Beranda / Zaman Kuno / Asmaraloka Sang Putri Pusaka / Bab 3 Menyusup ke Perbatasan

Share

Bab 3 Menyusup ke Perbatasan

Penulis: Fei Adhista
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-11 22:04:40

Langkah kaki Raras menggema di lorong panjang istana. Gemeretak sepatunya membelah bisik-bisik yang semula terdengar lirih. Para pelayan yang tengah bergunjing sontak menunduk, tangan mereka sibuk berpura-pura membersihkan vas, mengepel lantai, atau merapikan hiasan dinding. Tapi tatapan mereka jelas belum bisa disembunyikan.

"Aku dengar dia belum juga tidur sekamar dengan Tuan Pangeran..." bisik salah satu pelayan sebelum sadar Raras sudah berdiri di belakangnya.

"Betul. Bahkan Pangeran Rakai belum pernah menjenguknya sejak hari pernikahan. Mungkin sebentar lagi kita akan punya nyonya baru. Aku dengar selir dari Selatan sudah siap masuk."

Suara tamparan membuat suasana beku. Pelayan yang bergunjing langsung menjerit pelan, pipinya merah menyala.

Raras berdiri tegak di hadapan mereka. Rambutnya disanggul rapi, kebaya sutra berwarna gading membalut tubuhnya dengan anggun. Tapi bukan pakaiannya yang membuat pelayan membatu. Melainkan tatapannya dingin, tenang, tapi penuh kuasa.

"Aku hanya akan berkata sekali," ucapnya pelan namun jelas, "Siapa pun yang menghinaku, berarti menghina nama keluarga Pangeran Rakai. Dan siapa pun yang mempertaruhkan rumah tanggaku dalam obrolan kotor kalian, mulai sekarang akan diusir dari istana tanpa maaf."

Pelayan-pelayan itu menunduk, tubuh mereka gemetar. Raras melangkah melewati mereka tanpa perlu berteriak. Wibawanya sebagai Ndoro Putri kini tidak bisa dianggap remeh.

"Alin, siapkan kuda dan pengawal. Kita akan ke perbatasan," ujar Raras tegas sambil menggulung surat yang belum sempat dikirimnya.

"Mau... ke tempat Pangeran, Den Ayu?" tanya Alin pelan.

"Aku akan menemuinya. Kalau dia tidak sudi datang ke rumahnya sendiri, maka aku akan mendatangi baraknya. Kalau dia anggap aku tak pantas menjadi istrinya, maka aku akan memintanya menceraikan aku secara langsung di depan matanya."

"Den..."

"Aku tidak akan hidup dalam bayang-bayang pengabaian. Jika dia tidak menganggapku istri, maka aku tak ingin tinggal di istana ini sebagai bayangan."

Kereta kayu yang ditumpangi Raras melaju perlahan, dikawal dua prajurit. Langit mendung, hutan tampak sunyi.

"Den tadi saya sudah tanya sama pengawal tentang Kam Adiningrat, ternyata beliau sudah meninggal."

Raras terdiam. Selama ini, ia selalu mendengar kabar bahwa Raden Rakai sangat menjunjung nama ibunya, padahal ternyata sang ibu bahkan tak pernah sempat mengenal anaknya sendiri.

"Terima kasih atas informasinya," ucap Raras, hatinya bergemuruh. Mungkinkah itu sebabnya suaminya tumbuh dingin dan keras? Atau justru karena kehilangan sejak kecil, ia menutup diri dari kasih sayang?

Tapi apa pun alasannya, Raras sudah memutuskan.

Alin memandangi Raras dengan cemas. Perjalanan masih jauh, dan niat Ddoro Putri-nya kali ini bukan hanya sekadar kunjungan.

"Apa Den Ayu benar-benar ingin bercerai?"

"Aku ingin tahu... apakah dia ingin mempertahankan atau melepaskanku. Tapi aku tidak akan menunggu tanpa kepastian," jawab Raras sambil menatap ke depan.

"Jika ia tetap tidak menganggapku, maka biarlah aku sendiri yang melepaskannya."

Pintu gerbang tertutup rapat. Dua penjaga berjubah besi berdiri tegak bagai patung. Wajah mereka dingin seperti batu karang, Rakai! Kau tahu siapa aku?!” Raras mengangkat suaranya sambil menunjuk-nunjuk ke arah gerbang, rambutnya sedikit berantakan terkena angin, wajahnya merah padam karena kesal. “Cepat buka gerbangnya atau kuadukan kalian ke Raja!”

