Share

Arimbi 20 - Kepedulian Leo

"Mas ..." panggilnya pada lelaki yang berdiri menghadap jendela.

Mengusap matanya beberapa kali, Hanna pun bangkit, menyandarkan badannya pada tumpukan bantal. Saat orang yang dipanggil berbalik, Hanna sungguh terkejut. Ternyata bukan Sultan yang menemaninya, tapi Leo. Dengan tidak mengerti Hanna menatap Leo, membiarkannya membuat teh hangat tanpa suara.

"Bagaimana keadaanmu, Hanna?" tanyanya seraya mendekati Hanna.

Sekali lagi Hanna kaget mendengar namanya dilafalkan dengan jelas oleh Leo. Semakin sulit memahami situasi ketika Leo menyentuh keningnya yang berkeringat. Hanna menahan napasnya untuk seperkian detik, mencoba bersikap tenang, dan tidak membuat tindakan sebelum jelas.

"Syukurlah, suhu tubuhmu sudah mendingan. Apa ada yang masih sakit?" Leo bertanya lagi, senyumnya selalu terbentuk sempurna.

Ya Allah! Jantung Hanna berdetak sangat kencang. Dia merasa jika Leo begitu memerhatikannya, peduli, penuh kasih dan sayang. Akan tetapi kenapa orang lain? Padahal Sultan adalah suaminya, tetapi dia tidak ada di sini. Sultan masih saja acuh, tidak peduli, sekalipun Hanna sekarat.

"Leo, di mana Mas Sultan? Kenapa kamu yang ada di sini?" Pertanyaan Hanna meredupkan senyum manis Leo.

Lelaki itu pun mengibaskan tangannya ke udara, wajahnya mendadak berubah kesal. "Dia tidak peduli padamu. Bahkan, dia kembali ke Singapura sebelum kamu sadar."

Hanna mengangguk paham. Memang seharusnya Hanna tidak mengharap Sultan peduli. Bagaimanapun Hanna selalu kalah dengan kekuatan cintanya kepada Arimbi. Mengelus perutnya yang masih rata, tiba-tiba Hanna teringat sesuatu. Dengan panik ditatapnya Leo meminta penjelasan.

"Janin kamu selamat, hanya saja dia sangat lemah. Kamu tidak boleh berpikir apapun, apalagi memikirkan orang yang tidak peduli padamu." Leo memberinya nasihat, Hanna hanya menunduk. Dia merasa tidak enak.

Mengingat kepedulian dan kehadiran Leo di sisinya selama lebih 1x24 jam, membuat Hanna jadi malu. Apalagi sampai saat ini Hanna masih berpikir soal Sultan, yang sudah pergi tanpa bertanya kabarnya. Mungkin, itu hal yang wajar bagi seorang istri, tetapi sama sekali tidak relevan bagi yang merawatnya dengan kesungguhan.

Leo berdeham menyadarkan Hanna yang tengah melamun. Mengambil segelas teh yang baru saja Leo seduh, dengan pengertian diangsurkannya pada Hanna. Wanita itu menerimanya, lalu meminumnya hingga setengah.

"Terima kasih," kata Hanna saat Leo mengambil kembali bekas gelasnya.

Menarik kursi yang tersedia, Leo menyeretnya lebih dekat ke ranjang Hanna. Dengan tenang lelaki itu duduk tepat di hadapan Hanna yang mendadak kikuk. Rasanya Hanna ingin menghindar, jarak mereka sangat dekat, tapi dia tidak bisa karena ruang geraknya terbatas. Hanna mengalihkan pandangannya saat Leo menatap sangat dalam. Hanna tahu jika ini adalah sebuah kesalahan yang samar. Tidak semestinya Leo berada di dalam satu ruangan dengannya. Bagaimana jika Sultan tahu? Ah, untuk satu itu Hanna bahkan yakin Sultan tidak akan cemburu dengan dirinya.

"Katakan, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Leo seperti mengintrogasi.

Menoleh sekilas, Hanna mengatur napasnya yang mulai berantakan. "A-ku tidak sedang baik, perasaanku selalu tidak enak sejak Mas Sultan pergi menemani Mba Arimbi berobat."

"Ya, aku tahu apa yang kamu pikirkan." Leo mendahului Hanna yang masih bingung dengan perasaan sendiri.

Wanita itu hanya menatap Leo tanpa bertanya apapun. Sejauh ini Hanna selalu merasa jika Leo begitu perhatian dan peduli padanya, bahkan lebih. Hanna tidak pernah tahu mengapa Leo melakukannya. Sejak awal Sultan mengenalkan keduanya tatapan Leo tampak lain, seakan memiliki arti.

"Leo, kenapa kamu begitu peduli padaku?" tanya Hanna, membalas tatapan Leo yang tidak sedikitpun bergerak.

