"Aku akan menceraikanmu detik ini juga!" Haris sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar apapun lagi dari mulutnya. Di matanya Ayra salah besar dengan bukti jelas. "Ayra Kaesya Fatharani binti Bapak--" "Stop. Jangan diteruskan." Marni maju ke hadapan Haris. Tidak ingin kata talak itu jatuh dari mulutnya untuk menantu. "Tenangkan dulu pikiranmu. Jangan tergesa." Terlalu dini Haris mengambil keputusan. "Tidak bisa, Bu." "Maafkan, Ayra." "Tidak semudah itu. Ibu jangan membela orang yang salah!" Haris turut geram pada ibunya sendiri. Bukan mendukungnya tapi malah memaklumi Ayra. "Ibu tidak membela orang yang salah. Ibu minta kamu memaafkan. Kasihan Ayra." Marni menatap ke arahnya. Sangat mengasihani. Sudah dimadu dan sekarang hendak dicerai begitu saja. Dia tak tega. "Ayra sudah berbuat hal hina. Aku benci istri seperti itu!" Tidak bisa ditawar-tawar lagi sungguh fatal baginya. Dia berniat melihat keadaannya setelah bermalam dengan Tisa di lantai atas. Namun, setelah memasuki ka
"Kontrakan di sini penuh." Untuk kedua kali Ayra kecewa mendengar pemilik petakan kontrakan. Ternyata mencari tempat tinggal dalam waktu cepat tidaklah mudah. "Gitu, ya, Pak. Terimakasih." Ayra pamit. Berjalan kembali. Lesu tubuhnya ingin segera istirahat. Sesekali mengusap peluh di dahi. Selama bersama Haris tidak pernah melakukan jalan kaki sejauh ini. Satria masih mengikuti. Rela masuk dalam gang dan memberhentikan motor dari agak jauh. Mengotak atik ponsel yang dikeluarkan dari saku. Sementara Ayra terus berjalan. Berharap bisa cepat menemukan tempat bermalam. "Mau ke mana, Mbak?" tanya seorang pemuda tiba-tiba menghampiri. Langkah Ayra terhenti. "Saya cari kontrakan." "Ada dekat sini. Kalau Mbak minat saya tunjukkan." "Benar, Mas?" Seketika mata Ayra berbinar. "Iya. Boleh ikut saya, Mbak." "Baik, Mas." Ayra mengikuti. Senang mendengar kabar tersebut. Membuatnya semangat lagi. Pemuda itu menunjukkan deretan kontrakan yang dimaksud. "Deretan kontrakan itu ada yang kosong.
"Eh, eh, mau dibawa ke mana makanannya?" Langkah Ayra terhenti di hadapan Bu Dita. Bingung mesti menjawab apa. Tadinya dia mau memberikan ke orang lain makanan yang tidak jelas pemberian siapa. Meski lapar meski membutuhkan, Ayra tidak mau sembarangan memakan. "Bu Dita tau tidak siapa yang gantungin kantong makanan ini di depan pintu kontrakan saya?" "Dari hamba Allah." "Hamba Allah?" "Iya. Saya juga dikasih. Nih." Bu Dita menunjukkan kantong yang sama di sampingnya memindahkan di meja. "Gak tau siapa. Orangnya langsung pergi." Siapa? Ayra semakin penasaran. "Makan aja, gak usah ragu. Saya juga mau dimakan nih. Orang sedekah, jangan nolak rejeki." Ayra mematung melihatnya membuka bingkisan itu dan melahap makanan tersebut. "Ketopraknya enak banget. Eh, ada bakwan juga." Mulutnya sibuk mengunyah. "Udah, kamu jangan bengong. Makan nanti keburu dingin." "Ah, iya." Ayra pun memilih berputar arah masuk dalam kontrakan kembali. Duduk membuka bingkisan tersebut di lantai. Menepis
"Satria? Jadi kamu orangnya?!" Ayra tidak menyangka. Yang setiap pagi memberikan makanan padanya ternyata mantan ipar. "Ya ... dari aku." Satria sudah tenang kembali mencoba tersenyum. "Untuk apa kamu lakuin itu?" "Pengen aja berbagi sama kamu.""Gak usah. Aku tidak butuh bantuan orang yang sudah fitnah aku. Bawa kembali makanan itu." "Ayra maaf ... karna itu aku merasa bersalah dan mau nebus kesalahan itu.""Dengan memberi makanan? Itu tidak bisa mengembalikan harga diriku!" Ayra hendak menutup pintu tapi ditahan. "Pergi kamu. Jangan ke sini lagi!" "Ayra, aku minta maaf. Aku tahu kamu membutuhkan bantuan. Ambil apa yang sudah aku bawa ini." Satria kembali menyodorkan kantong makanan itu. "Bawa pulang saja. Dan untuk semua makanan yang kamu beri dan sudah aku makan, aku akan menggantinya!" "Tidak usah diganti, Ayra."Ayra berusaha menutup pintu dan kali ini berhasil. Dia bersandar pada pintu tersebut. "Ayra!" "Pergi atau aku akan teriak!" Lelaki itu menunduk tidak memaks
