"Mas ..." panggilnya pada lelaki yang berdiri menghadap jendela.
Mengusap matanya beberapa kali, Hanna pun bangkit, menyandarkan badannya pada tumpukan bantal. Saat orang yang dipanggil berbalik, Hanna sungguh terkejut. Ternyata bukan Sultan yang menemaninya, tapi Leo. Dengan tidak mengerti Hanna menatap Leo, membiarkannya membuat teh hangat tanpa suara.
"Bagaimana keadaanmu, Hanna?" tanyanya seraya mendekati Hanna.
Sekali lagi Hanna kaget mendengar namanya dilafalkan dengan jelas oleh Leo. Semakin sulit memahami situasi ketika Leo menyentuh keningnya yang berkeringat. Hanna menahan napasnya untuk seperkian detik, mencoba bersikap tenang, dan tidak membuat tindakan sebelum jelas.
"Syukurlah, suhu tubuhmu sudah mendingan. Apa ada yang masih sakit?" Leo bertanya lagi, senyumnya selalu terbentuk sempurna.
Ya Allah! Jantung Hanna berdetak sangat kencang. Dia merasa jika Leo begitu memerhatikannya, peduli, penuh kasih dan sayang. Akan tetapi kenapa orang lain? Padahal Sultan adalah suaminya, tetapi dia tidak ada di sini. Sultan masih saja acuh, tidak peduli, sekalipun Hanna sekarat.
"Leo, di mana Mas Sultan? Kenapa kamu yang ada di sini?" Pertanyaan Hanna meredupkan senyum manis Leo.
Lelaki itu pun mengibaskan tangannya ke udara, wajahnya mendadak berubah kesal. "Dia tidak peduli padamu. Bahkan, dia kembali ke Singapura sebelum kamu sadar."
Hanna mengangguk paham. Memang seharusnya Hanna tidak mengharap Sultan peduli. Bagaimanapun Hanna selalu kalah dengan kekuatan cintanya kepada Arimbi. Mengelus perutnya yang masih rata, tiba-tiba Hanna teringat sesuatu. Dengan panik ditatapnya Leo meminta penjelasan.
"Janin kamu selamat, hanya saja dia sangat lemah. Kamu tidak boleh berpikir apapun, apalagi memikirkan orang yang tidak peduli padamu." Leo memberinya nasihat, Hanna hanya menunduk. Dia merasa tidak enak.
Mengingat kepedulian dan kehadiran Leo di sisinya selama lebih 1x24 jam, membuat Hanna jadi malu. Apalagi sampai saat ini Hanna masih berpikir soal Sultan, yang sudah pergi tanpa bertanya kabarnya. Mungkin, itu hal yang wajar bagi seorang istri, tetapi sama sekali tidak relevan bagi yang merawatnya dengan kesungguhan.
Leo berdeham menyadarkan Hanna yang tengah melamun. Mengambil segelas teh yang baru saja Leo seduh, dengan pengertian diangsurkannya pada Hanna. Wanita itu menerimanya, lalu meminumnya hingga setengah.
"Terima kasih," kata Hanna saat Leo mengambil kembali bekas gelasnya.
Menarik kursi yang tersedia, Leo menyeretnya lebih dekat ke ranjang Hanna. Dengan tenang lelaki itu duduk tepat di hadapan Hanna yang mendadak kikuk. Rasanya Hanna ingin menghindar, jarak mereka sangat dekat, tapi dia tidak bisa karena ruang geraknya terbatas. Hanna mengalihkan pandangannya saat Leo menatap sangat dalam. Hanna tahu jika ini adalah sebuah kesalahan yang samar. Tidak semestinya Leo berada di dalam satu ruangan dengannya. Bagaimana jika Sultan tahu? Ah, untuk satu itu Hanna bahkan yakin Sultan tidak akan cemburu dengan dirinya.
"Katakan, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Leo seperti mengintrogasi.
