Share

BAB 4

“Ayo kesana!”

Suara Dodit membuyarkan pandangan Rian terhadap gadis cantik itu, kini tangannya telah ditarik oleh Dodit yang berjalan menuju meja di pojok ruangan.

Di meja itu sudah ada seorang gadis yang nampak berusia sekitar Sembilan belas tahun sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

“Rian, ini orangnya yang mau gua kenalin sama lu, namanya Adila. Dan Adila, ini Rian, orang yang waktu itu aku ceritain sama kamu.” Kata Dodit memperkenalkan mereka berdua.

Adila dengan wajah manisnya tersenyum lalu berkata, “Ya, aku Adila. Senang ketemu sama kamu Rian!”

Dari caranya berbicara, Rian berasumsi bahwa Adila adalah gadis yang ramah dan sopan. Wajah polosnya memancarkan aura yang positif dari dirinya.

“Senang juga ketemu sama kamu Adila,” balas Rian tersenyum lebar menghargai keramahan Adila.

Pertemuan mereka berdua telah direncanakan semua oleh Dodit. Tujuan utamanya bukan hanya sekedar bertemu, Dodit berharap keduanya bisa berkenalan lalu menjalin sebuah hubungan percintaan. Ini semua dilakukan karena ia ingin membantu Rian mendapatkan seorang pacar, dan Adila lah yang dirasa sangat cocok untuk menjadi pasangan Rian.

Adila sendiri merupakan saudara sepupu Dodit, Dodit sangat senang jika sepupunya bisa berpacaran dengan temannya sendiri. Lebih-lebih lagi, Dodit sudah mengenal Rian adalah orang yang baik dan bertanggung jawab, jadi dia tidak perlu merasa khawatir jika Adila menjadi pacar Rian.

Setelah basa-basi perkenalan, mereka bertiga lanjut berbicara santai sambil menikmati hidangan roti yang telah dipesan. Namun tidak ada pembahasan yang menarik dari mereka, terutama dari Rian dan Adila.

Rian yang tidak terlalu paham maksud dari pertemuan ini hanya berbicara sekedarnya kepada Adila. Rian masih penasaran terhadap gadis pelayan tadi, dia tidak bisa menahan untuk terus mencuri pandang memperhatikan gadis tersebut.

Adila yang menyadari Rian terus melirik gadis pelayan yang dirasa lebih cantik darinya, tidak dapat dipungkiri jika Adila merasa sedikit tersaingi dan kecewa. Padahal sebelumnya Adila telah berekspetasi jika Rian akan tertarik padanya.

“Cewek pelayan itu cantik banget ya!” sarkas Adila kepada Rian.

Rian yang tidak peka terhadap sarkas yang diberikan Adila lalu menjawab, “Betul, mataku aja sampai gak kedip liat cewek itu!”

Mendengar jawaban Rian yang percaya diri, membuat hati Adila semakin panas, tubuhnya hampir tidak bisa dikontrol. Adila benar-benar sudah muak dengan Rian.

“Kayaknya gak ada gunanya lagi aku ada disini, ada urusan yang lebih penting jadi aku harus pergi!”

Adila berkata dingin dengan ekspresi masam di wajahnya. Ia langsung berdiri dari tempat duduknya lalu meninggalkan meja itu tanpa mengatakan apa-apa lagi.

“Adila, tunggu!” Dodit mencoba mencegahnya pergi.

Tapi gadis itu tidak meresponnya sama sekali dan lanjut berjalan keluar dari toko roti. Lagi-lagi Rian telah dicap sebagai pria yang suka mencampakkan hati wanita.

Rian sendiri hanya terdiam tidak tahu harus melakukan apa, dia tidak mengerti mengapa Adila tiba-tiba marah dan pergi begitu saja.

“Aduh, bego banget sih lu! Bukannya ngajak Adila ngobrol malah sibuk ngelirik cewek pelayan itu. Rencana gua buat jodohin lu sama Adila jadi sia-sia kan!”

Dodit merasa gusar kepada Rian setelah apa yang terjadi, rencananya semua berantakan.

“Hah?”-Rian tersedak minumannya-“maksud lu apa? Jodohin gua sama Adila?”

“Iya, niat gua baik supaya lu bisa punya pacar! Makanya sengaja gua ajak lu ketemu Adila,” ucap Dodit dengan cemberut.

Mendengar itu, Rian merasa sedikit bersalah. Rian sangat mengerti niat baik sahabatnya itu, namun tidak bisa dipungkiri kalau dia lebih tertarik pada gadis pelayan itu ketimbang Adila.

Rian menepuk bahu Dodit lalu berkata, “Gua menghargai niat baik lu dan gua minta maaf! Tapi selama ini gua gak pernah minta lu repot-repot buat nyariin pacar, tanpa ngelakuin itu pun lu tetap bakal jadi sahabat baik gua.”

