LOGINTiga hari setelah resmi bercerai secara agama, Senja keluar dari rumah Rivan. Barang-barangnya sudah dikemas sejak semalam, tak ada yang tersisa.
Perjanjian perceraian yang isinya tentang harta gono-gini pun sudah dia tanda tangani. Senja tidak meminta bagian rumah atau mobil. Ia sadar diri. Dulu rumah itu adalah warisan dari orang tua Rivan. Kalaupun renovasinya menghabiskan ratusan juta, bukankah nanti Rivan masih berlapang hati memberinya uang ganti. Begitu pun dengan mobil. Awal pembelian, selagi Rivan masih lajang. Sesudah menikah dengan Senja, hanya tersisa setahun angsuran. "Sudah, Dek? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Rivan. Ia bersiap mengantar Senja ke tempat barunya. "Nggak ada, Mas." Kemudian, keduanya bersama-sama masuk ke mobil. Lantas, meluncur meninggalkan rumah yang menyimpan berjuta kenangan itu. Lagi-lagi tidak ada percakapan di antara Rivan dan Senja. Mungkin sama-sama canggung dengan status yang bukan suami istri. Atau mungkin karena masing-masing menyimpan luka dengan sisi berbeda. "Uang sewanya baru kubayar untuk bulan ini, Dek. Bulan depan dan seterusnya, nanti kusertakan dengan uang nafkah," ucap Rivan ketika keduanya sudah tiba di rumah kontrakan yang akan dihuni Senja. Sebuah rumah sederhana dengan satu ruang tamu, satu kamar mandi, satu dapur, dan satu kamar. "Iya, Mas." Senja menjawab singkat. Hatinya masih kacau. "Ya sudah, kamu istirahat dulu gih. Aku mau langsung pulang. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini," pamit Rivan. Lantas, ia pergi dan meninggalkan tempat baru Senja dengan perasaan girang. Ia kemudikan mobil dengan pelan, dan kemudian menepi di bawah pohon akasia. Rivan mengambil ponsel dan menghubungi kontak yang menempati riwayat teratas. "Sudah dapat kan, Mas, tanda tangannya?" tanya seseorang dari seberang sana. "Sudah dong. Setelah ini langsung kuurus biar cepat keluar suratnya. Aku sudah nggak sabar menikahi kamu secara sah, Sayang." *** Hujan deras mengguyur Kota Surabaya malam ini. Dari lepas senja sampai hampir tengah malam. Menghadirkan hawa dingin yang serasa menyusup ke dalam tulang. Alam seakan ikut menggambarkan suasana hati Senja, yang kini sudah tinggal sendirian di kontrakan. Dari pertama datang sampai kini tengah malam, Senja tidak beranjak dari ranjang. Tetap duduk sambil melamun, dengan sesekali air mata mengalir di kedua pipi. Ia melupakan mandi, makan, atau sekadar minum. Sampai lewat dini hari, Senja baru bisa tertidur. Itu pun tidak berbaring dengan nyaman. Ia terlelap hanya dengan posisi bersandar. Keesokan paginya, Senja terlambat bangun. Namun, ia tetap melaksanakan salat seperti biasa. Malah ketika berdoa, ia bersimpuh sangat lama. Bercerita dan berkeluh kesah pada Tuhan, memohon kesabaran dan kemudahan atas ujian yang menimpanya. Mata merah dan sembab itu yang menjadi saksi betapa hancurnya hati Senja selepas berpisah dengan Rivan. Sampai matahari menampakkan sinarnya, Senja belum melepas mukena. Meski sudah selesai berdoa, tetapi Senja masih diam dengan posisi yang tetap bersimpuh. Melamun lagi, merenung lagi. Berkali-kali menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat. "Permisi! Senja! Senja!" Kening Senja mengernyit saat telinganya menangkap panggilan dari luar. Siapa gerangan? Baru kemarin dia tinggal di sana, mengapa sudah ada yang mengetahui keberadaannya. "Senja! Senja!" Sekali lagi, suara lelaki di luar kembali memanggilnya. Senja pun bergegas melepas mukena dan berjalan menuju pintu, dengan tak lupa mengenakan kerudungnya. Saat pintu terbuka, Senja dibuat tercengang dengan keberadaan lelaki yang tak lain adalah teman Rivan. Bima, begitulah Senja mengenalnya. Mereka kerap bertemu karena Bima sering mampir ketika pulang kerja. Sekarang yang tak bisa dimengerti, untuk apa lelaki itu datang, dan