Menoleh sekilas, Hanna mengatur napasnya yang mulai berantakan. "A-ku tidak sedang baik, perasaanku selalu tidak enak sejak Mas Sultan pergi menemani Mba Arimbi berobat."
"Ya, aku tahu apa yang kamu pikirkan." Leo mendahului Hanna yang masih bingung dengan perasaan sendiri.
Wanita itu hanya menatap Leo tanpa bertanya apapun. Sejauh ini Hanna selalu merasa jika Leo begitu perhatian dan peduli padanya, bahkan lebih. Hanna tidak pernah tahu mengapa Leo melakukannya. Sejak awal Sultan mengenalkan keduanya tatapan Leo tampak lain, seakan memiliki arti.
"Leo, kenapa kamu begitu peduli padaku?" tanya Hanna, membalas tatapan Leo yang tidak sedikitpun bergerak.
Ditanya demikian Leo tersenyum. Perlahan diraihnya tangan Hanna yang masing terpasang selang infus, lantas berkata. "Sejak pertama kali melihatmu, entah kenapa aku kagum padamu. Sikap dan sifatmu yang sempurna membuatku sadar bahwa ternyata di zaman ini masih ada wanita yang tulus, dan itu kamu."
***
Kepulangan Hanna disambut hangat oleh Marlina, wanita itu sangat bahagia. Ransel kecil yang Hanna bawa Marlina ambil, dan mengangkutnya sampai ke dalam. Leo mengikutinya di belakang, membawa ransel berisi pakaian kotor yang dipakai selama di rumah sakit. Semenjak Leo menyatakan perasaannya Hanna menjadi serba canggung. Keduanya tidak berbicara sedikitpun sampai Marlina mempersilakan Leo duduk.
"Mau minum apa, Tuan?" tanyanya sopan, Marlina cukup mengenal baik Leo. Sebab Sultan sering mengajaknya ke rumah untuk segala urusan.
"Apa saja, Bu." Leo menjawab setelah melirik Hanna yang mengangguk.
Setelah kepergian Marlina suasana kembali canggung. Hanna dan Leo sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perasaan Leo, hanya saja Hanna terlalu takut. Ada rasa trauma yang terus menghantui pikirannya, tentang segala hal yang bisa membangkitkan monster di dalam tubuh Sultan.
"Leo ..." panggil Hanna lirih.
Leo mengangkat kepalanya yang semula menunduk, menatap wajah kikuk Hanna. Dari hati yang terdalam Leo merasa bersalah. "Lupakan semuanya Hanna, maafkan aku."
"Tidak, kamu tidak salah. Aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Kamu sudah baik kepadaku, Leo, mungkin jika tanpamu aku akan stress ketika sadar tidak ada seorang pun yang menungguku."
Pikiran Leo yang tegang akhirnya melunak. Kejujuran Hanna membuat hatinya semakin tersentuh. Tidak membuang kesempatan maka Leo akan memperbaiki ucapan tempo lalu.
"Aku hanya mengagumimu, Hanna, bukan mencintaimu. Jatuh cinta kita berasal dari hati, rasa kagum itu dari perasaan. Jadi, bisakah kita kembali berteman? Janganlah sungkan."
Hanna mengangguk malu-malu.
Keduanya pun tersenyum lebar. Leo selalu mempunyai cara membuat Hanna merasa tenang. Senyuman Leo yang manis menggugah hati Hanna untuk terus tersenyum. Perasaan gelisah Hanna seketika hilang, jiwa dan batinnya sekarang sudah lebih baik.
"Silakan diminum, Tuan, Nona." Marlina menaruh dua gelas teh tepat di depan keduanya, Leo dan Hanna.
"Terima kasih, Bu." Hanna masih menyunggingkan senyumnya. Marlina jadi ikut bahagia.
"Terima kasih, Tuan," ujar Marlina sangat segan.
Leo hanya mengangguk, lalu menyesap teh hangat yang terhidang.
"Bu, apa selama kami di rumah sakit tidak ada tamu?" tanya Leo penasaran.