"Minum." Satria memberi botol minuman teh dingin. Namun, Ayra malah melengos. Menatap pemandangan di luar kaca. "Yasudah, kalau tidak mau." Satria menghadap depan lagi. Menaruh minuman itu. Deni menggaruk pelipis, terus menyetir dengan perasaan bingung terhadap keduanya. "Kamu boleh kerja yang lain asal jangan jadi pemulung." Satria berujar lagi dari depan. Sungguh, dia tidak tega melihatnya dan tidak suka. Ternyata Ayra bisa senekat itu saat terdesak. "Ngatur-ngatur. Kamu pikir siapa?" balas Ayra ketus. Dia terpaksa masuk mobil untuk diantarkan pulang. Uang pemberian Satria dikembalikan tidak mau menerima begitu saja, sebagai gantinya lelaki itu meminta ia berhenti mulung dan pulang. Sudah lumayan jauh Ayra melangkah, Satria kasihan. "Loh, kan pacarnya? Sebagai pacar yang baik, Satria tidak mau melihat kamu mulung." Deni menimpali dengan terheran-heran. Ayra melotot mendengar itu. Pacar?! Sementara Satria di sebelah lelaki itu mulai tidak enak diam. Deni percaya begitu saja sa
"Jadi, benar ya Mbak Tisa, Kalau Mbak Ayra selingkuh dengan Mas Satria, dengan adek ipar sendiri?" "Betul. Itu kenapa Mbak Ayra dicerai Mas Haris dan dua-duanya diusir dari rumah." Ayra mundur tidak jadi melangkah ke depan rumah Haris saat mendengar suara itu. Berdiam di pojok garasi melihat dengan geram beberapa Ibu-ibu tengah membicarakannya bersama Tisa. Sambil memilih sayur di pedagang mobil losbak kecil. Tisa begitu bersemangat menggosipkannya. "Gak nyangka, ya, tampang alim begitu bisa selingkuh.""Mangkannya jangan hanya terkesan dengan penampilan Bu-ibu, bisa menipu." Tisa terus mengompori. "Pantas Mas Haris marah langsung menceraikan," timpal Ibu-ibu lain. "Dua-duanya tega dan tidak tahu diri. Sudah enak tinggal di rumah bagus begini, malah buat ulah." "Lebih tidak tahu diri lagi si Ayra, sudah mandul malah selingkuh. Padahal Mas Haris baik, gak ada bersyukurnya." Tisa tersenyum senang dan puas mendengar respon Ibu-ibu itu. Mereka ikut membenci Ayra. Sesuai yang dihara
"Loh, barang-barang saya ke mana, Bu?" Ayra heran sekembalinya ke kontrakan barang yang tadi dikumpulkan tidak ada. "Ada di dalam," jawab Bu Dita. Lalu mendekat padanya yang terdiam kebingungan. "Kamu gak usah pergi. Boleh tinggal di sini." Heran Ayra mendengarnya. "Tapi, Bu, tadi--""Sudah. Gak apa-apa. Kamu bebas tinggal di sini." Dielus lengan janda muda itu berbicara sungguh-sungguh. Serta ramah. Berbeda dengan sebelumnya yang ketus. "Saya belum bisa bayar sewanya, Bu.""Tidak apa-apa, tidak usah pikirkan itu. Maafkan saya Ayra, tadi saya sudah menyuruhmu pergi tanpa memperdulikan keadaan kamu." "I-iya, Bu." Tak enak dan bingung Ayra menanggapinya. Karna tiba-tiba semua berubah. Dirinya diberi kesempatan tinggal lagi di kontrakan tanpa pertimbangan biaya sewa. Bu Dita membebaskannya. "Kamu bisa istirahat di dalam." "Tapi dua orang itu, Bu?""Mereka sudah pergi. Mencari kontrakan lain.""Terimakasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Saya pergi dulu, Ayra." Bu Dita meninggalkannya y
"Tidak sudi." Haris tertegun. Ayra menolaknya. Bahkan, dengan kata-kata sangat tidak enak didengar. Seperti dulu dia pernah melontarkan kalimat itu. Saat ibunya meminta rujuk. Sekarang Ayra mengatakannya. Haris tertohok. Rasanya sesakit itu. "Aku tidak mau rujuk." Dia semakin mempertegas. "Apa?" Haris tak ingin mempercayainya. Dia kira Ayra akan langsung menerima. Dia kira perempuan itu akan senang dia datang. Karna tahu selama ini Ayra sangatlah mencintainya, sampai dia menikah lagi pun mengijinkan. "Aku tidak mau kembali denganmu, Mas." Ayra menatapnya marah juga kecewa atas tuduhannya tanpa bertabayun lebih dulu. Belum lagi kasih sayang yang timpang antara dirinya dan Tisa selama mereka bersama. Sudah teramat sakit hati. Tak ingin merasakan itu lagi. "Kita akan tetap seperti ini. Hanya mantan suami istri." Dengan sendiri seperti ini Ayra merasakan hidup tenang. Merasa lebih baik. Hal yang sudah lama hilang bisa didapatkannya lagi. "Beri aku kesempatan, Ayra." Haris meraih tan