Langkah kaki Raras menggema di lorong panjang istana. Gemeretak sepatunya membelah bisik-bisik yang semula terdengar lirih. Para pelayan yang tengah bergunjing sontak menunduk, tangan mereka sibuk berpura-pura membersihkan vas, mengepel lantai, atau merapikan hiasan dinding. Tapi tatapan mereka jelas belum bisa disembunyikan.
"Aku dengar dia belum juga tidur sekamar dengan Tuan Pangeran..." bisik salah satu pelayan sebelum sadar Raras sudah berdiri di belakangnya. "Betul. Bahkan Pangeran Rakai belum pernah menjenguknya sejak hari pernikahan. Mungkin sebentar lagi kita akan punya nyonya baru. Aku dengar selir dari Selatan sudah siap masuk." Suara tamparan membuat suasana beku. Pelayan yang bergunjing langsung menjerit pelan, pipinya merah menyala. Raras berdiri tegak di hadapan mereka. Rambutnya disanggul rapi, kebaya sutra berwarna gading membalut tubuhnya dengan anggun. Tapi bukan pakaiannya yang membuat pelayan membatu. Melainkan tatapannya dingin, tenang, tapi penuh kuasa. "Aku hanya akan berkata sekali," ucapnya pelan namun jelas, "Siapa pun yang menghinaku, berarti menghina nama keluarga Pangeran Rakai. Dan siapa pun yang mempertaruhkan rumah tanggaku dalam obrolan kotor kalian, mulai sekarang akan diusir dari istana tanpa maaf." Pelayan-pelayan itu menunduk, tubuh mereka gemetar. Raras melangkah melewati mereka tanpa perlu berteriak. Wibawanya sebagai Ndoro Putri kini tidak bisa dianggap remeh. "Alin, siapkan kuda dan pengawal. Kita akan ke perbatasan," ujar Raras tegas sambil menggulung surat yang belum sempat dikirimnya. "Mau... ke tempat Pangeran, Den Ayu?" tanya Alin pelan. "Aku akan menemuinya. Kalau dia tidak sudi datang ke rumahnya sendiri, maka aku akan mendatangi baraknya. Kalau dia anggap aku tak pantas menjadi istrinya, maka aku akan memintanya menceraikan aku secara langsung di depan matanya." "Den..." "Aku tidak akan hidup dalam bayang-bayang pengabaian. Jika dia tidak menganggapku istri, maka aku tak ingin tinggal di istana ini sebagai bayangan." Kereta kayu yang ditumpangi Raras melaju perlahan, dikawal dua prajurit. Langit mendung, hutan tampak sunyi. "Den tadi saya sudah tanya sama pengawal tentang Kam Adiningrat, ternyata beliau sudah meninggal." Raras terdiam. Selama ini, ia selalu mendengar kabar bahwa Raden Rakai sangat menjunjung nama ibunya, padahal ternyata sang ibu bahkan tak pernah sempat mengenal anaknya sendiri. "Terima kasih atas informasinya," ucap Raras, hatinya bergemuruh. Mungkinkah itu sebabnya suaminya tumbuh dingin dan keras? Atau justru karena kehilangan sejak kecil, ia menutup diri dari kasih sayang? Tapi apa pun alasannya, Raras sudah memutuskan. Alin memandangi Raras dengan cemas. Perjalanan masih jauh, dan niat Ddoro Putri-nya kali ini bukan hanya sekadar kunjungan. "Apa Den Ayu benar-benar ingin bercerai?" "Aku ingin tahu... apakah dia ingin mempertahankan atau melepaskanku. Tapi aku tidak akan menunggu tanpa kepastian," jawab Raras sambil menatap ke depan. "Jika ia tetap tidak menganggapku, maka biarlah aku sendiri yang melepaskannya." Pintu gerbang tertutup rapat. Dua penjaga berjubah besi berdiri tegak bagai patung. Wajah mereka dingin seperti batu karang, Rakai! Kau tahu siapa aku?!” Raras mengangkat suaranya sambil menunjuk-nunjuk ke arah gerbang, rambutnya sedikit berantakan terkena angin, wajahnya merah padam karena kesal. “Cepat buka gerbangnya atau kuadukan kalian ke Raja!” Penjaga pertama melirik penjaga kedua, lalu berkata datar, “Maaf, kami tidak punya catatan tentang ‘istri’ Pangeran Rakai yang boleh melintas malam ini.” Raras mengepalkan tinjunya, lalu