Mendapat pertanyaan dari Leo mengingatkan Marlina jika ada sesuatu yang terlupakan. "Oh, iya, untung saja Tuan bertanya. Kemarin sore pamannya Nona Arimbi datang bersama seseorang."
"Paman?" Kulit putih wajah Hanna mendadak berubah pucat.
Menyadari hal itu dengan cepat Leo menggenggam tangan Hanna yang sudah terasa dingin. Perubahannya sungguh cepat sekali. Awalnya Marlina kaget melihat perlakuan Leo, akan tetapi mendapati Hanna yang mulai tenang dia jadi memaklumi.
"Kami hanya teman, Bu, percayalah." Tentu saja Leo tidak tinggal diam. Dia takut Marlina salah paham, meskipun kenyataannya memang begitu.
Marlina mengangguk cukup mengerti, apalagi melihat keadaan Hanna.
"Leo, a-ku takut." Kejadian beberapa hari lalu sukses memporak-porandakan perasaannya, yang bagaikan mimpi buruk bagi Hanna.
Saking ketakutannya Hanna sampai tidak sadar telah memeluk Leo seakan meminta perlindungan. Tidak hanya Marlina saja, Leo pun kaget menerima pelukan Hanna yang tiba-tiba. Namun, Leo juga tidak menolak, dia membalas pelukan erat Hanna lebih dalam.
Mengusap punggung Hanna searah, Leo dapat merasakan detak jantungnya yang cepat. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."
Hanna bangun lebih cepat dari biasanya, dengan hati yang getir wanita itu bermunajat kepada Sang Khaliq, berdoa dan menyampaikan betapa sedih hatinya saat Sultan mengungkit masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Lelaki itu menyesal, bahkan masih meratapi kepergian Arimbi.Ketika Hanna pikir suaminya itu telah berubah menjadi lebih baik, ternyata masih sama saja, Sultan tidak tahu bagaimana caranya menghargai sosok Hanna."Ya Allah, jika aku salah dan kau ingin menghukumku, maka aku mohon ringankanlah sedikit hukumanmu ini, rasanya aku tidak sanggup jika terus ditekan, bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan Mbak Arimbi.""Akan tetapi, jika ini memang ujian yang kau berikan padaku, maka aku juga memohon tabahkanlah hatiku untuk menerima ketentuan-Mu dan kuatkanlah aku.""Aamiin ya Rabb."Bangkit dari duduknya, Hanna pun melakukan sujud sahwi, sebelum beranjak dari tempat sholat dilanjutkan dengan membuka mukenahnya. Hati yang sempat berkabung, kini menjadi sedikit lebih tenang. Un
Setelah melewati fase sulit yang cukup menjemukkan akhirnya Hanna bisa bernapas dengan lega, wanita itu menatap ke luar jendela yang masih terkunci rapi, dia merasa sangat bahagia. Air mata Hanna menetes, jika dirinya tidak setangguh ini, kemungkinan terbesar dia sudah meninggalkan Sultan dan mencari kebahagiaan sendiri.Tetapi, di sinilah Hanna sekarang, di kamar yang sama dengan perasaan berbeda."Nyonya Hanna," panggil Marlina dari arah luar, wanita itu semakin menghormati sosoknya, bahkan kasih sayangnya juga sangatlah luar biasa terhadap Hanna. "Ada telepon untukmu, Nyonya."Paman Hasan?"Iya, sebentar, Bu!" Hanna menyahut dari dalam, dengan cepat dia menyeka air mata yang berlinangan di pipinya.Merapikan sedikit rambutnya dengan wajah berbinar Hanna membuka pintu kamar, lalu tersenyum kepada Marlina yang tengah tersenyum lebar juga. Hubungan mereka seperti bukan pembantu dan majikan, tetapi bagaikan ibu dan anak yang saling memberikan cinta."Siapa yang menelepon, Bu?" tanya Ha
