dengan Paramita yang terlihat senang dengan keadaannya sekarang. Mengetahui Rahayu k
Hujan baru saja reda ketika bus yang ditumpangi Rahayu berhenti di terminal Banyumas. Perjalanan cukup melelahkan sampai tiba di Banyumas pukul jam 7 malam karena menghabiskan waktu lebih dari 10 jam. Langit masih mendung, dan udara malam terasa menusuk kulit. Dengan Kaisar yang tertidur dalam gendongannya, Rahayu melangkah turun dari bus dengan tubuh lelah dan hati yang terasa remuk.Di sepanjang perjalanan dari terminal ke rumah orang tuanya, hatinya terus berdebar. Ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini. Ia tidak ingin melihat kekecewaan di mata ayah dan ibunya.Begitu sampai di depan rumah, Rahayu mengatur napasnya. Rumah berdinding bambu itu masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Lampu teplok menyala, menandakan penghuninya belum tidur. Ia mengetuk pintu pelan.Tak butuh waktu lama sebelum suara langkah tergesa-gesa terdengar dari dalam. Pintu terbuka, menampilkan sosok ibunya, Masitoh, yang langsung terkejut melihat putrinya berdiri
Keesokan paginya, setelah sarapan dengan keluarga, Sudiarjo sudah mengambil keputusan bulat. Ia akan pergi ke Jakarta untuk menemui Arya dan keluarganya. Masitoh sempat menahannya, meminta suaminya untuk tidak bertindak gegabah. Tapi Sudiarjo hanya menjawab dengan nada penuh tekad."Aku harus bicara langsung dengan mereka. Kalau tidak, mereka akan seenaknya saja menindas anak kita!"Rahayu yang masih kelelahan tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, berharap ayahnya tidak membuat keadaan semakin buruk."Hati hati, Pak. Wanita yang dinikahi oleh Mas Arya adalah orang yang pandai berdrama. Bapak harus pandai beralasan, Rahayu berharap ada titik terang."Sudiarjo mengangguk. Dia berjanji akan mencari keadilan untuk anak dan cucunya.---Perjalanan ke Jakarta memakan waktu lama. Begitu tiba di ibu kota, Sudiarjo langsung menuju rumah Arya dengan alamat yang masih ia ingat. Rumah itu tampak megah, kontras dengan rumah sederhana mereka di Banyumas. Dengan langkah tegas,
Arya duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang kalut. Kedatangan mertuanya sungguh mengejutkan dan dia mendadak hilang konsentrasi. Tangannya meremas rambut, sementara layar laptop di depannya masih menampilkan hasil tes DNA yang menjadi dasar keputusannya mengusir Rahayu. Selama ini, ia yakin bahwa hasil itu benar, tapi mengapa ada rasa gelisah yang semakin lama semakin mengusik hatinya?Di sofa, Paramita duduk dengan santai, mengecat kukunya seolah tidak ada beban. Wanita itu mengenakan gaun tidur sutra yang mahal, terlihat begitu nyaman di rumah yang kini hanya dihuni mereka berdua.“Kamu kenapa, Mas?” tanyanya dengan suara manja.Arya menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptopnya. “Aku merasa ada yang janggal.”Paramita tertawa kecil. “Janggal bagaimana?”“Soal tes DNA itu. Aku merasa gelisah.”“Udalah, Mas. Tidak usah terlalu dipikirkan. Bukankah hasil tes DNA sudah jelas? Kaisar bukan anakmu, artinya Rahayu sudah mengkhianati pernikahan kalian. Apa lagi yang harus dira
“Aku izin menikah lagi, Dek,” ucap Arya.Rahayu yang sedang melipat pakaian itu kaget, menatap suaminya tak percaya.“Coba katakan sekali lagi, Mas.” Dengan manahan debaran emosi dalam jiwanya, Rahayu menatap suaminya yang menunduk saat mengatakan itu.“Aku khilaf, Paramita hamil dan aku diminta menikahinya.”Plak!Untuk pertama kalinya Rahayu sangat kecewa dengan lelaki itu. Lelaki yang selama ini dia anggap berwibawa dan baik, bahkan sampai mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya. Dia sampai berdiri dan menendang meja yang tadinya dipenuhi tumpukan lipatan baju sampai baju itu berserakan lagi.“Katakan sekali lagi, Mas!” raung Rahayu dengan napas yang bergetar.“Dek, aku terpaksa. Paramita hamil, dia bahkan sudah melahirkan anak kami dan … dia menagih janji aku menikahinya jika anak itu lahir. Jika tidak, dia akan membu-angnya kalau aku tak bertanggung jawab. Maafkan aku, Dek.”“Ya Allah, Gusti.”Dengan memegangi dadanya yang naik turun, Rahayu merasa dunianya runtuh. Untuk yan
