Share

BAB 2

“Alvin, sudah beberapa kali aku mengingatkanmu untuk jangan sekali-sekali berani berpacaran, tapi kenapa kamu masih melanggarnya?” teriak Ayah Rian sambil memukulkan sebilah rotan kepada kakaknya sampai terjatuh ke tanah.

Alvin sendiri merupakan nama dari kakak laki-laki Rian tersebut.

­­­­­­“Ma−maafkan aku Ayah!” Alvin menangis sesenggukan menahan rasa sakit yang dirasakan.

“Mulut ayah sampai berbusa mengingatkan kamu, tapi kamu...”

Plas!

Tidak peduli seberapa banyak Alvin memohon, sang ayah tanpa ampun terus melayangkan rotannya untuk memukuli Alvin.

Rian hanya bisa menahan napas, dia tidak berani mengeluarkan suara sedikit pun melihat ayahnya seperti orang yang kesetanan.

“Cukup, Ayah!”

Tiba-tiba Ibu Rian keluar dari dalam rumah langsung menghentikan tindakan suaminya yang semakin brutal. Sebagai seorang ibu, tentunya tidak akan tega melihat anaknya dipukuli seperti itu, meskipun yang memukul adalah sang ayah sendiri.

“Anakmu bukanlah pencuri atau pezina, tapi kenapa kau tega memukulinya seperti? Aku paham maksudmu melarang anak-anak untuk berpacaran, tapi bukan seperti ini caranya!” cetus Ibu Rian, air matanya kini sudah turun membanjiri pipinya.

Sang ayah langsung menghentikan serangannya pada Alvin, namun dia tidak menjawab apa pun dan malah meninggalkan mereka masuk ke dalam rumah.

Setelah keadaannya mulai mencair, Rian yang merasa kasihan terhadap Alvin langsung mengangkat kakaknya dan mendudukkannya  pada sebuah kursi.

“Alvin, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?” tanya sang ibu merasa cemas.

Alvin hanya menggelangkan kepala sambil mengusap-usap mata menghilangkan bekas air matanya.

Ibu berkata, “Sudah, yang penting jangan kamu ulangi lagi hal seperti ini!” Ia lalu beralih menghadap Rian. “Kamu juga Rian, kalau kamu tidak mau merasakan seperti kakakmu, janganlah berani melanggar perintah ayahmu!”

Melihat semua kejadian barusan, Rian akhirnya paham apa yang telah terjadi dengan kakaknya. Ternyata Alvin ketahuan memiliki seorang pacar di kampusnya, wajar saja jika sang ayah bisa semarah ini.

Memang selama ini Ayahnya dengan keras melarang Rian dan kakaknya untuk berpacaran, itulah alasan Rian sampai saat ini belum pernah memiliki pacar sekalipun. Meskipun sebenarnya sang ayah tidak pernah memberikan alasan yang jelas mengapa melarang Rian dan kakaknya berpacaran.

Sang ayah hanya selalu berkata, Lebih baik sibuk bekerja keras daripada berpacaran, karena jika terus bekerja keras kamu bisa sukses dan mempunyai banyak uang. Dengan begitu, kamu bisa mendapatkan apapun yang kamu mau tanpa harus mendapatkan masalah!

Meski tidak terlalu memahami perkataan ayahnya, Rian tidak pernah berani untuk tidak menurutinya. Pernah suatu ketika Rian dimarahi oleh ayahnya hanya karena menonton film drama percintaan di televisi, itu saja berhasil membuatnya takut.

Apakah manusia lebih membutuhkan uang daripada sebuah cinta untuk membuatnya bahagia?

Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di otak Rian selama ini.

Hari telah berganti esok.

Pancaran sinar mentari yang menembus jendela ditambah kicauan burung yang merdu, membangunkan Rian di pagi hari. Beranjak dari tempat tidurnya, Rian lalu bergegas mandi, bersiap untuk pergi bekerja seperti biasanya.

Setelah lulus dari SMA, Rian menjalani hari-harinya dengan bekerja. Rian terpaksa harus berjuang mencari uang sendiri dan menabungnya untuk biaya melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi. Hal serupa seperti apa yang dilakukan oleh kakaknya sebelumnya sampai akhirnya sekarang bisa bersekolah di salah satu universitas di Jakarta. Dari situ menunjukkan jika Rian bukan berasal dari keluarga yang kaya raya.

Ayah Rian yang hanya berprofesi sebagai petani dan ibunya sebagai penjual sayur, tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi. Tidak berlebihan jika mengatakan hasil dari pekerjaan ayah dan ibunya hanya cukup untuk makan sehari-hari keluarganya.