memutar badan ke arah Alin dan dua prajurit yang menyertainya. “Gimana ini? Masa aku, istri sah dan halal, malah ditolak masuk?” Alin mencoba menenangkan. “Mungkin mereka belum dapat kabar, Den.” “Kabar apanya! Rakai itu suamiku. Masa aku datang harus daftar dulu kayak mau naik becak kerajaan?!” Prajurit di sebelahnya terkekeh pelan, cepat-cepat menutup mulutnya saat Raras melirik tajam. Setelah beberapa menit bersitegang, akhirnya Raras menyerah. Mereka duduk di bawah pohon dekat gerbang, mencoba mencari akal. Tapi, seperti biasa, otak Raras selalu punya satu ide konyol yang kadang terlalu nekat untuk ditolak. “Gini aja,” bisik seorang pengawal sambil membungkuk ke arah Alin. “Kamu bisa masuk lewat jalur belakang.” “Jalur samping?” tanya Alin panik. “Den Ayu Raras, itu parit...." “Parit bekas irigasi yang udah lama ditutup. Aku ingat dulu sering kabur lewat sana waktu kecil!” ucap salah seorang pengawal bernama Jaya. Sebelum Alin sempat melarang, Raras sudah melepas selendangnya dan menyingsingkan gaun hingga memperlihatkan celana panjangnya. Beberapa menit kemudian... Dengan tubuh belepotan lumpur dan daun-daun kering menempel di rambut, Raras berhasil menyelinap masuk melalui parit tua yang nyaris tertutup semak. Napasnya ngos-ngosan, tapi matanya bersinar penuh kemenangan. “Ha! Siapa bilang aku nggak bisa masuk?” katanya pada diri sendiri sambil menepuk dadanya. “Raras belum kalah!” Namun kebanggaannya tidak bertahan lama. “Berhenti di situ juga!” Suara berat menggema dari balik bayangan tembok. Cahaya obor menyala, menyilaukan matanya. Seorang pria bertubuh tegap melangkah mendekat, mengenakan pakaian penjaga khusus istana. Di balik topeng separuh wajah, tatapannya tajam namun tenang. “Siapa kau? Kenapa menyusup malam-malam begini?” Raras, yang sudah terlalu letih dan kotor untuk berdebat, mendongak dengan kesal. “Kenapa sih semua penjaga di tempat ini pada ngeselin?! Aku ini—” Ia terhenti, sejenak menatap wajah pria yang persis tepat di hadapannya. Namun lumpur yang menutupi mata dan perasaan dongkol yang membuncah membuat pikirannya tumpul. “Kalau kamu nggak segera minggir, aku... aku teriak!” ancam Raras. Pria itu mendekat selangkah, hingga wajah mereka hanya bertatap inchi. “Teriak saja, biar semua orang tahu ada penyusup malam-malam begini.” “Kamu kira aku maling? Aku ini—” “Rakyat biasa yang menyusup ke wilayah perbatasan? Bisa dihukum, tahu?” “Aku ini ISTRINYA PANGERAN RAKAI!” Pria itu menahan senyum. Tapi dengan sigap, ia menjulurkan tangan, menangkap pergelangan Raras dan mengunci gerakannya. “Hm, istri pangeran ya? Kenapa kamu menyelinap lewat parit? Kenapa tidak lewat gerbang depan seperti orang terhormat?” “Aku udah coba!” Raras berteriak. “Tapi dijegal sama dua penjaga goblok itu!” "Oh, istrinya." Raras kembali mengumpat pelan, sambil mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. “Kalau aku tahu siapa kamu, akan kulaporkan kamu ke suamiku. Dia akan hajar kamu sampai—” “Pangeran Rakai?” tanya pria itu sambil menahan senyum yang makin lebar. “Wah... semengerikan itu, ya?” “Ya jelas! Dia itu... sangat protektif padaku!” “Dan aku itu sangat penting baginya!” sahut Raras dengan dagu terangkat. Pria itu yang tak lain adalah Rakai sendiri, akhirnya tak tahan. Ia melepas genggamannya, lalu bersedekap, memandang Raras dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu yakin kamu istrinya Pangeran Rakai? Lihat dirimu. kayak bayi lumpur jatuh dari pohon.” Raras mendesis, “Huh! Kamu pikir kamu siapa sih?” “Hmm… Cuma prajurit kecil yang kebagian tugas jaga malam,” jawabnya ringan. “Tapi... boleh