Compartir

Tanda Tangan

last update Última actualización: 2025-09-29 15:53:54

Tiga hari setelah resmi bercerai secara agama, Senja keluar dari rumah Rivan. Barang-barangnya sudah dikemas sejak semalam, tak ada yang tersisa.

Perjanjian perceraian yang isinya tentang harta gono-gini pun sudah dia tanda tangani. Senja tidak meminta bagian rumah atau mobil. Ia sadar diri. Dulu rumah itu adalah warisan dari orang tua Rivan. Kalaupun renovasinya menghabiskan ratusan juta, bukankah nanti Rivan masih berlapang hati memberinya uang ganti. Begitu pun dengan mobil. Awal pembelian, selagi Rivan masih lajang. Sesudah menikah dengan Senja, hanya tersisa setahun angsuran.

"Sudah, Dek? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Rivan. Ia bersiap mengantar Senja ke tempat barunya.

"Nggak ada, Mas."

Kemudian, keduanya bersama-sama masuk ke mobil. Lantas, meluncur meninggalkan rumah yang menyimpan berjuta kenangan itu.

Lagi-lagi tidak ada percakapan di antara Rivan dan Senja. Mungkin sama-sama canggung dengan status yang bukan suami istri. Atau mungkin karena masing-masing menyimpan luka dengan sisi berbeda.

"Uang sewanya baru kubayar untuk bulan ini, Dek. Bulan depan dan seterusnya, nanti kusertakan dengan uang nafkah," ucap Rivan ketika keduanya sudah tiba di rumah kontrakan yang akan dihuni Senja. Sebuah rumah sederhana dengan satu ruang tamu, satu kamar mandi, satu dapur, dan satu kamar.

"Iya, Mas." Senja menjawab singkat. Hatinya masih kacau.

"Ya sudah, kamu istirahat dulu gih. Aku mau langsung pulang. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini," pamit Rivan.

Lantas, ia pergi dan meninggalkan tempat baru Senja dengan perasaan girang. Ia kemudikan mobil dengan pelan, dan kemudian menepi di bawah pohon akasia. Rivan mengambil ponsel dan menghubungi kontak yang menempati riwayat teratas.

"Sudah dapat kan, Mas, tanda tangannya?" tanya seseorang dari seberang sana.

"Sudah dong. Setelah ini langsung kuurus biar cepat keluar suratnya. Aku sudah nggak sabar menikahi kamu secara sah, Sayang."

***

Hujan deras mengguyur Kota Surabaya malam ini. Dari lepas senja sampai hampir tengah malam. Menghadirkan hawa dingin yang serasa menyusup ke dalam tulang.

Alam seakan ikut menggambarkan suasana hati Senja, yang kini sudah tinggal sendirian di kontrakan. Dari pertama datang sampai kini tengah malam, Senja tidak beranjak dari ranjang. Tetap duduk sambil melamun, dengan sesekali air mata mengalir di kedua pipi. Ia melupakan mandi, makan, atau sekadar minum. Sampai lewat dini hari, Senja baru bisa tertidur. Itu pun tidak berbaring dengan nyaman. Ia terlelap hanya dengan posisi bersandar.

Keesokan paginya, Senja terlambat bangun. Namun, ia tetap melaksanakan salat seperti biasa. Malah ketika berdoa, ia bersimpuh sangat lama. Bercerita dan berkeluh kesah pada Tuhan, memohon kesabaran dan kemudahan atas ujian yang menimpanya. Mata merah dan sembab itu yang menjadi saksi betapa hancurnya hati Senja selepas berpisah dengan Rivan.

Sampai matahari menampakkan sinarnya, Senja belum melepas mukena. Meski sudah selesai berdoa, tetapi Senja masih diam dengan posisi yang tetap bersimpuh. Melamun lagi, merenung lagi. Berkali-kali menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat.

"Permisi! Senja! Senja!"

Kening Senja mengernyit saat telinganya menangkap panggilan dari luar. Siapa gerangan? Baru kemarin dia tinggal di sana, mengapa sudah ada yang mengetahui keberadaannya.

"Senja! Senja!"

Sekali lagi, suara lelaki di luar kembali memanggilnya. Senja pun bergegas melepas mukena dan berjalan menuju pintu, dengan tak lupa mengenakan kerudungnya.

Saat pintu terbuka, Senja dibuat tercengang dengan keberadaan lelaki yang tak lain adalah teman Rivan. Bima, begitulah Senja mengenalnya. Mereka kerap bertemu karena Bima sering mampir ketika pulang kerja. Sekarang yang tak bisa dimengerti, untuk apa lelaki itu datang, dan dari mana tahu kalau dirinya tinggal di sana. Apa mungkin dari Rivan?

"Aku bawain sarapan. Bubur ayam, masih hangat, Nja."