dari mana tahu kalau dirinya tinggal di sana. Apa mungkin dari Rivan? "Aku bawain sarapan. Bubur ayam, masih hangat, Nja." Tanpa rasa bersalah, Bima menyodorkan kantong plastik yang berisi bubur ayam. Terang saja Senja tak langsung menerimanya. Ia masih ingin tahu niat dan tujuan Bima yang sebenarnya. "Terima saja, Nja. Niatku cuma beliin kamu sarapan, jangan mikir yang aneh-aneh." "Kenapa?" tanya Senja dengan datar. "Nggak apa-apa. Kebetulan saja aku tadi juga beli sarapan bubur, di depan sana. Terus aku ingat kalau kamu tinggal di sini, jadi sekalian aku beliin kamu. Ya maaf, aku tahu sedikit kalau kamu dan Rivan lagi ada masalah. Takutnya kamu lupa makan, Nja. Ya ... aku kepikiran aja gitu." "Mas Bima tahu dari mana kalau aku tinggal di sini?" selidik Senja. Bima tersenyum. "Sebelumnya tanteku yang tinggal di kontrakan ini, baru minggu kemarin pindah. Kemarin Rivan nyuruh aku nanyain ke pemilik rumah, udah ada penghuni baru apa belum. Kalau belum mau disewa untuk tempat tinggalmu katanya. Jujur aja aku penasaran dan nanya kenapa tinggal terpisah. Terus katanya, kalian lagi ada masalah." "Oh." "Aku nggak tahu sebesar apa masalahmu dengan Rivan, juga nggak tahu sesedih apa kamu setelah tinggal terpisah gini. Tapi, apa pun itu, kamu tetap jaga kesehatan ya. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup. Percayalah, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Semangat!" Masih dengan senyuman yang sama, Bima meraih tangan Senja dan meletakkan kantong bubur di genggamannya. Setelah itu, dia melenggang pergi tanpa menunggu tanggapan Senja.Berbeda dengan Chandra yang pulang membawa kemenangan dan membagi kebahagiaan dengan wanita pujaan, sore ini Sintia pulang dengan langkah gontai.Niat hati mencari jawaban dengan menemui Benny, tetapi bukannya lega, ia malah makin hancur. Bisa-bisanya selama ini dimanfaatkan oleh pria sialan itu.Sudah totalitas dirinya dalam memberikan pelayanan di ranjang, berharap ada timbal balik yang memuaskan. Bahkan, dia sampai berani bermimpi untuk meninggalkan Dion dan berpaling pada Benny.Namun, balasan dari pria itu ternyata sangat kejam. Selain menikmati tubuhnya, Benny juga menjual informasi pada Chandra. Tak cukup itu saja, Benny masih merekam setiap adegan yang pernah mereka lakukan. Sialnya lagi, wajah Benny membelakangi kamera. Berbeda jauh dengan dirinya yang terpampang jelas.'Jadilah wanita yang patuh! Jual Altera pada Chandra dan jangan ikut campur lagi di perusahaan itu. Jika tidak ... maka video-video ini bisa menyebar di publik. Kamu pasti tidak ingin, kan, lekuk tubuhmu dinik
Tepat tengah hari, Chandra tiba di tempat Senja. Tanpa memberi kabar, tanpa meminta izin, ia langsung datang begitu saja. Dengan senyum dan hati yang berbunga-bunga tentunya.Kebetulan siang itu pelayan sedang sibuk di dapur, berkutat menyiapkan makan siang. Jadi Senja sendiri yang keluar membuka pintu, sembari membawa Askara dalam gendongan.Lantas, ia tertegun dalam beberapa detik lamanya. Menatap wajah Chandra yang begitu tenang mengulum senyum, perasaan Senja mendadak tidak nyaman. Terlebih lagi, hati malah dengan tidak tahu malunya berdebar tak karuan, seakan sengaja melawan kehendak otak yang makin gigih membangun tembok pertahanan."Aku boleh masuk, kan?" tanya Chandra dengan senyuman yang lebih manis, seolah sengaja menyadarkan Senja bahwa dirinya memiliki paras rupawan yang wajib dijadikan bahan pertimbangan."Silakan, Pak!" Senja menyahut gugup.Lantas, ia melangkah masuk dan membiarkan Chandra mengekor di belakangnya. Meski agak enggan, tetapi Senja duduk jua di sofa ruang
