Saat ini aku memasuki penthouse Richard dengan perasaan yang berbeda. Posisi kami kini sudah berada di 'saling menyukai' meskipun belum jadi pacar. Apa aku bisa menghadapinya seperti biasa? Apakah dia akan menghadapiku seperti biasa?
"Ini, tangkap." Richard melempar sepasang sarung tangan kepadaku. "Thanks." Aku mengenakannya dengan baik. Tidak boleh longgar atau tanganku akan cedera saat memukul. "Perlu istirahat dulu nggak? Tadi kamu baru menghadapi--" "Nggak usah. Ayo!" "Kali ini apa taruhannya?" "Taruhan?" Aku melongo. "Biar lebih seru. Kalau aku menang kamu mau kasih apa?" Richard menyeringai. Aku tidak suka gagasan ini. "Kalau kamu menang, boleh minta apa aja," kata Richard. "Serius nih?" "Serius banget." "Kalau kamu yang menang?" AkAku duduk bersila di sofa sambil sibuk memindahkan data dari handphone lama ke handphone baru. Konsentrasiku sedikit terganggu karena Richard tidak putus memandangiku. Sesekali aku melirik dengan keki. "Hari apa kamu pergi ke rumah ibumu?" tanya Richard. "Lusa," jawabku singkat. "Nggak mau kuantar? Lusa kan hari Sabtu, sekalian malam Mingguan." Aku menatap Richard, "Nggak usah, aku pingin naik kereta." Richard menarik lepas sanggul rambutku. Seketika rambut terurai menutupi wajahku. Aku berseru kesal. "Begitu lebih cantik," puji Richard. "Aduhhh iseng banget sih! Kalau dilepas gampang kusut, makanya aku jarang gerai rambut." Aku menyisiri rambut dengan jari-jariku. "Eh, mau diapain? Biarin aja." Richard protes saat melihat aku mulai menggelung rambut. Aku menghela nafas, "Penyiksaan...." &
Aku duduk termenung menatap jendela kereta. Sebentar lagi aku akan tiba di stasiun kota B, kota tempat Elisabet tinggal. Barang bawaanku yang lumayan banyak kujejalkan dalam satu ransel gunung dan satu duffel bag. Kereta berhenti. Aku pun berbaur dengan penumpang lain menuju gerbang. Angkutan umum aneka warna sudah berjejer manis. Kernet dan sopir berteriak sahut-sahutan untuk menarik penumpang. Aku memilih untuk naik angkutan umum di deretan terdepan. Seperti biasa angkutan umum mungil ini kebut-kebutan di jalan raya tanpa peduli keadaan lalu-lintas sedang ramai. Aku duduk sambil memasang kuda-kuda supaya tidak terjungkal. Tidak sampai sepuluh menit aku sudah tiba di komplek perumahan tujuanku. "Ma, aku pulang!" seruku saat sudah masuk gerbang. Elisabet tergopoh-gopoh keluar. Tangannya masih menggenggam kuas dan palet. "Ayo masuk, Nak!" Elisabet tersenyum cerah. "Kok nggak d
Aku mengubek-ubek dapur. Mataku berbinar saat menemukan mi instan. Segera saja aku merebus air di panci. Aku kelaparan jadi kubuat mi telur porsi dobel. Tiga menit kemudian sepanci mi telur sudah mengebulkan aroma sedap. Aku makan dengan kenikmatan tertinggi. "Wah, wangi banget!" seru Elisabet. "Makan, Ma...," kataku dengan mulut penuh. "Kalau ngomong makanannya ditelan dulu. Kamu kayak baru keluar dari penjara," ledek Elisabet. "Sorry...," ucapku tanpa benar-benar merasa menyesal. Elisabet mencuci tangan, "Bagaimana hubunganmu dengan Richard? Kelihatannya ada kemajuan dan hambatan?" "Ehmm...." Aku menelan mi terlebih dahulu. "Lumayan sih, cuma ayahnya nggak merestui." "Oh, begitu." Elisabet duduk di sebelahku. "Yang lebih parah ayah Richard malah tertarik padaku, Ma." Elisabet mengangkat alis. Shock.