“Mita? Kenapa kamu datang ke sini?” Arya buru buru mendekat pada Paramita yang datang dengan menggendong bayinya dan sejerigen ben-sin.Rahayu berdiri di tempat. Tebakannya tidak salah dan wanita yang dihamili suaminya adalah wanita yang dulu pernah membuatnya hampir saja menyerah menjalani hidup. Wanita yang dianggap teman, hingga akhirnya kebencian itu hadir saat banyak penghianatan Paramita lakukan.“Kamu bohong sama aku, Mas. Kamu bilang ingin bertanggung jawab atas anak ini. Kamu akan menikahiku. Mana buktinya?” berang Paramita.Suara Paramita yang begitu menggelegar membuat beberapa tetangga pun berkumpul ingin melihat. Sekar yang ada di dalam kamarnya pun ikut keluar dan kaget melihat para tetangga sudah berkerumun. Dia langsung membawa Paramita dalam dekapan dan mengusir semua ibu ibu yang mulai berbisik.“Ibu anaknya selingkuh ya?” tanya salah seorang tetangga Sekar.“Kalian nggak usah kepo sama urusan orang. Dia juga menantuku! Jadi gak usah kalian menggosip yang tidak tidak
Arya duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang kalut. Kedatangan mertuanya sungguh mengejutkan dan dia mendadak hilang konsentrasi. Tangannya meremas rambut, sementara layar laptop di depannya masih menampilkan hasil tes DNA yang menjadi dasar keputusannya mengusir Rahayu. Selama ini, ia yakin bahwa hasil itu benar, tapi mengapa ada rasa gelisah yang semakin lama semakin mengusik hatinya?Di sofa, Paramita duduk dengan santai, mengecat kukunya seolah tidak ada beban. Wanita itu mengenakan gaun tidur sutra yang mahal, terlihat begitu nyaman di rumah yang kini hanya dihuni mereka berdua.“Kamu kenapa, Mas?” tanyanya dengan suara manja.Arya menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptopnya. “Aku merasa ada yang janggal.”Paramita tertawa kecil. “Janggal bagaimana?”“Soal tes DNA itu. Aku merasa gelisah.”“Udalah, Mas. Tidak usah terlalu dipikirkan. Bukankah hasil tes DNA sudah jelas? Kaisar bukan anakmu, artinya Rahayu sudah mengkhianati pernikahan kalian. Apa lagi yang harus dira
Keesokan paginya, setelah sarapan dengan keluarga, Sudiarjo sudah mengambil keputusan bulat. Ia akan pergi ke Jakarta untuk menemui Arya dan keluarganya. Masitoh sempat menahannya, meminta suaminya untuk tidak bertindak gegabah. Tapi Sudiarjo hanya menjawab dengan nada penuh tekad."Aku harus bicara langsung dengan mereka. Kalau tidak, mereka akan seenaknya saja menindas anak kita!"Rahayu yang masih kelelahan tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, berharap ayahnya tidak membuat keadaan semakin buruk."Hati hati, Pak. Wanita yang dinikahi oleh Mas Arya adalah orang yang pandai berdrama. Bapak harus pandai beralasan, Rahayu berharap ada titik terang."Sudiarjo mengangguk. Dia berjanji akan mencari keadilan untuk anak dan cucunya.---Perjalanan ke Jakarta memakan waktu lama. Begitu tiba di ibu kota, Sudiarjo langsung menuju rumah Arya dengan alamat yang masih ia ingat. Rumah itu tampak megah, kontras dengan rumah sederhana mereka di Banyumas. Dengan langkah tegas,
Hujan baru saja reda ketika bus yang ditumpangi Rahayu berhenti di terminal Banyumas. Perjalanan cukup melelahkan sampai tiba di Banyumas pukul jam 7 malam karena menghabiskan waktu lebih dari 10 jam. Langit masih mendung, dan udara malam terasa menusuk kulit. Dengan Kaisar yang tertidur dalam gendongannya, Rahayu melangkah turun dari bus dengan tubuh lelah dan hati yang terasa remuk.Di sepanjang perjalanan dari terminal ke rumah orang tuanya, hatinya terus berdebar. Ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini. Ia tidak ingin melihat kekecewaan di mata ayah dan ibunya.Begitu sampai di depan rumah, Rahayu mengatur napasnya. Rumah berdinding bambu itu masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Lampu teplok menyala, menandakan penghuninya belum tidur. Ia mengetuk pintu pelan.Tak butuh waktu lama sebelum suara langkah tergesa-gesa terdengar dari dalam. Pintu terbuka, menampilkan sosok ibunya, Masitoh, yang langsung terkejut melihat putrinya berdiri
Kaisar masih terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak pucat, tubuhnya masih sedikit panas meski dokter sudah memastikan kondisinya mulai membaik setelah mendapatkan donor yang tepat. Rahayu duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kecil anaknya.Sudah dua hari mereka kembali dari rumah sakit, tapi suasana rumah ini terasa lebih dingin daripada biasanya. Arya belum mengucapkan sepatah kata pun kepadanya sejak hasil tes DNA keluar. Lelaki itu lebih memilih menghabiskan waktunya di luar kamar, berkutat dengan pekerjaannya atau sekadar menghindari keberadaannya.Rahayu tahu Arya masih mempercayai hasil tes itu. Ia tahu suaminya sedang berperang dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari alasan untuk tidak sepenuhnya membencinya. Namun, diamnya Arya justru lebih menyakitkan.Malam itu, Rahayu memberanikan diri keluar kamar. Ia menemukan Arya di ruang tamu, duduk di sofa dengan Paramita yang terlihat senang dengan keadaannya sekarang. Mengetahui Rahayu k
