“Hallo?” Atma memutuskan untuk menjawab sambungan telepon itu walau ia sendiri tak tahu siapa sosok dibalik deretan angka yang tidak berpemilik itu.
Cukup lama, Atma menunggu sahutan dari seberang sana hingga akhirnya ia mengulangi ucapannya sekali lagi. Hingga sambungan telepon terputus secara sepihak. “Ini maksudnya apa sih? Telepon gak jelas!” Atma hendak membanting benda pipih di tangannya namun belum sampai terlepas ia tersadar jika benda tersebut bukan miliknya.
Atma hanya menghabiskan waktu dengan duduk di sofa setelah ia selesai menidurkan Yandra, sedangkan Clarita belum juga sadar dari pingsannya. Ia sesekali memeriksa keadaan Yara yang terbaring lemah dengan selang infus menancap di lengan kirinya. Ia merintih lirih membayangkan jarum kecil yang menembus kulit lembut bayi berusia dua minggu itu.
Detik berganti menit, menit berganti jam, kini jam di dinding menunjukkan waktu 12 s
“Bukan urusanmu!” ketus Clarita menyimpan kembali ponselnya. Atma berdecak kesal dan berkata, “Mengapa semua wanita selalu sulit dimengerti. Apa susahnya menjelaskan apa yang sebenarnya ia rasakan?” Clarita mengabaikan pernyataan Atma dan memilih untuk melanjutkan makan siangnya. Atma yang merasa terabaikan pun memilih untuk menjauh dan kembali ke sofa. Ia menatap tumpukan map tak bernafsu. Sedangkan Clarita menikmati makan siang dengan pikiran yang melayang jauh ke mana. ‘Setelah ini apa yang harus aku lakukan? Biaya rumah sakit tentu mahal, belum lagi kehidupanku setelah ini. Aku tak mungkin terus bergantung pada belas kasihan dari Dean ataupun orang lain. Aku tak boleh merepotkan orang lain lagi, tetapi apa yang bisa aku perbuat? Aku hanya lulusan sma dan memiliki anak?’ batin Clarita meratapi nasibnya. Seusai menikmati makan siangnya, ia membuka benda pipih berwarna rose gold itu. Ia membuka jejaring sosial, mencoba mencari pekerjaan yang bisa ia lakukan dari rumah. Mau tidak m
“Ih om nguping ya! Katanya berpendidikan tetapi malah mencuri dengar ucapan orang lain, tanpa izin‼” sindir Dean menatap Atma yang berdiri dengan kepala menyembul di balik tirai pembatas. Atma gugup. ‘Kenapa jadi begini? Perasaan aku bicara dalam hati?’ batin Atma heran dengan dirinya sendiri. Atma memalingkan wajahnya menghindari tatapan menyelidik Dean namun sayang, bukannya aman netranya justru terperangkap pada manik mata milik Clarita. Manik mata berwarna hitam pekat yang begitu menenangkan dan memberikan rasa damai. “Om! Ngapain sih?” tanya Dean bingung pada sikap aneh Atma. Pria itu hanya mengendikkan bahu acuh dan berjalan menjauh. “Ish aneh banget dasar. Memang ya Mba kalau orang sudah umur itu suka gak jelas tingkahnya.” Clarita hanya menggeleng dengan senyum di wajahnya. Clarita dan Dean pun kembali melanjutkan perbincangannya, dua insan berbeda usia itu tampak begitu akrab dan asyik membicarakan hari pertama Dean bekerja di perusahaan yang penuh persaingan itu. Dean wani
Mereka terdiam sejenak dengan kepala tertunduk dan tangan menengadah, meminta pada sang Pemilik Semesta, memanjatkan serangkaian doa baik pada-Nya. “Mau kamu duluan atau mba, De?” tanya Clarita setelah mereka selesai merapikan peralatan sholatnya. “Mba dulu deh, Dean mau main sosmed dulu,” sahut Dean seraya menyalakan ponselnya, Dean memilih untuk duduk kembali di sofa yang tersedia. Clarita pun mengangguk, langkah kaki jenjangnya berjalan menuju almari kecil dan mengambil beberapa peralatan mandi. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, ia menyempatkan diri untuk menengok buah hatinya yang masih terlelap dalam mimpi tenangnya. Wajah tenang mereka seakan menjadi booster semangat untuk Clarita dalam menjalani hidupnya lagi. Clarita mendaratkan kecupan lembut ke kening buah hatinya, kemudian berlalu menuju kamar mandi dan memulai ritual mandinya. Tak butuh waktu lama, Clarita bergegas menyudahi mandinya dan membiarkan Dean membersihkan dirinya pula. Jam menunjukkan pukul 7 pagi, Clarita