"Cukup, Mas! Berhenti membentak! Berhenti memukul! Kamu nggak pantas melakukan ini padaku!" teriak Sintia sambil berusaha bangkit.Habis sudah kesabarannya. Tak mau lagi direndahkan sang suami, apalagi membiarkan diri dihajar secara fisik sampai babak belur. Oh tidak!Tamparan barusan saja sudah menyisakan rasa perih dan panas di kedua pipi. Sintia tak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Cukup! Dia harus melawan dan membuka mata Dion, agar pria itu paham bagaimana caranya berkaca."Aku melakukan semua ini demi kebaikan kita! Aku berkorban agar perusahaan nggak jatuh ke tangan Chandra brengsek itu! Aku—""Kamu sudah gila, Sintia! Berkorban apa yang kamu katakan, hah? Kamu selingkuh, kamu tidur dengan pria lain. Itu yang kamu sebut berkorban?" pungkas Dion."Itu adalah imbalan yang harus kubayar agar dia mau membantu perusahaan kita, Mas. Kamu pikir aku bisa mengandalkan siapa? Kamu sendiri malah terkapar di rumah sakit, nggak bisa melakukan apa-apa. Kamu kira aku rela melihat pe
"Bu Sintia, tidak menyangka Anda akan mengurusi masalah pribadi saya juga. Padahal sebenarnya itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, kecuali ... saya pacarannya di sini, sambil rapat seperti ini." Chandra kembali mengulas senyum. Lagi-lagi masih tenang dan tidak terpancing emosi Sintia yang sudah menggebu-gebu. "Tapi—""Saya akui, memang tidak sekali dua kali menjalin hubungan dengan wanita. Karena memang ... ada saja masalah yang membuat hubungan berakhir. Ada saja ketidakcocokan yang membuat kami memilih berhenti dan tidak melanjutkan hubungan pada tahap yang lebih serius. Tapi, saya rasa ini masih termasuk hal wajar. Saya yakin di luar sana, baik laki-laki maupun perempuan, banyak juga yang berkali-kali gagal dalam hubungan. Dan ... tidak otomatis karena merekanya yang tak bermoral. Terkadang sudah niat serius, tapi masih saja ada masalah yang membuat hubungan putus. Jadi, saya rasa ini bukan hal yang patut dibesar-besarkan, Bu Sintia."Chandra memotong ucapan Sintia dengan
"Bu Sintia, beliau-beliau sudah menyatakan kesediaannya untuk tetap berinvestasi di Altera. Dan ...."Chandra menggantungkan kalimatnya sesaat. Menyisihkan sedikit waktu untuk menyodorkan dokumen yang sedari tadi ia bawa."Ini adalah surat kontrak yang baru dari Voltanic. Ke depannya, Altera akan kembali menjadi distributor utama bagi perusahaan tersebut. Jadi ... dua janji saya sudah terpenuhi," lanjut Chandra dengan sangat tenang, malah disertai senyuman lebar, seakan sengaja menertawakan kekalahan Sintia.Melihat itu semua, Sintia hanya bisa menggeram lirih. Ini tak masuk akal, pikirnya. Para investor yang sebelumnya sudah berjanji menghancurkan Chandra, nyatanya hanya omong kosong. Voltanic yang katanya akan tersandung kasus, faktanya sampai sekarang belum ada kabar kedatangan polisi di sana."Bu Sintia, bagaimana tanggapan Anda?" ucap Chandra lagi, masih dengan senyum yang sama.Sebuah pertanyaan yang dibiarkan mengabur bersama keheningan dalam ruang rapat tersebut. Alih-alih mem
Menurut jadwal yang ditentukan, rapat akan dimulai jam setengah sembilan. Namun, baru jam setengah delapan, beberapa peserta sudah hadir di sana. Sintia beserta keluarganya, Chandra yang didampingi Norman, dan juga beberapa investor yang sebelumnya sempat mengundurkan diri.Setelah Chandra yang mengambil alih kursi kepemimpinan, mereka bersedia menjadi investor lagi untuk Altera. Karena dari sebelumnya, mereka sudah berdiri di pihak Chandra. Namun, entah akan bertahan lama atau tidak kesetiaan tersebut. Hanya waktu yang akan memberikan jawaban akurat."Kamu boleh bersikap angkuh sekarang, tapi lihat saja nanti. Kamu ... akan menangis darah, Chandra! Dan asal kamu tahu, menyesal pun sudah tidak akan ada gunanya," batin Sintia dengan tatapan yang memicing, meremehkan Chandra yang saat itu tampak tenang dan penuh percaya diri.Awalnya, Sintia sekadar bicara sendiri dalam hati, meluapkan kepuasan atas kemenangan yang sudah terpampang di depan mata. Namun, melihat Chandra yang seolah tidak







