Guratan puas terpancar di mata Arsya. Ia puas melihat Indah bergetar karena kembali mencapai puncak untuk ketiga kalinya. Indah terkulai lemas di bawahnya.“Sekarang Abang harus lanjut dengan atau tanpa kamu.” Arsya menyunggingkan senyum jahil seraya meletakkan kedua tangannya untuk menyangga. Ia kembali mendorong masuk dengan arah dan kedalaman berbeda. Kecepatannya meningkat dan kekuatan dorongannya perlahan menguat. Lebih kuat dan lebih cepat dari tadi. Indah sudah terkulai pasrah dengan kedua tangan sesekali mengusap lengan Arsya yang terlihat amat jantan dengan otot-ototnya. Dari tempatnya berbaring ia merasakan keintiman yang membahagiakan. Bahagia bahwa Arsya sedang tergesa membutuhkan pelepasan dengan menyatukan tubuh mereka.Kebahagiaan memenuhi dirinya kala menyadari betapa besar Arsya menginginkannya. Betapa Arsya sedang membuat raut paling intim yang bisa ditunjukkan oleh wajah seorang pria sejati. Arsya sedang mengumpulkan kepingan kenikmatan yang akan membawanya ke punca
“Iya, harga sewa,” tegas Indah. “Memangnya kenapa? Kok, ketawa?” Ia memandang curiga Arsya yang terkekeh. Karena tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya ia menepuk pelan perut pria itu.“Aduh,” kata Arsya, menangkap tangan Indah dan mengecupnya. “Abang nggak tahu. Gimana kalau kita nggak usah membahas soal harga sewa rumah ini? Abang jadi merasa bersalah karena membiarkan kamu sendirian ke sana kemari. Abang nggak mau ingat bagaimana kamu melewati masa bingung dan perasaan bersalah itu sendirian.” Arsya membelai rambut Indah. Baginya memang tidak tepat membahas hal lain selain hubungan mereka malam itu. Malam itu baru berlangsung setengah dan masih ada setengahnya lagi di mana ia harus memastikan berlangsung dengan baik. Ia masih ingin mencumbu Indah.Indah menerawang dengan tangannya yang sedang membelai rahang Arsya. “Kadang-kadang sendirian sementara membuat perasaan kita lebih tenang. Membuat kita mampu menimbang keputusan-keputusan sendirian tanpa campur tangan orang lain. Papaku
Dalam sebuah ranjang kecil yang bahkan bagian bawahnya tidak dilengkapi dipan atau penyangga, Arsya tidur nyenyak untuk pertama kalinya sejak keributan yang disebabkan Riri. Ia membenarkan ucapan sang ayah yang belum lama ini mengatakan bahwa ketenangan ketenangan yang ia cari sudah bergantung pada kebahagiaan Indah. Awalnya ia tidak mengerti, tapi kemudian sang ayah sedikit menjelaskan.“Tanda bahwa kamu mencintai seorang wanita dengan tulus adalah ketika kamu merasa gelisah dan merasa bersalah kalau wanita itu terlihat tidak bahagia.”*****Barang-barang yang akan dibawa kembali pindah ke rumah Arsya ternyata cukup banyak meski sebagian besar sudar disortir. Bu Anum berdiri dengan dua koper besar dan sebuah koper kecil milik Indah. Galih sudah tiba pagi-pagi sekali untuk mengerjakan pesan Arsya. “Apa sudah semuanya, Bu?” Galih memastikan sebelum menutup pintu mobil.“Sudah semuanya, Pak,” kata Bu Anum. “Sebentar saya ke dalam buat pamitan ke Pak Arsya.” Bu Anum meninggalkan Galih ya
“Sarah, ada apa di sana? Baru hari Senin dan hanya mencari vendor es krim bisa seberisik itu.” Arsya mendengar keributan di seberang telepon.“Oke, sebentar, Pak. Saya akan menyelesaikan urusan dengan Yeni lebih dulu.” Sarah menekan tombol mute di ponselnya dan meraih kertas dari tangan Yeni. “Saya akan melanjutkan urusan sama Bapak. Kamu bisa keluar dan lanjut kerja.” Sarah menunggu sampai pintu ruangannya benar-benar tertutup baru kemudian kembali mengaktifkan panggilan Arsya.“Bagaimana? Sudah? Kenapa berisik sekali? Yeni bertengkar lagi dengan rekannya?” Arsya kadang bingung mau marah atau tertawa karena kekonyolan yang terjadi akhir-akhir ini di lantai di mana ruangannya terletak.“Yeni awalnya tidak terlalu menjengkelkan sampai meja kerjanya digeser sedikit ke dekat dinding. Ia semakin murka dengan keberadaan Lisa. Dan Lisa selalu punya tenaga meladeni Yeni. Mungkin sudah ratusan kali mengatakan kalau ia lebih menginginkan Indah menjadi rekannya ketimbang Lisa yang cerewet. Dan