Penjaga pertama melirik penjaga kedua, lalu berkata datar, “Maaf, kami tidak punya catatan tentang ‘istri’ Pangeran Rakai yang boleh melintas malam ini.”

Raras mengepalkan tinjunya, lalu memutar badan ke arah Alin dan dua prajurit yang menyertainya. “Gimana ini? Masa aku, istri sah dan halal, malah ditolak masuk?”

Alin mencoba menenangkan. “Mungkin mereka belum dapat kabar, Den.”

“Kabar apanya! Rakai itu suamiku. Masa aku datang harus daftar dulu kayak mau naik becak kerajaan?!”

Prajurit di sebelahnya terkekeh pelan, cepat-cepat menutup mulutnya saat Raras melirik tajam.

Setelah beberapa menit bersitegang, akhirnya Raras menyerah. Mereka duduk di bawah pohon dekat gerbang, mencoba mencari akal. Tapi, seperti biasa, otak Raras selalu punya satu ide konyol yang kadang terlalu nekat untuk ditolak.

“Gini aja,” bisik seorang pengawal sambil membungkuk ke arah Alin. “Kamu bisa masuk lewat jalur belakang.”

“Jalur samping?” tanya Alin panik. “Den Ayu Raras, itu parit...."

“Parit bekas irigasi yang udah lama ditutup. Aku ingat dulu sering kabur lewat sana waktu kecil!” ucap salah seorang pengawal bernama Jaya.

Sebelum Alin sempat melarang, Raras sudah melepas selendangnya dan menyingsingkan gaun hingga memperlihatkan celana panjangnya.

Beberapa menit kemudian...

Dengan tubuh belepotan lumpur dan daun-daun kering menempel di rambut, Raras berhasil menyelinap masuk melalui parit tua yang nyaris tertutup semak. Napasnya ngos-ngosan, tapi matanya bersinar penuh kemenangan.

“Ha! Siapa bilang aku nggak bisa masuk?” katanya pada diri sendiri sambil menepuk dadanya. “Raras belum kalah!”

Namun kebanggaannya tidak bertahan lama.

“Berhenti di situ juga!”

Suara berat menggema dari balik bayangan tembok. Cahaya obor menyala, menyilaukan matanya.

Seorang pria bertubuh tegap melangkah mendekat, mengenakan pakaian penjaga khusus istana. Di balik topeng separuh wajah, tatapannya tajam namun tenang.

“Siapa kau? Kenapa menyusup malam-malam begini?”

Raras, yang sudah terlalu letih dan kotor untuk berdebat, mendongak dengan kesal. “Kenapa sih semua penjaga di tempat ini pada ngeselin?! Aku ini—”

Ia terhenti, sejenak menatap wajah pria yang persis tepat di hadapannya. Namun lumpur yang menutupi mata dan perasaan dongkol yang membuncah membuat pikirannya tumpul.

“Kalau kamu nggak segera minggir, aku... aku teriak!” ancam Raras.

Pria itu mendekat selangkah, hingga wajah mereka hanya bertatap inchi. “Teriak saja, biar semua orang tahu ada penyusup malam-malam begini.”

“Kamu kira aku maling? Aku ini—”

“Rakyat biasa yang menyusup ke wilayah perbatasan? Bisa dihukum, tahu?”

“Aku ini ISTRINYA PANGERAN RAKAI!”

Pria itu menahan senyum. Tapi dengan sigap, ia menjulurkan tangan, menangkap pergelangan Raras dan mengunci gerakannya.

“Hm, istri pangeran ya? Kenapa kamu menyelinap lewat parit? Kenapa tidak lewat gerbang depan seperti orang terhormat?”

“Aku udah coba!” Raras berteriak. “Tapi dijegal sama dua penjaga goblok itu!”

"Oh, istrinya."

Raras kembali mengumpat pelan, sambil mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. “Kalau aku tahu siapa kamu, akan kulaporkan kamu ke suamiku. Dia akan hajar kamu sampai—”

“Pangeran Rakai?” tanya pria itu sambil menahan senyum yang makin lebar. “Wah... semengerikan itu, ya?”

“Ya jelas! Dia itu... sangat protektif padaku!”

“Dan aku itu sangat penting baginya!” sahut Raras dengan dagu terangkat.

Pria itu yang tak lain adalah Rakai sendiri, akhirnya tak tahan. Ia melepas genggamannya, lalu bersedekap, memandang Raras dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu yakin kamu istrinya Pangeran Rakai? Lihat dirimu. kayak bayi lumpur jatuh dari pohon.”