Ditanya demikian Leo tersenyum. Perlahan diraihnya tangan Hanna yang masing terpasang selang infus, lantas berkata. "Sejak pertama kali melihatmu, entah kenapa aku kagum padamu. Sikap dan sifatmu yang sempurna membuatku sadar bahwa ternyata di zaman ini masih ada wanita yang tulus, dan itu kamu."

***

Kepulangan Hanna disambut hangat oleh Marlina, wanita itu sangat bahagia. Ransel kecil yang Hanna bawa Marlina ambil, dan mengangkutnya sampai ke dalam. Leo mengikutinya di belakang, membawa ransel berisi pakaian kotor yang dipakai selama di rumah sakit. Semenjak Leo menyatakan perasaannya Hanna menjadi serba canggung. Keduanya tidak berbicara sedikitpun sampai Marlina mempersilakan Leo duduk.

"Mau minum apa, Tuan?" tanyanya sopan, Marlina cukup mengenal baik Leo. Sebab Sultan sering mengajaknya ke rumah untuk segala urusan.

"Apa saja, Bu." Leo menjawab setelah melirik Hanna yang mengangguk.

Setelah kepergian Marlina suasana kembali canggung. Hanna dan Leo sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perasaan Leo, hanya saja Hanna terlalu takut. Ada rasa trauma yang terus menghantui pikirannya, tentang segala hal yang bisa membangkitkan monster di dalam tubuh Sultan.

"Leo ..." panggil Hanna lirih.

Leo mengangkat kepalanya yang semula menunduk, menatap wajah kikuk Hanna. Dari hati yang terdalam Leo merasa bersalah. "Lupakan semuanya Hanna, maafkan aku."

"Tidak, kamu tidak salah. Aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Kamu sudah baik kepadaku, Leo, mungkin jika tanpamu aku akan stress ketika sadar tidak ada seorang pun yang menungguku."

Pikiran Leo yang tegang akhirnya melunak. Kejujuran Hanna membuat hatinya semakin tersentuh. Tidak membuang kesempatan maka Leo akan memperbaiki ucapan tempo lalu.

"Aku hanya mengagumimu, Hanna, bukan mencintaimu. Jatuh cinta kita berasal dari hati, rasa kagum itu dari perasaan. Jadi, bisakah kita kembali berteman? Janganlah sungkan."

Hanna mengangguk malu-malu.

Keduanya pun tersenyum lebar. Leo selalu mempunyai cara membuat Hanna merasa tenang. Senyuman Leo yang manis menggugah hati Hanna untuk terus tersenyum. Perasaan gelisah Hanna seketika hilang, jiwa dan batinnya sekarang sudah lebih baik.

"Silakan diminum, Tuan, Nona." Marlina menaruh dua gelas teh tepat di depan keduanya, Leo dan Hanna.

"Terima kasih, Bu." Hanna masih menyunggingkan senyumnya. Marlina jadi ikut bahagia.

Saat Marlina hendak duduk di lantai, dengan cepat Leo mencegahnya, dan memintanya duduk di atas sofa yang sama. Melihat kearifan Leo, sontak membuat Hanna terenyuh. Sikapnya sangat bertolak belakang dengan Sultan, yang selalu emosi dan tidak berperasaan. Secara bertahap Leo menunjukkan siapa jati dirinya.

"Terima kasih, Tuan," ujar Marlina sangat segan.

Leo hanya mengangguk, lalu menyesap teh hangat yang terhidang.

"Bu, apa selama kami di rumah sakit tidak ada tamu?" tanya Leo penasaran.

Mendapat pertanyaan dari Leo mengingatkan Marlina jika ada sesuatu yang terlupakan. "Oh, iya, untung saja Tuan bertanya. Kemarin sore pamannya Nona Arimbi datang bersama seseorang."

"Paman?" Kulit putih wajah Hanna mendadak berubah pucat.

Menyadari hal itu dengan cepat Leo menggenggam tangan Hanna yang sudah terasa dingin. Perubahannya sungguh cepat sekali. Awalnya Marlina kaget melihat perlakuan Leo, akan tetapi mendapati Hanna yang mulai tenang dia jadi memaklumi.

"Kami hanya teman, Bu, percayalah." Tentu saja Leo tidak tinggal diam. Dia takut Marlina salah paham, meskipun kenyataannya memang begitu.

Marlina mengangguk cukup mengerti, apalagi melihat keadaan Hanna.

"Leo, a-ku takut." Kejadian beberapa hari lalu sukses memporak-porandakan perasaannya, yang bagaikan mimpi buruk bagi Hanna.

Saking ketakutannya Hanna sampai tidak sadar telah memeluk Leo seakan meminta perlindungan. Tidak hanya Marlina saja, Leo pun kaget menerima pelukan Hanna yang tiba-tiba. Namun, Leo juga tidak menolak, dia membalas pelukan erat Hanna lebih dalam.

Mengusap punggung Hanna searah, Leo dapat merasakan detak jantungnya yang cepat. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status