Pagi di Daha dimulai dengan suara kayu patah dan bunyi palu yang bertalu-talu. Sisa-sisa banjir bandang masih tampak di mana-mana; lumpur menutupi jalan, dinding-dinding rumah roboh, dan atap-atap yang hanyut terbawa arus.Raras berdiri di tengah reruntuhan, matanya menatap bingung ke kanan-kiri. Di satu sisi, ada ibu-ibu yang menangis karena dapurnya hilang tersapu air. Di sisi lain, para lelaki berusaha menegakkan tiang rumah dengan tenaga seadanya.“Gusti, yang ini dulu atau yang di ujung sana?” tanya Alin sambil menunjuk dua rumah yang sama-sama setengah runtuh.Raras menghela napas panjang, tangannya sudah kotor oleh lumpur. “Kalau kita bangun yang ini… itu di ujung bisa makin roboh. Tapi kalau yang di ujung kita perbaiki dulu, keluarga di sini tidur di mana malam ini?”Sitira datang sambil mengangkat sekeranjang bambu penuh genting pecah. Wajahnya basah keringat. “Gusti, warga minta papan tambahan. Tapi gudang lumbung sudah kosong. Apa kita bongkar balai desa untuk dipakai tiang
Senja menurunkan warna merah di langit Majakirana, Situ menyelip di antara kerumunan pasar yang mulai sepi. Ia mengenakan kain lusuh, topi anyaman menutupi wajahnya. Di tangannya, sebuah bakul bambu berisi sayur layu dan ikan asin, penyamaran seorang pedagang miskin.“Cepat, sisihkan barangmu. Pajak malam sudah dipungut,” bentak prajurit. Situ menunduk, pura-pura gagap, menyerahkan dua keping logam. Mereka tak curiga, hanya meludah sembarangan dan berlalu.Situ menunggu sampai jalan lengang, lalu melangkah ke arah rumah minum di pinggir sungai. Tempat itu dikenal sebagai titik pertemuan orang-orang yang ingin bicara tanpa telinga istana.Di dalam, asap tembakau memenuhi udara. Situ duduk di sudut, menunduk, memesan air kelapa basi. Ia menunggu tanda.Tak lama, seorang lelaki tua datang dengan membawa kendi. Wajahnya biasa saja, tapi mata itu, Situ tahu, itu abdi kepercayaan Pangeran Laga.“Pasar makin sepi, ya,” kata lelaki itu ringan.Situ menangguk, lalu menyelipkan kata sandi. “Sep
Rakai duduk di lantai kayu, punggung menempel ke dinding. Hening. Lampu minyak berayun, bayangan wajahnya pecah di dinding. Pandangannya menajam, wajahnya kaku. Tak ada lagi tanda kebesaran seorang panglima.Ia berdiri. Mengambil sarung sederhana, warnanya kusam, sudah usang. Dipakainya tanpa ragu. Sebuah ikat kepala lusuh ia lilitkan erat, menutupi rambut yang sebelumnya selalu tersisir rapi. Pakaian itu membuat tubuh tegapnya terlihat biasa saja, seperti lelaki desa yang hidup pas-pasan.Tangannya meraih keranjang bambu. Isinya sederhana, segenggam garam dalam kain, tembakau, beberapa lembar kain perca. Barang-barang murahan, cukup untuk dijajakan di pasar. Barang itu bukan milik seorang bangsawan, melainkan milik seorang pedagang miskin yang berpindah dari dermaga ke dermaga.Ia sengaja tidak membawa senjata besar. Tombak ia tinggalkan. Keris pusaka ia sembunyikan jauh di peti kayu. Hanya sebilah belati kecil yang ia selipkan di pinggang, tertutup sarung. Nyaris tak terlihat.Rakai
Fajar baru saja merekah di langit Daha. Cahaya jingga memantul di sisa-sisa bangunan yang runtuh, juga di air sungai yang tenang. Warga mulai bangun, sebagian kembali mengantre bubur tipis yang semalam dimasak prajurit.Di dermaga, rombongan Tanah Pasren sibuk mengangkat karung kosong ke kapal. Mereka hanya singgah semalam, dan pagi itu bersiap pulang.Raras berjalan pelan mendekati dermaga, masih tampak letih tapi wajahnya cerah karena surat yang ia terima semalam. Alin setia mengikutinya, sementara Situ dan Sitira membantu warga di belakang.Di dekat tangga kapal, Lasmi—si utusan Tanah Pasren—tampak sibuk mengatur orang-orangnya, meski sebenarnya ia hanya berdiri anggun sambil bersandar pada tiang kapal. Begitu melihat Raras datang, ia menyunggingkan senyum tipis penuh arti.“Ah, Gusti Raras sudah datang. Tuan putri dari Daha yang rupanya lebih senang berkotor-kotor di dapur dan lumpur,” ujarnya setengah berbisik, tapi cukup keras untuk didengar.Raras menghentikan langkahnya, menat
Raras berdiri tegak menyambut. Ia tetap menampilkan senyum, meski dalam hati masih ada getir karena bukan Rakai yang muncul.Wanita itu menyibakkan selendangnya, tersenyum miring sambil menatap Raras dari ujung kepala hingga kaki. “Jadi ini… Gusti Raras?” suaranya lirih namun terdengar jelas oleh orang-orang sekitar. “Hmmm… aku kira istri Pangeran Rakai itu seorang bangsawan agung yang anggun. Tapi ternyata… hanya gadis desa yang dipoles sedikit.”Raras tertegun. Matanya langsung menyipit, dadanya panas. Namun ia menahan diri. Jangan… jangan terpancing. Dia membawa bantuan, jangan sampai rakyatku yang jadi korban amarahku.Lasmi melangkah mendekat, mendengus kecil seakan sedang menilai kain sederhana yang Raras kenakan. “Lihatlah, pakaiannya sederhana, wajahnya pun polos tanpa riasan. Benarkah ini yang dipilih Rakai? Padahal banyak wanita di istana yang lebih… pantas.”Beberapa prajurit di dermaga menoleh gelisah, suasana menjadi tegang.Raras menarik napas panjang, memaksakan senyum
Di dermaga Daha, aroma kayu bakar dan bubur yang mengepul memenuhi udara. Raras masih sibuk membagi bubur untuk warga yang berdesakan, tangannya gemetar halus karena kelelahan. Wajahnya pucat, namun ia tetap memaksakan senyum agar orang-orang merasa tenang.Alin berlari ke sana kemari, sibuk membagikan mangkuk batok kepada anak-anak kecil. Sementara itu, Situ awalnya ikut membagikan bubur, tapi pandangannya tak pernah lepas dari sosok tuannya. Dari tadi ia mengamati setiap gerak-gerik Raras, dan hatinya mencelos melihat pipi sang putri yang semakin pucat.“Sitira, teruskan tugasku,” ucap Situ singkat.Sitira mengangguk cepat, mengambil alih sendok kayu besar untuk menuang bubur ke batok-batok kelapa. Situ pun melangkah mendekat dengan langkah tenang, membawa semangkuk bubur hangat di tangannya.“Gusti, makanlah sebentar,” katanya datar, namun suaranya tak bisa menyembunyikan nada khawatir.Raras tersenyum samar, menggeleng pelan. “Tidak usah, Situ. Warga lebih butuh—”Namun belum sele