Raras mendesis, “Huh! Kamu pikir kamu siapa sih?”

“Hmm… Cuma prajurit kecil yang kebagian tugas jaga malam,” jawabnya ringan. “Tapi... boleh aku tahu nama istri Pangeran Rakai?”

“Raras! Kamu harus panggil aku Nimas Raras!” jawab Raras lantang.

Pria itu mengangguk perlahan, lalu membungkuk kecil. “Baiklah, Nyai Raras."

"Nimas Raras! Bukan Nyai Raras. Aku itu masih muda tidak pantas disebut Nyai."

"Baiklah Nimas Raras. Saya akan antarkan Anda ke barak. Tapi... jangan salahkan saya kalau nanti suami Anda malah menghukum Anda karena menyusup.”

“Kalau dia berani hukum aku, aku juga bisa kabur lagi!” sahut Raras ketus.

Rakai terkikik pelan, nyaris tak terdengar. Lalu dengan nada serius ia berkata, “Ayo. Sebelum ada penjaga lain yang benar-benar berpikir kau mata-mata musuh.”

"Tunggu! Di luar ada pelayan dan dua prajurit!"

"Tenang saja mereka sudah berada di dalam penjara. Nanti akan di lepas setelah ketemu dengan kanjeng Gusti Rakai.

Raras berjalan cepat di depannya, mendengus dan menggerutu sepanjang jalan. Sementara di belakang, Rakai mengikuti dengan langkah ringan dan senyum geli yang tak pernah surut.

Ah, Raras benar-benar tidak tahu... bahwa pria yang ia omeli sepanjang jalan itu adalah suaminya sendiri.

Dan Rakai... sengaja membiarkannya begitu.

Untuk malam ini saja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 63 Aku suamimu

    Langit pagi di Indragiri berwarna pucat keemasan, tapi hati Raras terasa seperti diselimuti kabut tebal.Sejak ia terbangun beberapa hari lalu, semua hal terasa asing, namun wajah-wajah di sekelilingnya memperlakukannya seolah ia adalah seseorang yang harus dikenang… dan juga dibenci.Pagi itu, seorang dayang datang menunduk dalam-dalam.“Perintah dari Istana Utama, Nimas Ajeng. Ratu Palastri ingin bertemu Anda sebelum pesta penyambutan dimulai.”“Ratu… Palastri?” gumam Raras pelan. Ia menatap jendela, hatinya bergetar tanpa tahu alasan.Dayang hanya mengangguk, wajahnya kaku. “Ya, beliau ibu dari Baginda Raja.”Raras tak punya pilihan selain menurut. Ia mengenakan kebaya halus berwarna gading yang disiapkan untuknya, lalu berjalan pelan melewati lorong panjang menuju kediaman sang ratu. Setiap langkah terasa berat, seperti sedang menapaki masa lalu yang tak ingin ia temui.Begitu memasuki ruang perjamuan kecil, aroma dupa dan mawar kering memenuhi udara. Di dalamnya duduk tiga wanita

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 62 Siapa Kamu

    Dayang yang semula datang untuk mengganti kain di dahi Raras tertegun saat melihat sang putri mulai bergerak. Mata Raras terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.“ Nimas Ajeng?” panggil dayang itu terbata.Raras menoleh perlahan, matanya masih samar, suaranya serak, “Siapa… yang kau panggil?”Dayang itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya jatuh tanpa sadar. Ia segera berlari keluar kamar sambil berteriak ke arah dua prajurit yang berjaga di depan pintu,“Nimas Ajeng telah sadar! Cepat laporkan pada Raden Wijaya!”Dua prajurit itu segera berlari menuju balairung. Dalam waktu singkat, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang istana. Raden Wijaya datang terburu-buru, jubahnya belum sempat diganti dari pakaian dinas. Nafasnya terengah, tapi matanya berbinar penuh harap.Begitu memasuki kamar, ia melihat Raras duduk lemah di ranjang, masih dikelilingi dayang yang berlutut dengan wajah haru.“Nimas Ajeng…” bisiknya pelan, suaranya bergetar

