Share

Jangan Mmebuatku Khawatir

Nadia memacu kecepatan motornya, tanpa memperhatikan jarum speedometer yang terus bergerak ke kanan. Air mata berderai dan isakan tangis menambah pedih hatinya, benak gadis itu membayangkan semua kemungkinan buruk. Nadia merasa tak berdaya dan tak kuasa apabila Dirga ... cepat-cepat dias menggeleng, menepis kemungkinan yang mengganggu.

“Nggak, itu nggak akan terjadi,” ucapnya pada diri sendiri.

Di tengah pikiran yang kacau, gadis itu sempat berdoa. Tetapi bukan, bukan berdoa yang seperti itu, dia memohon dan berharap. Kekalutan hatinya memberi keberanian bertindak ekstrem, gadis itu berkali-kali menyalip mobil dan kendaraan bak terbuka. Bahkan hampir saja dia menyerobot lampu merah, Nadia sontak menarik tuas rem motornya.

“Woe. Kalem dong,” tegur seseorang yang berhenti di baris paling depan. Dia terkejut sebab Nadia menabrak bagian belakang motor besar yang dikendarainya.

Nadia membuka kaca helm saat balas berteriak, “Kalem juga dong!”

Cowok itu hampir turun, tapi dicegah oleh teman yang berhenti di sampingnya. “Untung cewek, kalau nggak,” katanya mengejek.

“Eh, jangan kira aku takut, ya,” balas Nadia sengit.

Belum sampai Nadia turun dari motor, lampu lalu lintas berubah warna. Kerumunan di belakang garis batas jadi riuh oleh bunyi klakson. Gadis itu gegas memutar kendali laju, melesat tanpa memikirkan keselamatan diri

Tiba di tempat tujuan, motornya diparkir asal. Tanpa menanggalkan helm, Nadia berlari masuk ke klinik. Langkah seribunya naik ke lantai dua mencari-cari nama dan nomor kamar yang tadi disebutkan. Napas berhenti sesaat ketika mata gadis itu membaca nama kamar yang dia cari.

Buru-buru dia menghampiri lantas memutar pegangan pintu. Lagi-lagi pernapasannya tak berfungsi dengan benar. Nadia bergeming. Beberapa saat berlalu, tetapi dia belum menemukan di mana letak suaranya. Begitu banyak, sangat banyak yang ingin dikatakan sampai akalnya tak bisa menentukan mana satu yang tepat.

“Hai ... cantik,” sapa seorang laki-laki muda yang duduk menyilangkan kaki di bangsal.

Senyum merekah ditunjukkan laki-laki muda yang mengenakan baju khas pasien itu. Nadia bergerak maju, dan tak ragu mendaratkan sebuah tamparan keras.

“Heiii jangan marah,” bujuk laki-laki itu ketika melihat air mata Nadia menganak sungai. Dia mengabaikan panas yang menjalar di pipi kirinya.

Nadia mengangkat telunjuk di depan wajah lawan biacaranya, “Apa kamu bilang, jangan marah?”

“Aku nggak apa-apa,” balasnya tenang.

“Kamu tahu nggak, sih—“

Tiba-tiba laki-laki itu menarik tangan Nadia yang masih mengacung padanya. Luapan amarahgadis itu terhenti saat tubuhnya jatuh dan si laki-laki memeluknya dengan posisi menyamping. Kurang nyaman. Keduanya diam beberapa saat. Seolah mendengarkan detak jantung satu sama lain. Tak ayal, air mata Nadia jaruh berderai lebih banyak.

“Jangan membuatku khawatir,” bisik Nadia sebelum kepalanya sedikit bergerak, mencari posisi nyaman bersandar di bahu laki-laki itu.

“Maaf. »

“Nggak dimaafkan, Dir. Nggak segampang itu,” ancam Nadia.

Tepatnya, Nadia tak akan mampu memaafkan diri sendiri kalau sampai terjadi apa-apa. Gadis itu sangat menyayangi Dirga. Dirga sangat berharga bagi Nadia. Sehari saja tak bertemu, Nadia pasti akan mencari-cari di mana keberadaan sahabat sekaligus orang yang paling mengerti.

“Kenapa nggak dimaafkan?” tanya Dirga.

Keduanya mengurai pelukan. Sembari mengeringkan sisa air mata, Nadia duduk di tepi bangsal. Sebisa mungkin dia menunjukkan wajah marah. Sedang Dirga berkerut dahi mendapati ekspresi kurang bersahabat dari gadis di depannya. Apa yang Nadia pikirkan, itulah isi sebagian besar kapasitas menerka Dirga saat ini.