“Terus, kenapa dari tadi lu ngelihatin cewek itu mulu? Memangnya lu suka?” Dodit bertanya sambil menoleh ke arah gadis pelayan itu, dia menerka-nerka jika sepertinya Rian telah tertarik kepada gadis itu.

Walaupun sebelumnya Dodit berharap Rian bisa menjadi pacar Adila, namun setelah merenung singkat akhirnya Dodit sadar jika dia tidak mempunyai kehendak mengatur Rian memilih wanita yang disukainya. Tugasnya sebagai teman hanyalah mendukung dan membantu Rian.

Tidak mendapatkan jawaban dari Rian, kemudian Dodit menjelaskan, “Namanya Citra Loka, dia anak dari pemilik toko roti ini. Karena toko ini dijalankan oleh keluarganya sendiri, jadi setiap hari dia harus bantu melayani pelanggan disini.”

Bukan hal yang sulit bagi Dodit untuk menjelaskan latar belakang Citra, karena selama ini dia sering mengunjungi Harvest Bakery untuk sekedar nongkrong atau sarapan.

Rian hanya mengangguk paham, sambil sekali lagi melirik Citra yang sekarang sedang berdiri di depan meja salah satu pelanggan.

Gimana kalau gua bisa jadi pacarnya?

Tiba-tiba pertanyaan itu terbesit di pikirannya. Rian hanya tersenyum sendiri memikirkan itu.

Jam mulai menunjukkan pukul delapan. Rian yang sebenarnya masih ingin berlama-lama disana menyaksikan keindahan wanita itu, dengan berat hati harus segera kembali ke bengkel untuk bekerja. Akhirnya Rian dan Dodit meninggalkan toko roti itu.

Hari itu Rian habiskan dengan sibuk memikirkan wanita yang bernama Citra, Kecantikannya dari ujung kaki sampai pangkal rambut masih berputar-putar di kedua bola mata Rian.

Malam harinya, di atas ranjang tempat tidurnya Rian sangat serius menatap ponselnya. Jari-jarinya terus mengusap layar ponsel ke atas dan ke bawah. Karena keingintahuannya pada Citra, memaksa Rian untuk mencari akun media sosial milik gadis itu.

Ini dia!

Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhirnya Rian berhasil menemukan akun I*******m atas nama Citra Loka. Pancaran kebahagiaan terlihat jelas dari wajahnya.

Tertera nama akun @Citra_loka yang dilengkapi dengan foto selfie Citra di dalam sebuah mobil sebagai foto profilnya.

Mata Rian tidak berkedip sedikitpun memandangi foto-foto Citra di feed Instagramnya, sambil sesekali membayangkan jika Citra bisa menjadi pacarnya. Senyum terus terpancar menghiasi wajahnya melihat kecantikan itu.

Jika kala itu tidak ada orang yang menemukan lampu, maka yang bisa aku lihat sekarang hanyalah kecantikanmu.

Walaupun ini bukan kali pertama Rian merasakan jatuh cinta pada seorang wanita, namun kali ini terasa sangat berbeda. Rian merasakan ada tekanan cinta yang luar biasa ketika pertama kali bertemu Citra.

Setelah berjam-Jam memandangi foto Citra tanpa bosan, Rian akhirnya tertidur lelap.

Keesokan harinya Rian bangun pagi-pagi sekali, karena dia memang telah berencana untuk pergi ke Harvest Bakery dahulu sebelum menuju tempat kerjanya. Tentu saja hanya semata-mata agar dia bisa bertemu dan melihat Citra.

Mengenakan jaket kulit berwarna hitam dengan sepatu pantofel di kakinya, Rian ingin terlihat keren ketika bertemu dengan Citra nanti. Hal yang wajar dilakukan oleh setiap lelaki ketika mereka akan bertemu dengan wanita yang disukainya, mereka akan berusaha menampilkan penampilan yang terbaik dari dirinya.

Setelah tiga puluh menit dalam perjalanan, Rian akhirnya tiba di Harvest Bakery. Tapi sayangnya ketika Rian sampai disana, ia mendapati jika toko roti di pinggir jalan itu masih tutup.

Sepertinya aku kesini terlalu pagi, jadi wajar jika toko roti itu masih tutup.

Dengan pemikiran itu, akhirnya Rian berinisiatif untuk menunggu toko roti itu sampai buka. Tekadnya untuk bertemu Citra sangatlah bulat.

Sudah hampir satu jam Rian menunggu, namun tidak ada tanda-tanda toko roti itu akan dibuka.

Rian merasa putus asa.

Kemudian dia membuka ponselnya untuk melihat jam. Sadar jika tidak lama lagi bengkel tempat kerjanya mulai beroperasi, dengan berat hati Rian harus meninggalkan Harvest Bakery tanpa dapat bertemu dengan Citra.

Namun baru tiga langkah Rian berjalan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dia mendengar suara lembut seorang wanita dengan logat Sunda yang khas.

“Punten, Mas mau beli roti ya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status