Selepas kepergian Arimbi, waktu tidur Sultan jadi tidak menentu. Terkadang Sultan bisa tidur lebih cepat, atau tidak dapat tidur semalaman. Kehilangan Arimbi seakan-akan membawa pergi sebagian hidupnya, yang belum bisa Sultan terima. Setiap kali memejamkan mata senyum manis Arimbi muncul beserta gelak tawanya yang renyah, hal itu membuat Sultan kesulitan untuk mengendalikan hidupnya seorang diri.Kehadiran Hanna yang berwajah Arimbi ternyata sama sekali tidak membantunya melupakan sang pujaan hati. Sultan terus mengingat dan membayangkan Arimbi, bahkan dia merasa bersalah pada Hanna.“Maafkan aku,” rintih Sultan di dalam remang lampu tidur, menatap Hanna yang terlelap.“Aku sudah berdosa padamu, mungkin tidak termaafkan.” Membelai sisi wajah Hanna, wanita itu mengerang rendah saat merasa terganggu.Sultan menarik tangannya kembali, menatap dalam pada wajah Hanna yang polos. Itu wajah cintanya Arimbi. “Kalian sudah memiliki wajah yang sama, cantik dan menawan hati. Tapi ... Entah kenap
Mengoleskan lipstik merah menyala, Ratih tersenyum lebar menunjukkan kebahagiaannya. Kematian Arimbi menghilangkan seluruh beban yang selama ini Ratih pikul. Dunia seakan kembali terang benderang, hidupnya yang suram telah sirna dan berganti menjadi orang paling berbahagia. Sayangnya Leo sedang kecewa berat padanya, kalau tidak Ratih ingin sekali mengajak lelaki itu merayakan kemenangannya semalaman penuh.“Oh, Leo, seandainya kamu tahu yang sebenarnya ...” Ratih terkekeh geli saat mengingat wajah marah Leo beberapa waktu lalu. “Tidak mungkin aku menyerahkan kebanggaanku dengan lelaki bodoh seperti Sultan.”Semua sudah Ratih atur sedemikian rupa, sehingga Sultan percaya atas apa yang dia lakukan. Padahal, malam itu tidak terjadi apapun, mereka hanya tidur seranjang dengan pakaian atas terbuka. Ratih mengambil beberapa pose yang panas, selebihnya dia menyerahkan dengan seseorang untuk melepas seluruh pakaiannya Sultan.“Kerja keras yang sangat baik.” Lagi, Ratih terbahak-bahak, sangat
Tanpa mendengarkan perkataan Sultan dan Marlina, Arimbi mengemasi seluruh barang-barang miliknya. Ternyata patah hati tidak sebercanda itu, dengan cepat perasaan cintanya berubah menjadi benci. Arimbi sangat muak terhadap sikap Sultan, yang seolah-olah tidak bersalah. Padahal semua sudah terlihat jelas di mata Arimbi, jika suaminya itu begitu dekat dengan Ratih dan berhubungan serius.Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Sultan melarangnya, bahkan lelaki itu sampai memeluk kedua kaki Arimbi agar menghentikan semua. Di bawah kaki Arimbi dengan tangguh Sultan menahan. Tidak hanya air mata yang jatuh, tetapi juga harga dirinya. Sultan melakukan itu semua semata untuk mengambil hati Arimbi, meski istrinya tidak mudah tersentuh."Arimbi, aku mohon padamu, Sayang. Toloong! Dengarkan penjelasanku dulu, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Sultan sambil menangis."Lepaskan, Mas. Aku sudah tidak percaya lagi denga
