Share

Penyusup!

       “Bagaimana rasanya kalian mendapatkan satu bintang lagi?” tanya Seven penasaran dengan perasaan kedua sahabatnya, Aurel dan Jhon.

       Aurel hanya tersenyum manis sembari melihat-lihat tiga bintang yang sudah dikumpulkan, sedangkan Jhon menjawab sembari tersenyum ramah, “Biasa saja.”

       Seven menggelengkan kepalanya, lalu menyindir mereka berdua yang terlalu kesenangan mendapatkan tiga bintang. “Ingat! Perjalanan kalian masih panjang. Suatu saat kalian akan menjadi tangan kanan dan kiriku.”

       Aurel dan Jhon kompak menjawab siap. Setelah itu, mereka bertiga tertawa bersama-sama mengingat-ingat beberapa pertarungan yang pernah hadapi sebelumnya. Ya, mereka bertiga selalu bersama sejak kecil. Itulah mengapa Aurel dan Jhon menjadi kesatria I dan II dengan mudah.

       Ketiga orang ini seperti burung-burung merpati yang tidak bisa dipisahkan. Selalu bersama-sama di mana pun berada. Tidak pernah berpisah sama sekali, kecuali jika ada hal yang penting seperti masalah keluarga. Barulah mereka berpisah untuk menyelesaikan masalah keluarganya masing-masing.

       “Aurel bagaimana dengan kekuatan sihir anginmu?” Seven bertanya tiba-tiba membuat Aurel sedikit terkejut.

       Aurel menundukan kepalanya. “A-aku belum bisa meningkatkan kekuatan serangan sihir anginku. Padahal aku sudah berusaha keras selama latihan.”

       Seven hanya mendengus lemah mendengar jawaban Aurel, lalu dia bertanya pada Jhon, “Bagaimana denganmu, Jhon?”

       Sama halnya dengan Aurel, Jhon menundukan kepalanya. “Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan lagi. Walaupun banyak membaca, sepertinya aku kesulitan memahami dan menerapkan apa yang telah aku baca.”

       Seven merasa khawatir mereka berdua tidak berkembang. Jika terus begini, dua sahabatnya bakal ketinggalan jauh darinya. Selain itu, mereka berdua tidak akan bisa mengimbangi pertarungannya. Dia hanya bisa berharap kedua sahabatnya bisa berkembang denga meningkatkan keahliannya masing-masing.

       Beberapa menit kemudian suara ketukan pintu terdengar. Seven mempersilakan orang yang mengetuk untuk masuk.

       Setelah mendapatkan izin, laki-laki berambut hitam pekat membuka pintunya dengan pelan, lalu melangkah masuk ke dalam. Seorang wanita berambut pirang menyusul dari belakang mengikuti laki-laki ini.

       Seven terkejut dengan kedatangan dua orang beda jenis kelamin. Dia tahu siapa laki-laki berambut hitam. “Julian mengapa kau ke sini? Lalu itu siapa? Bukannya kau masuk ke kerajaan sendirian?”

       Julian terkekeh, lalu menjawab dengan santai, “Bukannya ini tempat khusus para kesatria berkumpul? Oh, ini adikku. Silakan perkenalkan diri, Dik.”

       Wanita berambut pirang ini membungkukkan tubuhnya sembari memperkenalkan dirinya, bernama Juli. Dia merupakan adik angkat Julian. Walaupun bukan satu ayah dan ibu, dia sudah menganggap Julian sebagai kakaknya, karena ia telah menolongnya dari kematian. “Aku di sini sebagai kesatria keempat.”

       Seven sedikit kesal dengan kedatangan mereka berdua. Dia sama sekali tidak menerima kehadiran orang lain, selain kedua sahabatnya. Seharusnya Julian memberitahunya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan khusus para kesatria.

       Selain itu, Seven tidak menyangka ayahnya tidak memberitahu anaknya kalau ada kesatria baru satu lagi. “Apa-apaan maksud semua ini? Dasar ayah sialan!” geramnya dalam hati. Kedua tangannya sudah mengepal sedari tadi.

       Aurel buru-buru memegang tangan kanan Seven. Dia menggelengkan kepalanya, agar tidak melakukan perkelahian di ruangan ini. Seven menepis tangan Aurel agar melepaskannya. Tangan kanannya menunjuk Julian dengan wajah emosi. “K-kau sialan! Mengapa ayahku tidak memberitahuku?”

       Julian hanya terkekeh. Juli melangkah mendekati Seven, wajahnya tersenyum sinis. Mulutnya membisikkan satu kalimat pada telinganya. “Mungkin ayahmu sudah tidak menganggapmu sebagai anaknya.”