Tanpa rasa bersalah, Bima menyodorkan kantong plastik yang berisi bubur ayam.

Terang saja Senja tak langsung menerimanya. Ia masih ingin tahu niat dan tujuan Bima yang sebenarnya.

"Terima saja, Nja. Niatku cuma beliin kamu sarapan, jangan mikir yang aneh-aneh."

"Kenapa?" tanya Senja dengan datar.

"Nggak apa-apa. Kebetulan saja aku tadi juga beli sarapan bubur, di depan sana. Terus aku ingat kalau kamu tinggal di sini, jadi sekalian aku beliin kamu. Ya maaf, aku tahu sedikit kalau kamu dan Rivan lagi ada masalah. Takutnya kamu lupa makan, Nja. Ya ... aku kepikiran aja gitu."

"Mas Bima tahu dari mana kalau aku tinggal di sini?" selidik Senja.

Bima tersenyum. "Sebelumnya tanteku yang tinggal di kontrakan ini, baru minggu kemarin pindah. Kemarin Rivan nyuruh aku nanyain ke pemilik rumah, udah ada penghuni baru apa belum. Kalau belum mau disewa untuk tempat tinggalmu katanya. Jujur aja aku penasaran dan nanya kenapa tinggal terpisah. Terus katanya, kalian lagi ada masalah."

"Oh."

"Aku nggak tahu sebesar apa masalahmu dengan Rivan, juga nggak tahu sesedih apa kamu setelah tinggal terpisah gini. Tapi, apa pun itu, kamu tetap jaga kesehatan ya. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup. Percayalah, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Semangat!"

Masih dengan senyuman yang sama, Bima meraih tangan Senja dan meletakkan kantong bubur di genggamannya. Setelah itu, dia melenggang pergi tanpa menunggu tanggapan Senja.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App
Comentarios (1)
goodnovel comment avatar
Bintang Anjani
Jgn jgan bima yang hamili senja
VER TODOS LOS COMENTARIOS

Último capítulo

  • Anak Siapa di Rahimku   Watak Asli

    Hati Senja seperti tersundut api. Panas, sakit, dan perih. Semudah itu Rivan mengakui Marissa sebagai calon istri. Lantas, dianggap apa dirinya selama ini? "Kita pisah baru hitungan hari, Mas. Kamu sudah ada calon istri?" "Memangnya kenapa? Kamu saja bisa hamil anak orang lain selagi kita masih suami istri, kan?" Rivan menjawab sarkas. Sikapnya jauh berbeda dari terakhir kali mereka bersama. "Mas! Aku nggak pernah selingkuh. Ini anakmu, bukan anak orang lain!"Senja mulai meninggikan intonasi. Sampai sekarang dia tetap tak rela jika Rivan menuduhnya berselingkuh, karena dirinya memang tak pernah melakukan itu. "Kamu kan sudah dengar sendiri bagaimana penjelasan dokter. Aku mandul, mustahil bisa menghamili kamu.""Tapi, aku beneran nggak selingkuh, Mas. Aku—""Sstt, cukup! Aku sudah muak dengan jawaban itu. Aku nggak mau lagi mendengarnya. Sekarang katakan saja, apa tujuanmu datang ke sini?" Sembari menepis perasaan sesaknya, Senja mengerjap cepat, berusaha menahan air mata yang t

  • Anak Siapa di Rahimku   Kenyataan Pahit

    Wanita yang mengaku Marissa, tersenyum seraya menyibakkan rambut panjangnya yang kecokelatan. Wanita itu tidak bertanya balik, seolah-olah sudah tahu siapa yang berdiri di hadapannya. "Mas Rivan di mana?" tanya Senja dengan suara yang setengah tercekat. Sebenarnya ia takut untuk bertanya lebih lanjut. Ia tak sanggup andai kenyataan sama persis dengan prasangka buruknya kala itu. "Dia masih tidur. Maaf ya, aku nggak bisa membangunkannya, semalam dia kecapekan banget.""Capek kenapa?" Marissa tertawa renyah. "Kamu yakin ingin tahu?"Senja melengos. Rasanya Marissa sedang menertawakan dirinya yang mungkin memang kalah telak. "Kamu dan Mas Rivan ada hubungan apa?" Bisa disebut pertanyaan bodoh. Namun, mau bagaimana lagi, Senja penasaran dan ingin tahu jawaban yang sebenarnya. "Senja Pramudita. Benar, kan, itu namamu?" Senja terdiam, sekadar memandang Marissa dengan nanar. "Bukannya kamu dan Rivan sudah cerai ya? Kok ... masih ingin tahu aja? Kamu sendiri yang selingkuh dan mengkh