Sudah tiga hari Arimbi mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan Sultan sekalipun tinggal serumah. Perasaannya sungguh sakit mengetahui pengkhianatan suami yang begitu dicintainya selama ini. Ketika Arimbi tengah berjuang keras melawan rasa sakit Sultan malah berkelana mencari wanita lain. Di tengah isakannya Arimbi menutup kedua telinga saat mendengar permohonan Sultan di luar kamar. Cinta yang telah Arimbi tanam kini berbuah pahit dan pengkhianatan."Arimbi, aku mohon, buka pintunya, dan aku akan menjelaskan semua." Rintih Sultan di sela tangisan, suara lelaki itu terdengar begitu terluka.Setelah sekian lama Sultan menunggu Arimbi sembuh, kini yang dia terima sebuah penolakan. Istri tercintanya marah kepadanya, dan tidak memberi Sultan kesempatan berbicara. Arimbi sudah termakan omongan Ratih, dan Sultan tidak mengelak jika wanita itu sangat berbahaya. Keberadaannya bagaikan ancaman untuk kehidupan Sultan dan Arimbi, karena dia sel
"Oh, hai ..." Ratih menyunggingkan senyuman terbaik yang dia punya.Arimbi membuang muka, semampunya mengatur napas yang sudah tidak stabil. Wanita itu akan semakin berani kalau melihat Arimbi ketakutan. Sejak awal mengenalnya Arimbi memang sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tunangan Angga. Malangnya dia malah bermain-main dengan api."Mau apa kamu ke sini?" tanya Arimbi ketus, tanpa menoleh sedikitpun."Hmm, aku mencari Sultan suamimu, kita ada urusan yang sangat penting." Ratih datang mendekat, kini dirinya berdiri tepat di sebelah Arimbi."Katakan apa maumu, Wulan? Aku sudah meminta maaf padamu, tetapi kenapa kamu selalu mengusik kehidupanku?" Tidak tahan Arimbi berteriak, matanya memerah panas.Menaruh buah tangan yang dibelinya di atas meja, Ratih pun berdecak sebal. "Panggil aku Ratih, karena Wulan sudah mati."Ratih mengangkat kepalanya tinggi, merasa bangg
Mengenakan gaun terbaik miliknya, Arimbi tersenyum lebar di dalam cermin. Wajah cantiknya semakin bersinar setelah dipoles oleh perias andal. Malam ini Sultan mengajaknya kencan, sekaligus dinner dengan kedua sahabatnya Angga dan Leo. Sejak mengenal Sultan kehidupan Arimbi memang berubah drastis. Wanita itu semakin berani menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya, sehingga banyak lelaki tertarik dan ingin mempersunting. Angga menjadi salah satunya, sayangnya dia kalah cepat oleh Sultan."Astaga! Aku hampir tidak mengenali pacarku sendiri." Sultan bergurau, memeluk pinggang Arimbi, lalu mengecup keningnya mesra."Aku hanya ingin membahagiakanmu, Mas. Agar kamu tidak malu di saat menggandeng tanganku di hadapan banyak orang," jawab Arimbi. Wanita itu memang pandai memainkan kata."Hmm, yaa, ya. Hanya saja aku tidak suka mereka menatapmu dengan tatapan lapar, terutama sahabatku Angga." Nada suara Sultan terdengar k
Leo yang mengambil tindakan sendiri mengundang perdebatan di sepanjang lorong rumah sakit. Menurut Sultan dirinya yang lebih pantas melakukan hal tersebut, bukan Leo. Dengan ego masing-masing keduanya tetap pada pendirian. Leo sudah merasa tindakan yang diambil benar, sedangkan Sultan tidak ingin mengalah. Pihak rumah sakit sampai kebingungan mendengar perseteruan mereka, hingga Hasan dengan pak Kades datang meninjau."Aku suaminya, jadi aku yang berhak atas istriku Hanna." Tekan Sultan untuk ke sekian kalinya, Leo pun mendengus."Biarkan aku yang mengurusnya, urus saja Arimbi istri pertamamu.""Hanna juga istriku, aku yang akan mengurus semuanya, dan batalkan pengajuanmu itu." Sultan memaksa."Astaga! Sultan. Hanna sedang kritis dan membutuhkan penanganan yang cepat. Anggap saja pihak rumah sakit yang mengajukan pemindahan itu, kita berdua tinggal mengikutinya saja."Sesorang suster memij