       Dengan cepat Seven mendorong dada Juli. Dia sudah terpancing emosi. “Jangan berkata macam-macam kau!”

       Juli kembali tersenyum, kedua tangannya memegang wajah Seven dengan lembut. “Buktinya ayahmu tidak memberitahumu tentang kedatanganku.”

       “Argh!” geram Seven. Kedua kakinya melangkah keluar dari ruanga kesatria. Dia melangkah cepat menuju singgasana kerajaan. Dia harus menuruni satu tangga, agar bisa sampai di singgasana karena tempatnya berada di lantai dua. Sedangkan ruangan khusus kesatria berada di lantai tiga.

       Perasaan kesal bergejolak dalam hatinya. Di sisi lain, ia berusaha menahan emosinya agar tidak pecah. Bisa-bisanya seorang ayah tidak memberitahu anaknya, jika ada orang baru dalam kerajaan. Apakah benar dia sudah tidak dianggap sebagai anaknya. Apa gara-gara dua ibu tirinya, membuat sang ayah melupakan dirinya.

       Langkahnya semakin ke sini semakin cepat, sehingga hanya dalam beberapa menit ia sudah berada di depan pintu singgasana kerajaan. Dengan nada tegas, ia menyuruh dua penjaga membuka pintunya dengan cepat.

       Ketika pintunya sudah dibuka, raja Fedrin terlihat sedang bersantai bersama dua primaisurinya. Seluruh tubuhnya mendapatkan pijatan dari kedua primaisuri. Tak ketinggalan buah-buahan menjadi konsumsinya setiap hari.

       Seven berteriak memanggil ayahnya dengan suara keras. Fedrin dan kedua primaisurinya terkejut mendengar panggilan keras dari sang anak. Dia meminta dua perimaisurinya pergi dari sini.

       Akan tetapi, mereka berdua menolak. Dua perimaisuri ini ingin memarahi Seven yang sudah tidak sopan memanggil ayahnya. Fedrin berusaha membujuk keduanya agar pergi dari sini. “Biarkan aku yang mengurusi dia.”

       “Tapi sayang, anakmu sudah tidak sopan.”

       “Betul! Apalagi dia sudah memanggilmu dengan suara keras.”

       Fedris membuang napasnya dengan kasar. “Aku tahu dia tidak sopan, tapi biarkan aku yang mengurusinya. Aku mohon.” Dia terus memohon kedua perimaisuinya agar pergi dari sini.

       Kedua perimaisuri saling menatap satu lain seperti meminta pendapat masing-masing. Hingga akhirnya setelah kata-kata romantis keluar dari mulut Fedrin, mereka berdua menuruti ucapannya. Keduanya bersama-sama melangkah keluar dari singgasana kerajaan. 

       Setelah kedua perimaisurinya tidak ada. Fedrin turun dari singgasana kerajaan. Tanpa ampun dia menampar anaknya dengan keras. “Lain kali kalau memanggil ayahmu dengan suara lembut!” gertaknya tidak kalah keras dengan suara sang anak.

       Seven yang sudah tersulut emosi tidak diam saja. Dia balas membentak sang ayah. “Mengapa ayah tidak memberitahuku ada orang baru lagi selain Julian, hah!?”

       Fedrin terkejut apa yang ditanyakan oleh anaknya. “Apa? Orang baru selain Julian? Tidak ada orang baru selain Julian di kerajaan.”

       “Ayah pasti bohong! Buktinya ada kesatria keempat bernama Juli. Dia mengaku sebagai adik angkat julian.”

       Pada saat itu, kebetulan Julian muncul dari balik pintu singgasana kerajaan. Mendengar kata adik angkat, tentu saja dia tidak terima dengan ucapan Seven. “Sebaiknya anda berhati-hati jika berbicara, Pangeran. Aku tidak punya adik angkat, tapi adik sungguhan. Adik sekandung!”

       Seven melihat seorang wanita yang bersembunyi dibalik punggung Julian. “Nah, itu dia orangnya!” ucapnya sembari menunjuk ke arah seorang wanita.

       Fedrin kembali menampar anaknya dengan keras. “Jaga ucapanmu, Seven! Ayah tahu Julian mempunyai seorang adik. Namun, dia tidak mengatakan adik angkat dan ayah tidak mengangkat adiknya sebagai kesatria keempat, melainkan sebagai kapten pasukan pemanah divisi satu. Paham?!”

       Seven tidak bisa membalas bentakan ayahnya lagi. Apalagi jika ayahnya sudah begitu emosi hingga menamparnya sebanyak dua kali. “La-lalu yang terjadi di ruangan kesatria itu ....”

       “Yang Mulia!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status