aku tahu nama istri Pangeran Rakai?” “Raras! Kamu harus panggil aku Nimas Raras!” jawab Raras lantang. Pria itu mengangguk perlahan, lalu membungkuk kecil. “Baiklah, Nyai Raras." "Nimas Raras! Bukan Nyai Raras. Aku itu masih muda tidak pantas disebut Nyai." "Baiklah Nimas Raras. Saya akan antarkan Anda ke barak. Tapi... jangan salahkan saya kalau nanti suami Anda malah menghukum Anda karena menyusup.” “Kalau dia berani hukum aku, aku juga bisa kabur lagi!” sahut Raras ketus. Rakai terkikik pelan, nyaris tak terdengar. Lalu dengan nada serius ia berkata, “Ayo. Sebelum ada penjaga lain yang benar-benar berpikir kau mata-mata musuh.” "Tunggu! Di luar ada pelayan dan dua prajurit!" "Tenang saja mereka sudah berada di dalam penjara. Nanti akan di lepas setelah ketemu dengan kanjeng Gusti Rakai. Raras berjalan cepat di depannya, mendengus dan menggerutu sepanjang jalan. Sementara di belakang, Rakai mengikuti dengan langkah ringan dan senyum geli yang tak pernah surut. Ah, Raras benar-benar tidak tahu... bahwa pria yang ia omeli sepanjang jalan itu adalah suaminya sendiri. Dan Rakai... sengaja membiarkannya begitu. Untuk malam ini saja.Balairung utama Istana Mandalajati malam itu berdiri gagah, diterangi ratusan pelita minyak dan obor besar di setiap sudutnya. Cahaya kuning berkilauan di dinding berukir naga, memantul pada kain sutra yang menjuntai dari langit-langit tinggi. Musik gamelan berpadu dengan tabuhan genderang, menandai kemegahan pesta yang seharusnya menjadi saksi kemuliaan pengantin baru. Namun di singgasana, Raras duduk seorang diri. Kebaya ungu tua berlapis emas tersemat di tubuhnya, wajahnya terhias riasan lembut. Cantik, anggun, dan tampak tenang. Tetapi di balik ketenangan itu ada sesuatu yang tak terlihat orang lain, rasa hampa karena suaminya, Rakai, tak hadir di sisinya. Para bangsawan berdatangan, memberi hormat, memuji kecantikannya, dan mengucap doa. Raras membalas dengan senyum sopan, meski senyum itu tak pernah benar-benar menyentuh matanya. Di belakangnya, Alin berdiri tegak. Hanya seorang pelayan di mata orang lain, namun sikapnya berbeda. Matanya awas, terus menyapu kerumunan yang ber
Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu melewati tirai putih kamar pengantin. Rakai baru saja keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih dibalut handuk di pinggang. Matanya langsung jatuh pada sosok istrinya, Raras, yang masih terlelap di atas ranjang. Wajah itu tenang, seakan tak terusik oleh hiruk pikuk persiapan pesta yang terdengar dari luar istana.Namun ketenangan itu pecah saat seorang pengawal mengetuk pintu dan melaporkan kabar darurat, perbatasan kembali bermasalah. Rakai berdiri kaku beberapa detik, menimbang antara kewajiban sebagai panglima atau haknya sebagai seorang suami di hari pernikahan. Dengan langkah berat, ia mendekat ke ranjang, duduk di sisi istrinya.“Raras...” suaranya rendah, nyaris bergetar. “Aku harus pergi sebentar. Ada hal yang harus kuselesaikan di perbatasan. Tapi malam nanti... kita akan tetap rayakan pesta, percayalah.”Raras membuka mata, menatapnya sekilas tanpa sepatah kata. Diam. Pandangan itu membuat Rakai semakin sulit. Ia meraih tangan istrin