  • Anak Siapa di Rahimku   Siapa Marissa

    Malam sudah menyapa. Lagi-lagi hujan setia mengguyur kota. Senja masih terbaring di ranjang rumah sakit. Meski sudah keluar dari IGD, tetapi dokter belum mengizinkannya pulang. Paling cepat masih besok sore, itu pun jika keadaannya terus membaik.Selama berjam-jam itu, Senja tak sendirian. Sama seperti hujan, Chandra juga masih setia menemaninya. Walau tak banyak interaksi, tetapi sikap lelaki itu menunjukkan kepedulian yang tinggi. Selain sigap memanggil perawat ketika Senja ingin ke kamar mandi, Chandra juga berinisiatif membelikan buah dan susu khusus ibu hamil. Padahal, sedikit pun Senja tak memintanya."Jangan repot-repot, Pak, saya sudah berterima kasih Anda mau menolong saya." Begitulah kata Senja tadi. Dia merasa segan mendapat perlakuan yang luar biasa baik dari Chandra."Tidak repot. Kebetulan aku keluar beli kopi." Seperti biasa, Chandra tanggapan Chandra terkesan tak acuh. Mungkin, memang itu ciri khasnya.Kini, dua orang itu masih terdiam di ruangan yang sama. Senja berba

  • Anak Siapa di Rahimku   Chandra Wijaya

    Senja keluar dari toko perhiasan dengan langkah lunglai. Teriris sakit hatinya mendapati kenyataan yang ada. Cincin palsu, kemungkinan perhiasan lain juga palsu, artinya ia tak punya apa-apa lagi sekarang. Uang tinggal delapan ribu, bahkan untuk pulang pun tidak akan cukup. Lapar, haus, yang perlahan mulai menyergap, entah dengan apa Senja akan mengatasinya."Ya Allah, harus bagaimana sekarang?"Senja menggigit bibir, menahan sesak dan perih yang menuntutnya untuk menitikkan air mata. Tatapan yang nanar itu terus tertuju pada layar ponselnya yang sudah butut. Berkali-kali ia melakukan panggilan pada Rivan, tetapi hasilnya nihil. Nomor Rivan tetap di luar jangkauan.Entah karena dahaga yang dibiarkan atau pikiran yang penuh tekanan, tiba-tiba perut Senja terasa melilit. Luar biasa sakitnya. Senja merintih sendiri. Menghentikan langkah dan kemudian bersandar pada batang pohon pinang di tepi jalan.Senja memegangi perutnya yang makin sakit. Sialnya, kepala juga mendadak pusing dan pandan

  • Anak Siapa di Rahimku   Palsu

    "Kamu udah nengok Senja? Atau ... minimal telfon gitu?"Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bima pada Rivan adalah seputar Senja. Bentuk kepedulian lelaki itu terhadap mantan istri temannya, yang memang patut dikasihani. "Untuk apa? Kami bukan suami istri lagi." Dengan angkuh Rivan mengisap rokok di tangannya. Terus menikmatinya dan tak acuh dengan tatapan Bima. Kini, keduanya sedang ada di sebuah cafe yang tak jauh dari pabrik. Mereka sengaja minum di sana sambil mengobrol, melepas penat setelah seharian berkecimpung dengan pekerjaan. "Kamu yakin akan sekejam ini, Van? Senja itu istrimu. Sebelumnya kamu juga mencintainya setengah mati. Sekarang sedingin ini, kamu nggak takut nyesel?" Bima ikut mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Bukan untuk melepas penat, melainkan mengikis kegundahan karena cinta yang dipaksa patah sebelum mengepakkan sayapnya. Senja Pramudita, wanita yang berhasil mengusik hatinya pada pandangan pertama. Wanita yang sejak awal ia kenal sebagai pasangan

  • Anak Siapa di Rahimku   Tanda Tangan

    Tiga hari setelah resmi bercerai secara agama, Senja keluar dari rumah Rivan. Barang-barangnya sudah dikemas sejak semalam, tak ada yang tersisa. Perjanjian perceraian yang isinya tentang harta gono-gini pun sudah dia tanda tangani. Senja tidak meminta bagian rumah atau mobil. Ia sadar diri. Dulu rumah itu adalah warisan dari orang tua Rivan. Kalaupun renovasinya menghabiskan ratusan juta, bukankah nanti Rivan masih berlapang hati memberinya uang ganti. Begitu pun dengan mobil. Awal pembelian, selagi Rivan masih lajang. Sesudah menikah dengan Senja, hanya tersisa setahun angsuran. "Sudah, Dek? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Rivan. Ia bersiap mengantar Senja ke tempat barunya. "Nggak ada, Mas." Kemudian, keduanya bersama-sama masuk ke mobil. Lantas, meluncur meninggalkan rumah yang menyimpan berjuta kenangan itu. Lagi-lagi tidak ada percakapan di antara Rivan dan Senja. Mungkin sama-sama canggung dengan status yang bukan suami istri. Atau mungkin karena masing-masing menyimpan

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status