“Semua juga boleh nyicipin, kok. Nggak mungkin semua ini bisa aku habisin. Abang juga harus nyobain.” Indah meletakkan mangkuk kecil berisi es krim yang tinggal sedikit, lalu ikut menyusul Titin ke balik display gelato. “Buat Bapak biar saya aja yang buatin, Mbak. Sekalian saya mau minta tolong panggil Bu Ratmi dan cucunya di belakang. Biar ikut nyobain juga.”Belum lagi Titin melangkahkan kakinya ke belakang, juru masak bernama Ratmi dan cucu perempuan yang sering dibawanya setiap hari datang mendekat bersama Bu Anum.“Nyari Leni, Mbak?” Bu Anum menggandeng Leni ke dekat Indah. “Bu Ratmi bilang ini cucunya yang paling kecil. Belum sekolah dan di rumah nggak ada yang jaga. Makanya sering dibawa. Pasti asyik ya punya cucu bisa dibawa-bawa begini. Anak saya laki-laki cuma satu yang kalau punya anak pasti dekatnya ke besan karena tinggal serumah sama besan.” “Cucunya Bu Ratmi juga tenang banget. Kalau neneknya di dapur dia cuma duduk di kursi sambil main sendirian.” Indah bicara seraya
“Takut wanita itu melukai dirinya sendiri kalau tahu Abang pergi dengan wanita lain yang tidak dia kenal.” Arsya kembali meringis. Ia bicara sangat hati-hati.“Melukai diri sendiri? Aku…nggak ngerti. Apa maksudnya ancaman bunuh diri atau tindakan seperti melukai diri sendiri gitu? Menyayat tangan? Atau lompat dari gedung?” Indah mendeskripsikan semua hal yang terlintas di benaknya. Andai semua yang dikatakannya benar ia tidak mengerti pria cerdas seperti Arsya bisa terlibat dalam hubungan seperti itu.“Hampir seperti itu. Kadang dia mengancam akan mendatangi kantor dan berbuat keributan. Awalnya Abang heran kenapa dia selalu tahu apa yang terjadi di kantor. Jam berapa Abang keluar kantor dan pergi dengan siapa. Sekarang Abang sudah mengerti semuanya.” Arsya mengulas senyum tipis agar Indah yang terlihat tegang kembali santai dalam obrolan ranjang mereka. Sepintas tadi ia juga mengingat Tio yang pernah kedapatan membuntutinya mulai dari depan gedung perkantoran.“Aku nggak nyangka,” gu
Indah bergeming selama beberapa detik sebelum tersadar karena belaian tangan Arsya di pipinya. “Yakin mau ketemu Mayang?” tanya Arsya lembut. Dahi Indah mengernyit. “Nggak terlalu yakin tapi aku penasaran dengan keperluannya. Jauh-jauh ke sini dan yang paling penting dia udah usaha banget buat nyari alamat Abang. Nanya sama siapa dia?” Indah menoleh ke arah suara samar-samar Deden yang sedang bicara dari arah depan. “Boleh ketemu Mayang kalau kamu habiskan mangga ini lebih dulu. Abang juga harus temani kamu. Istri Abang sedang hamil,” kata Arsya dengan nada ringan. Ia ingin menghalau kilat emosi yang terlihat di sepasang mata Indah.“Apa boleh aku ketemu Mayang berdua aja lima belas menit pertama? Mungkin Mayang bakal sungkan kalau ada Abang.” Indah tersenyum untuk meyakinkan Arsya. Ia memang ingin Mayang menjadi dirinya sendiri saat mereka bicara. Terlebih ia ingin melihat Mayang yang pernah bercinta dengan suaminya di ruang keluarga. Mayang yang garang dan angkuh.Ketika Arsya men
Tadinya Indah merasa telinganya salah menangkap perkataan Arsya. Tapi melihat bagaimana senyum Mayang melengkung, ternyata ia tidak salah. Mayang bahagia dan tujuannya datang ke rumah mereka pagi itu sudah terpenuhi. Wanita itu mau Panca keluar tahanan untuk menunggui persalinan ia dan bayinya. Diamnya Indah membuat Arsya cepat melirik ke arahnya. Ia sadar kalau wajahnya saat itu pasti menyiratkan ketidaksukaan yang amat jelas. “Ini serius, Pak? Bisa?” ulang Mayang karena tak yakin dengan reaksi kaku Indah. “Kalau istri saya menyetujuinya, hal itu bisa diwujudkan. Tapi karena melihat ekspresi istri saya seperti ini, saya jadi sedikit ragu. Sebelum saya meminta Anda keluar dari sini karena sedikit mengacaukan pagi kami, sepertinya Anda dan suami Anda harus mengingat-ingat hal apa yang harusnya kalian lakukan untuk istri saya. Hal yang sudah sepantasnya kalian lakukan dari dulu. Bagaimana?” Karena wajah Indah berubah menegang, Arsya mengkhawatirkan perubahan suasana hati yang begitu