“Aku marah, pakai banget.” Nadia mengintervensi.

“Kan aku udah minta maaf.”

“Aku udah bilang, nggak segampang itu. Kamu udah janji bakal berhenti ... coba kalau ini bukan rumah sakit swasta. Kamu pasti udah dilempar ke sel atau digerebek polisi,” tegas Nadia. Dia dan Dirga beradu tatapan sengit.

Laki-laki itu memalingkan wajahnya, menghela napas. Dirga tak ingin menyanggah, sebab dalam hatinya mengiyakan apa yang Nadia bilang. Rumah sakit ini sedikit memberi perlindungan, tapi bukan itu yang sebenarnya inginkan. Sakit yang dideritanya bukan luka fisik yang bisa disembuhkan oleh resep dokter. Bagian rasa skit itu bahkan mungkin tak bisa dianalisis oleh siapapun.

Bila dirasa-rasa, pun tak ada gunanya terus dibahas. Nadia dan Dirga memiliki luka yang sama, yaitu kesepian. Dua remaja itu butuh genggaman tangan orang-orang terdekatnya,  kebersamaan serta tawa yang mewarnai sebuah ikatan bernama, keluarga. Keluarga? Entah siapa yang bisa Dirga sebut keluarga, rasanya tak ada. Kecuali gadis yang ada di depannya sekarang, tapi bukan, Nadia bukan sekadar keluarga.

Nadia dan Dirga berbagi cerita, atas suatu hubungan yang tak bisa didefinisikan. Banyak orang mengira, keduanya menjalin kisah cinta, tapi kenyataanya tidak. Cinta bukan patokan yang menjadi acuan Nadia dan Dirga untuk terus bersama. Mereka saling mengisi kekosongan tanpa menuntut ingin diakui dan mengakui.

“Kenapa diam? Aku nggak akan tinggal diam sekarang.” Nadia memperingatkan.

“Apa maksud kamu?”

“Kamu akan lihat nanti,” kata Nadia dengan ringisan penuh rahasia terulas di bibirnya.

Dirga mau buka suara, tapi derit pintu terbuka memaksanya menelan semua kata. Dia melongok, sedikit mencondongkan badannya ke samping sebab terhalang oleh Nadia. Gadis itu pun menoleh, ingin tahu siapa yang datang. Senyumnya merekah ketika tahu yang masuk adalah mereka yang ingin Nadia temui.

Rona bahagia Nadia berbanding terbalik dengan reaksi Dirga. Laki-laki muda itu justru berdecih, memalingkan wajah. Kalau saja tak akan berdampak buruk misal mereka diusir, tentu Dirga sudah melakukan itu dari tadi. Tetapi, sekarang hatinya Cuma bisa menahan gumpalan emosi.

Nadia turun dari tepi ranjang, secara refleks membenahi pakaian seragamnya yang agak berantakan. “Selamat pagi, Om, Tante,” sapa Nadia.

“Oh sepertinya benar dugaan kita, Pa,” selidik seorang wanita paruh baya yang dipanggil Tante oleh Nadia. Wanita itu meminta persetujuan suaminya, atas asumsi atau entah dugaan apa yang mereka bicarakan.

“Ada apa sih, Ma, Pa?” sergah Dirga.

Nadia memandangi ketiga orang di kamar itu bergantian, benaknya bingung.

Senyum mama Dirga kurang menyenangkan bagi Nadia. Entah mengapa, senyum yang seperti itu kerap dia lihat, bahkan seperti setiap waktu ketika bertemu dengan orang tua Dirga. Nadia merasa orang tua Dirga tidak menyukainya, tetapi Nadia tak pernah berani mengatakan pendapatnya di depan Dirga. Entah mengapa, Dirga selalu bisa meyakinkan bahwa orang tuanya tak pernah keberatan atau mengatakan sesuatu tentang Nadia.

Tak jarang Dirga bercerita, kalau mama dan papanya bertanya tentang Nadia. Seolah-olah, keduanya suka anak mereka berhubungan dengan Nadia. Dalam kata lain, tidak masalah bila Nadia dan Dirga berteman dekat. Akan tetapi, sorot mata dan ekspresi mama Dirga, tak pernah menyenangkan di mata Nadia. Perbedaan sikap yang bertolak belakang itu seringmembuat Nadia berpikir, tapi tak juga menemukan jawaban.

Senyum kecil terlihat lagi di bibir mama Dirga. “Suruh Nadia pergi, Dir. Atau papamu yang akan menyeretnya keluar.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status