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 61 Lupa

    Langit di atas istana Indragiri malam itu seperti menahan napas. Kabut tebal menggantung di jendela, sementara lorong-lorong batu senyap di bawah langkah-langkah Rakai yang beringsut perlahan.Ia menempel pada dinding, bergerak di antara bayangan obor yang berkedip, setiap langkah diukur dengan ketelitian seorang pemburu. Sekali saja ia salah perhitungan, seluruh penjaga bisa datang menyerbu.Ketika suara pergantian jaga terdengar di ujung koridor, Rakai memanfaatkan celah itu. Ia meluncur cepat menuju pintu kamar yang dijaga dua orang pengawal.Satu penjaga berbalik, yang lain sedang menguap kelelahan. Dalam sekejap, Rakai melempar batu kecil ke arah vas bunga di seberang lorong. “Prakkk!”Suara itu cukup untuk membuat keduanya menoleh dan berlari memeriksa sumber suara. Rakai bergerak cepat, pintu kamar terbuka hanya sedikit, cukup untuk tubuhnya menyelinap masuk tanpa suara.Di dalam, udara kamar harum namun berat. Lilin-lilin kecil menyala di sudut ruangan, menerangi wajah seorang

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 60 Bunuh Dia

    Rakai berdiri di ambang pintu kamar Putri Wening. Lampu lilin yang hangus memantulkan bayangan panjang ke dinding, menambah kesan tegang di ruangan. Wening masih duduk di kursi tinggi, wajahnya merah padam, napas tersengal, marah, sekaligus terguncang oleh kabar tentang “tahanan misterius” yang ternyata menyangkut masa lalu keluarganya.Namun sebelum Rakai sempat bersuara, Wening bangkit tiba-tiba, menatapnya dengan mata berkaca-kaca, dan tak disangka memeluknya erat.“Raksa… aku tidak menyangka… aku tidak…” suaranya terputus-putus. “Pria itu… yang terkena panah, ternyata seorang wanita… dan mantan kekasih adikku!”Rakai menegang, kaget sejenak. Sosok profesionalnya bergulat dengan perasaan yang mulai bergetar. Ia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Dengan tenang, ia menepuk punggung Wening perlahan, melepaskan diri, tapi tetap menjaga jarak.“Putri Wening, saya di sini untuk urusan profesional,” kata Rakai dengan suara dingin tapi lembut. “Kemarahan Anda saya pahami, tapi saya per

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 59 Terlahir kembali

    Kabut malam menyelimuti lereng barat Indragiri. Dari celah pepohonan yang rimbun, sosok bertudung hitam muncul dengan langkah terhuyung. Rakai. Wajahnya keras, tapi sorot matanya gelap dan penuh amarah. Sejak siang tadi ia hampir kehilangan penawar untuk istrinya. Saat akhirnya sampai di basecamp rahasia di balik tebing, Sitira, Alin, dan Situ yang sedang menyalakan api unggun sontak berdiri.“Pangeran Rakai!” seru Alin cepat.Rakai hanya mengangguk. Ia terlihat kelelahan. Tubuhnya berdebu, jubahnya robek di bagian bahu, dan wajahnya dipenuhi bekas goresan ranting. Tapi matanya tajam, seperti seseorang yang menahan amarah besar.“Di mana yang lain?” suaranya berat, dingin.Sitira menunduk, saling pandang dengan Alin. “Kita… kita sempat terpisah, Pangeran. Banyak prajurit Indragiri datang menyerbu pasar. Kami berusaha kabur secepatnya…”Rakai menarik napas panjang, lalu berkata dengan tegas, “Kalian harus kembali ke Pasren, setelah aku mengeluarkan Istriku. Setelah itu lanjutkan perja

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 58 Ajeng

    Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menembus tembok tinggi penjara Indragiri. Lorong batu yang lembap dan gelap dipenuhi aroma besi dan debu. Raja Raden Wijaya berjalan dengan langkah berat, dikelilingi pengawal dan prajurit istana, wajahnya serius namun menyimpan rasa penasaran yang membakar.Ia berhenti di depan salah satu sel. Seorang prajurit membuka pintu besi dengan perlahan.“Yang Mulia, ini narapidana yang dimaksud…”Raden Wijaya menunduk, matanya menelusuri tubuh yang tergeletak lemah di lantai. Napasnya tertahan.Wajah itu… tak mungkin.Raras.Wajah yang dikenalinya dari masa lalu—perempuan yang pernah menjadi sosok penting dalam hidupnya, namun kini terlihat lemah, pucat, dan nyaris tak sadarkan diri. Luka hitam di bahunya jelas terlihat, bekas racun yang belum tersembuhkan.Raden Wijaya melangkah cepat, suaranya parau.“Ajeng…? Ajeng… ini benar-benar kamu?”Para pengawal menatap satu sama lain terkejut. Raja yang biasanya tenang, kini tampak gemetar, matanya berkilat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status