Langkah kaki Jendral Arya Gumelar bergema di aula istana, berat dan penuh wibawa. Rakai hanya melirik sekilas, lalu mengangkat tangan memberi isyarat agar ia duduk.“Bagaimana hasil laporanmu,” ucap Rakai rendah, tegas.Arya menunduk hormat sebelum membuka gulungan catatan. “Tentang wanita itu… Putri Raras.”Gerakan dagu Rakai menjadi tanda agar ia melanjutkan.“Dia bukan sembarang gadis,” suara Arya mantap. “Seperti yang ia akui padamu, Raras memang seorang putri… putri terbuang. Sejak kecil disembunyikan dari garis keturunan sah demi kepentingan politik. Untuk menjaga stabilitas Wanasari, ia akhirnya diserahkan mengikuti seleksi selir di Majakirana.”Rakai hanya mengangguk tipis. "Jadi benar. Bukan dongeng belaka apa yang pernah diucapkan gadis itu."Arya mengamati wajah sahabatnya, mencoba membaca sesuatu di balik ketenangan itu. “Namun sejauh penyelidikan, aku tidak menemukan tanda-tanda bahwa dia mata-mata. Bukan dari Wanasari, bukan pula Majakirana. Ia hanya korban keadaan, ters
Setelah suasana di aula mereda, Raras dan Rakai melangkah menuju kamar mereka. Rakai menutup pintu perlahan, lalu menoleh, menatap istrinya dengan mata yang dalam.“Nimas,” ucapnya serak, “kau tahu kan… aku ini pria normal.” Tangannya terulur, berusaha meraih pinggang Raras.Namun Raras menahan diri, mundur selangkah. “Kang Mas… jangan. Aku… aku masih belum siap,” katanya lirih, matanya menunduk. “Kau bukan suamiku… keris itu yang menjadi suamiku.”Rakai tersenyum, separuh geli, separuh penasaran. “Benarkah? Tapi keris itu hanya besi dingin. Sedang aku nyata di depanmu.”Raras menyilangkan tangan di dada, seperti membuat perisai. “Itulah masalahnya, Mas. Kau terlalu nyata. Dan nyata itu… kadang lebih menakutkan daripada ilusi.”Rakai melangkah lebih dekat, hingga tubuh Raras terdesak di sudut ranjang. Senyumnya melembut. “Nimas… jangan terus menjauh. Aku hanya ingin kiya merasakannya.”Raras mendongak, menatap mata suaminya dengan kilat nakal. Bibirnya bergerak pelan di telinga Rakai,
Sore itu, senja perlahan turun di langit perbatasan. Cahaya jingga menyapu pepohonan, sementara suara serangga mulai terdengar dari balik semak. Di kejauhan, Rakai berjalan menghampiri Raras yang tengah duduk di atas batu besar, menatap lembah dengan senyum tipis.“Raras,” suara Rakai dalam namun lembut, “Ayo kita pulang. Kau sudah terlalu lama di perbatasan. Udara dingin begini bisa membuat tubuhmu lemah.”Raras menoleh, matanya berkilat jenaka. “Kangmas… mengapa buru-buru pulang? Aku justru merasa nyaman di sini. Orang-orang sederhana di perbatasan ini baik hati, dan aku sudah terbiasa dengan udara dingin dan para prajurit di sini. Bukankah Kangmas yang sering berkata aku harus kuat?”Rakai menarik napas, menahan senyum kecil. Ia tahu betul Raras sedang menguji kesabarannya.“Bukan begitu, Nimas. Aku hanya khawatir. Kau ini putri seorang bangsawan, bukan prajurit penjaga perbatasan. Betah di sini sampai lupa jalan pulang, bagaimana aku tidak pusing?”Raras terkekeh, suaranya ringan
Di barak, Raras tengah duduk di kursi bambu sambil memutar-mutar gelang perak di tangannya. Malam itu udara terasa dingin, aroma kayu terbakar dari tungku meruap samar.Seorang prajurit berlari menuju barak, dengan tergesa-gesa, "Kanjeng Putri ... Kanjeng Putri!" Begitu melihat Raras mendekat dan saling pandang, lalu buru-buru menunduk."Kanjeng Putri, mohon maaf. Saya mau ambil barang atas perintah Kanjeng Gusti.""Hmm, ambil saja barangnya.''“Kanjeng Putru… ini barang permintaan Gusti Pangeran untuk dibawa ke ruang interogasi. Saya—” pria itu tiba-tiba meringis, memegangi perutnya. “Aduh… maaf, perut saya… tidak kuat…”Raras berdiri, menatap bingung. “Lho, terus ini siapa yang antar?”“Mohon… kanjeng putri saja. Gusti Pangeran sedang menunggu. Penting sekali. Dan tidak boleh dibawa orang lain!" Belum sempat Raras bertanya, prajurit itu sudah kabur sambil menahan perut.“Duh Gusti…” gumam Raras. “Aku ini istri pangeran atau kurir?”Dengan langkah mantap, ia membawa kotak itu menuju