Satu bulan sudah Bryan berkeliling beberapa kota besar di Kalimantan Barat untuk meliput festival Imlek yang berlanjut hingga Cap Go Meh, antara lain Pontianak dan Singkawang. Banyak foto bagus yang dia dapat karena seisi kota benar-benar diliputi warna merah dekorasi Imlek. Puncak perayaan Cap Go Meh begitu meriah. Bryan menuju kota Singkawang dan melihat festival Tatung yang menggetarkan nyali. Bagaimana tidak, dalam kondisi trans para peserta Tatung melakukan atraksi serupa debus tanpa merasa sakit sama sekali. Ada yang berkata bahwa itu adalah karena kekuatan dewa-dewa yang merasuki tubuh fana manusia, membuatnya menjadi kebal segala senjata tajam. Bryan bukan lelaki penakut, tapi hatinya ngilu saat melihat pipi seorang gadis muda peserta Tatung ditembusi dua batang besi tajam sepanjang satu meter. Sayang sekali. Gadis itu sangat cantik dengan mata bulat dan kulit seputih porselen. Ketika berada dalam p
Aku bersin tiga kali berturut-turut. Palet yang kupegang nyaris terjatuh. Elisabet menatapku dengan aneh. "Pilek? Minum vitamin C," kata Elisabet seperti slogan iklan. "Nggak tahu, kayak alergi." Aku melanjutkan melukis. Elisabet terkekeh, "Ada yang ngomongin kamu kali." "Siapa?" "Siapa nanya." Aku merengut. Kalah poin dengan Elisabet. "Mama nih," gerutuku. "Richard belum mampir?" tanya Elisabet. "Belum ada kabar. Masih sibuk kali." Aku menggoreskan cat berwarna merah untuk langit senja yang sedang kulukis. "Coba kamu telepon dia." "Nggak ah. Biar aja." "Hazel, aktif sedikit nggak apa kok." "Nggak ah. Kami belum juga jadi pacar, masa udah suruh-suruh ke sini." Elisabet tidak memperpanjang perkara lagi. Dia t
Aku mencari info tempat wisata yang asyik di kota ini. Kebanyakan wisata alam bebas. Saat ini aku sedang tidak ingin bermain di alam. "Oh, ada pasar malam!" Aku memekik senang. "Di mana?" "Nggak jauh, cuma agak ke pinggir kota." "Pasar malam? Bukannya sore baru buka?" "Oh ya, benar juga. Sekarang masih siang." Kegembiraanku sedikit surut. "Setidaknya kita udah ada tempat tujuan," hibur Richard. Aku meringis. "Aku tahu rumah makan yang bagus di atas gunung. Agak jauh sedikit. Kamu mau?" tanya Richard. "Mau dong! Mumpung lagi di luar!" "Kita bisa duduk agak lama di sana. Kamu pasti suka pemandangannya." "Ayo!" Jalur menuju kawasan Puncak ramai lancar. Richard mengemudi dengan tangkas di jalur yang berkelok-kelok serta menanjak. Aku memang tidak bi
Pagi-pagi sekali aku sudah merenggangkan tubuh di pekarangan. Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku termenung, ini kok seperti bentuk mobil Richard? Masa dia kemari lagi? Si pengemudi mengklakson sekali. Aku melambai. Senyumku sirna saat pengemudi mobil keluar. Bryan!! Mau apa dia?? "Hai, pagi Hazel," sapa Bryan. "Mau apa?" tanyaku ketus. "Ada yang ketinggalan semalam." Bryan belum menyadari kalau aku sudah bisa mengenalinya. "Apa?" "Kamu." Bryan tersenyum manis. Wajah tampannya memang identik dengan Richard, mirip sampai ke lesung pipi, namun warna hatinya sangat berbeda. "Jangan macam-macam deh, Bryan." Bryan tersentak, kaget karena aku mengenalinya. "Mau apa? Menyamar jadi Richard?" ketusku. Bryan terkekeh, "Mata lo jeli banget ya. Biasanya orang yang baru kenal nggak langsun
Bryan tidak menyangka bahwa Hazel akan segera mengenali dirinya, padahal dia berniat menyamar sebagai Richard untuk mengambil kesempatan saat wanita itu lengah. Siapa sangka dirinya malah dibanting ke tanah. Sebagai lelaki harga dirinya turut terbanting. Namun lagi-lagi tidak disangka seorang wanita paruh baya keluar dari rumah dan berbicara dengan ramah. Bryan sempat terpana melihat Elisabet, dia langsung tahu kalau wanita ini adalah ibunda Hazel. Sudah paruh baya tapi masih cantik. Seandainya masih muda Bryan pasti tidak akan melepasnya. Sekarang mereka sudah duduk berhadap-hadapan di ruang tamu. Elisabet menyajikan minuman untuk Bryan tanpa tatapan menghakimi sedikit pun. Dia merasa nyaman berada di dekat Elisabet. Sebuah perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. "Bryan? Kamu suka Hazel?" Elisabet memulai percakapan tanpa basa-basi. Dia tahu lelaki seperti Bryan butuh kata-kata yang lugas. &