“Gak mungkin kenapa, Mba?” tanya Dean dengan tatapan bingung.“Hah? Apa kenapa, De?” tanya Clarita terkejut dengan ucapan Dean.Dean pun menghela napas. “Mba tadi bilang gak mungkin, nah itu kenapa?”Clarita menatap Dean ia pun terdiam sejenak memikirkan jawaban apa yang tepat tanpa harus mengatakan yang sebenarnya pada Dean. “Ah itu, gak mungkin mba bisa hidup kalau gak ada kamu. Bagaimana pun juga kamu banyak membantu mba dan kamu bak malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantu dan menolong, Mba,” alibi Clarita pada Dean yang kini menatapnya penuh haru.Dean tak merespon ucapan Clarita, wanita itu hanya mengusap sebelah tangan Clarita. Setelah itu Clarita kembali terdiam, ia memikirkan mobil yang ia lihat beberapa menit lalu. Ia merenung dan mencoba menggabungkan semua kejadian yang terjadi hari ini.Mulai dari telepon dari n
“Apa tujuan mereka datang ke sini? Apa mereka ingin … ah tidak mungkin. Mereka saja membuangku mana mungkin mereka datang ke sini hanya untuk mengajak aku pulang lagi. Tetapi –““Assalamualaikum, aku pulang‼” pekik Dean seraya mengetuk pintu rumah.Clarita pun menghentikan ucapannya, menyimpan kembali ponsel miliknya dan bergegas membuka pintu rumah. “Walaikumsalam,” sahut Clarita seraya membuka pintu.Dean tersenyum, ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan tangan yang penuh belanjaan. Clarita pun bergerak membantu membawakan barang belanjaan Dean. Setelah itu menutup pintu dan kembali menguncinya. Kini kedua wanita terpaut tiga tahun itu duduk di ruang tengah dan membuka belanjaannya.“Ini ovennya mba, trus ini alat-alatnya. Nah yang di situ bahan-bahan kuenya. Kalau ada yang kurang nanti mba bilang aja yah, biar De carikan sepulang kerja nanti.
Atma merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel berlogo apel tergigit kemudian mengetikkan deretan angka kemudian mendial nomor teersebut. Bertepatan dengan nada sambung ketiga sebuah suara berat khas bangun tidur terdengar di telinganya. “Cari rumah Clarita, kutunggu sebelum jam makan siang,” ujar Atma tanpa basa-basi. “Bisa gak sih, Jay lu tuh kalau telepon ucap salam dulu, basa-basi dulu. To the point bener,” keluh sang lawan bicara. “Lagian ngapain seorang Atma Wijaya Mahendra nyariin alamatnya Clarita. Bukannya lu gak ada apa-apa sama mereka ya? Kesannya lu kayak suaminya saja, Jay.” “Ck!” Atma memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Membiarkan sahabat sekaligus assistennya itu mengumpat tertahan atas sikapnya. Ia termenung beberapa saat, memikirkan ucapan Bara. ‘Kesannya lu kayak suaminya’ perkataan itu terus terngiang di benaknya, ia mencoba mencerna ucapan Bara. “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorang suster membuyarkan lamunan Atma. Atma menoleh
Clarita ragu, ia bingung harus membukakan pintu atau mengabaikannya. Ketukan pintu dari arah luar terdengar lagi, Clarita semakin gugup. Ia bingung dari mana pria itu tahu alamat rumahnya, padahal tak ada satupun orang yang tahu di mana rumahnya.Tubuhnya semakin bergetar, ia takut terjadi sesuatu pada baby twinnya, ia tak menyangka jika pria itu nekad mencarinya hingga ke rumah barunya. Sepuluh menit berlalu, terdengar sayup-sayup perbincangan dari sosok pria di depan rumahnya.“Hallo, bu ini alamatnya benar? Kok tidak ada kehidupan ya? Ibu yakin wanita itu pindah ke sini? Ibu dapat informasi dari siapa?” tanya pria itu pada seseorang di dalam telepon. Clarita membungkam mulutnya ia terkejut, ternyata pria itu adalah suami dari mantan ibu kostnya. Ibu kost yang mengincar baby twin menjadi anaknya sebagai alat mendapatkan warisan keluarga sang Suami.Clarita menutup gorden kala pria itu menoleh menatap pintu
“Saya apa? Katakan yang jelas!” bentak salah seorang warga dengan lengan bertato itu. Melihat lengan pria itu ternyata membuat nyali pria misterius itu menciut. Ia sebenarnya hanya disuruh oleh istrinya tetapi ia tak menyangka jika ternyata istrinya salah mengikuti orang. “Saya salah alamat, saya permisi!” ucap pria misterius dengan cepat dan hendak melangkahkan kaki menjauh. “Tunggu, sekali lagi anda datang ke mari kami tidak segan-segan melapor ke polisi,” peringat Pak Danang dengan tegas. Kemudian pria itu mengangguk dan berlalu meninggalkan rumah Dean dengan motor besar miliknya. Dean mengucapkan terima kasih pada Pak Danang dan juga warga setempat yang dengan baik hati mau menolongnya di malam-malam begitu. Mereka pun berpamitan dan berpesan untuk Dean selalu mengunci pintu rumahnya. Dean mengedarkan pandangannya sejenak, memastikan jika keadaan memang sudah aman dan pria itu tidak mengamati rumahnya lagi. Setelah memastikan jika semuanya aman, barulah Dean membuka pintu rumah