Selama ini Rian bekerja di sebuah bengkel motor dan mobil yang berada di daerah Antapani Kidul Kota Bandung. Karena jaraknya yang cukup jauh dari desanya yang berada di daerah Cijambe, setiap harinya Rian harus menggunakan bis khusus pekerja agar bisa sampai kesana.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya Rian sampai di bengkel tempatnya bekerja. Rian tengah menyiapkan alat-alat untuk memperbaiki mobil ketika kemudian seorang pria yang baru memasuki bengkel berlari ke arahnya.

“Yes, akhirnya gua dapet, yuhu ....”

Pria itu berteriak kegirangan seolah-olah baru saja menemukan pohon uang. Pria tersebut adalah teman kerja Rian di bengkel yang bernama Dodit. Dari semua teman Rian di bengkel, Dodit lah orang yang paling dekat dengannya selama ini.

Melihat temannya yang penuh sukacita, Rian mau tidak mau segera bertanya, “Dit, lu ngapa sih pagi-pagi udah kaya orang gila?”

“Lu tau Sofia kan? Setelah seribu purnama, akhirnya dia mau jadi pacar gua men!” Dodit menjawab dengan kegirangan. Sofia adalah wanita yang sudah lama dikejar-kejar oleh Dodit dalam setahun terakhir, ia sangat menyukainya. Sampai akhirnya semalam Dodit berhasil menaklukan hati wanita pujaannya itu.

“Bagus dong, artinya lu gak bakal main-main lagi di kamar mandi,” canda Rian sambil terkekeh.

Tertawa keras sebagai jawaban, Dodit kemudian balik bertanya, “Lu sendiri gimana bro? Masih betah lu jadi jomblo? Tenang aja, gua siap kok bantuin lu buat nyari bokin!”

“Oke, kalo gitu bantuin gua buat jadi pacarnya Sofia!”

Rian kembali bercanda, dia tidak merasa perlu menanggapi pertanyaan Dodit dengan serius. Rian Masih teringat kejadian kemarin ketika kakaknya habis dimarahi karena ketahuan pacaran.

“Anjir!”

Dodit kembali tertawa terbahak-bahak.

Rian yang tidak mau melanjutkan obrolan, kemudian langsung membuka kap mobil untuk memeriksa bagian dalamnya yang rusak. Dodit pun langsung pergi untuk memeriksa mobil yang lain.

Karena bengkel tersebut cukup besar dan ramai pelanggan, Rian harus bekerja dari pagi sampai sore, bahkan tidak jarang sampai malam hari jika terlalu banyak pelanggan yang menyervis mobil dan motornya. Meski begitu, Rian tidak pernah mengeluh sedikit pun.

Keadaan tidak pernah memaksa kita untuk menikmatinya. Keadaan juga tidak pernah memaksa kita untuk mensyukurinya. Tapi nikmat dan syukurlah yang memaksa keadaan untuk berubah menjadi lebih baik.

Ketika semua pekerjaan telah selesai dan malam pun sudah mulai tiba, Rian mulai meninggalkan bengkel untuk pulang. Namun karena Rian merasa lapar, dia memutuskan untuk mampir di sebuah cafe di kawasan Dago sebelum pulang. Lagi pula Rian baru saja menerima upah kerjanya selama sebulan penuh.

Setelah berjalan tak terlalu jauh, akhirnya Rian tiba di sebuah cafe di persimpangan jalan.

Suasana di cafe malam itu cukup ramai sehingga Rian hanya dapat tempat duduk di bagian luar cafe. Di dalam sudah penuh sesak oleh beberapa pasang pria dan wanita yang sedang menikmati hidangannya masing. Rian sudah bisa menebak jika kebanyakan dari mereka adalah pasangan kekasih.

Sejujurnya Rian tidak terlalu nyaman melihat pemandangan seperti itu, lagi-lagi dia bisa merasakan iri di dalam hatinya. Akan tetapi karena sudah sangat lapar, Rian tidak mau mempermasalahkan hal tersebut.

Ketika Rian sedang asik menikmati sup hangat yang ia pesan, tiba-tiba terdengar…

“Rian!” teriak seorang pria tinggi berambut pirang yang kini berjalan ke arah Rian, disampingnya terlihat wanita cantik yang mengenakan sweater hitam.

Mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang memanggilnya, Rian mengerutkan keningnya ketika mengetahui siapa orang itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status