Malam itu, setelah memastikan Kaisar tertidur, Rahayu mengambil tasnya dengan tangan gemetar. Napasnya berat, pikirannya kacau. Namun, hanya ada satu hal yang terus terngiang di kepalanya: ia harus pergi dari rumah ini. Ia tidak bisa lagi bertahan di tempat di mana hatinya diinjak-injak tanpa ampun.Dengan langkah hati-hati, ia membuka lemari dan mengambil beberapa pakaian, sekadar cukup untuk perjalanan jauh. Tidak ada yang tahu ke mana dia akan pergi, tapi dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: Cilacap, rumah orang tuanya.Namun, sebelum ia bisa melangkahkan kaki ke luar kamar, suara lirih terdengar dari tempat tidur."Bu... dingin..." Kaisar menggeliat, tubuhnya berkeringat tetapi wajahnya pucat.Rahayu segera menghampiri dan menempelkan tangannya ke dahi anak itu. Panas. Kaisar demam. Seketika rasa panik merayapi tubuhnya. Ia tidak bisa pergi dalam kondisi seperti ini.Tanpa pikir panjang, ia meraih selimut dan membungkus Kaisar, lalu buru-buru berlari keluar kamar. Namun, belum s
Arya mengetuk pintu kamar Rahayu. Namun, sampai malam pintu itu tak terbuka. Bahkan, Rahayu tak mneyahuti panggilannya.“Sudah biarkan saja. Kalau lapar mereka akan cari makan sendiri, kamu gak usah repot repot buat bujuk dia keluar. Mau ngapain juga dipanggil malam malam? Lebih baik kalian istirahat. Kasihan Paramita, dia harus menyusui anaknya yang sejak tadi rewel terus,” ucap Sekar.Paramita yang duduk di kursi panjang akhirnya bisa tersenyum sennag. Dia mampu mengambil hati mertua Rahayu dan bonusnya, mendapatkan pengakuan atas anaknya itu. > Kini, tujuannya balas dendam pada Rahayu yang selalu beruntung darinya tersampaikan. Rahayu kembali tersiksa, persis seperti apa yang dia rasakan saat baru pertama kali datang ke Surabaya.Flashback!Masa iddah Rahayu dilewati dengan cepat sampai tak terasa sudah selesai. Bahkan sudah berbulan bulan menjanda dan menjalani aktivitas seperti biasa. Rahayu dipanggil kembali oleh Abah dan dikumpulkan oleh keluarga besar Abah. Di sana, keempat an
“Mita? Kenapa kamu datang ke sini?” Arya buru buru mendekat pada Paramita yang datang dengan menggendong bayinya dan sejerigen ben-sin.Rahayu berdiri di tempat. Tebakannya tidak salah dan wanita yang dihamili suaminya adalah wanita yang dulu pernah membuatnya hampir saja menyerah menjalani hidup. Wanita yang dianggap teman, hingga akhirnya kebencian itu hadir saat banyak penghianatan Paramita lakukan.“Kamu bohong sama aku, Mas. Kamu bilang ingin bertanggung jawab atas anak ini. Kamu akan menikahiku. Mana buktinya?” berang Paramita.Suara Paramita yang begitu menggelegar membuat beberapa tetangga pun berkumpul ingin melihat. Sekar yang ada di dalam kamarnya pun ikut keluar dan kaget melihat para tetangga sudah berkerumun. Dia langsung membawa Paramita dalam dekapan dan mengusir semua ibu ibu yang mulai berbisik.“Ibu anaknya selingkuh ya?” tanya salah seorang tetangga Sekar.“Kalian nggak usah kepo sama urusan orang. Dia juga menantuku! Jadi gak usah kalian menggosip yang tidak tidak
“Aku izin menikah lagi, Dek,” ucap Arya.Rahayu yang sedang melipat pakaian itu kaget, menatap suaminya tak percaya.“Coba katakan sekali lagi, Mas.” Dengan manahan debaran emosi dalam jiwanya, Rahayu menatap suaminya yang menunduk saat mengatakan itu.“Aku khilaf, Paramita hamil dan aku diminta menikahinya.”Plak!Untuk pertama kalinya Rahayu sangat kecewa dengan lelaki itu. Lelaki yang selama ini dia anggap berwibawa dan baik, bahkan sampai mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya. Dia sampai berdiri dan menendang meja yang tadinya dipenuhi tumpukan lipatan baju sampai baju itu berserakan lagi.“Katakan sekali lagi, Mas!” raung Rahayu dengan napas yang bergetar.“Dek, aku terpaksa. Paramita hamil, dia bahkan sudah melahirkan anak kami dan … dia menagih janji aku menikahinya jika anak itu lahir. Jika tidak, dia akan membu-angnya kalau aku tak bertanggung jawab. Maafkan aku, Dek.”“Ya Allah, Gusti.”Dengan memegangi dadanya yang naik turun, Rahayu merasa dunianya runtuh. Untuk yan