Share

BAB 2

"Aku akan menceraikanmu detik ini juga!" Haris sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar apapun lagi dari mulutnya. Di matanya Ayra salah besar dengan bukti jelas. 

"Ayra Kaesya Fatharani binti Bapak--" 

"Stop. Jangan diteruskan." Marni maju ke hadapan Haris. Tidak ingin kata talak itu jatuh dari mulutnya untuk menantu. 

"Tenangkan dulu pikiranmu. Jangan tergesa." Terlalu dini Haris mengambil keputusan. 

"Tidak bisa, Bu." 

"Maafkan, Ayra." 

"Tidak semudah itu. Ibu jangan membela orang yang salah!" Haris turut geram pada ibunya sendiri. Bukan mendukungnya tapi malah memaklumi Ayra. 

"Ibu tidak membela orang yang salah. Ibu minta kamu memaafkan. Kasihan Ayra." Marni menatap ke arahnya. Sangat mengasihani. Sudah dimadu dan sekarang hendak dicerai begitu saja. Dia tak tega. 

"Ayra sudah berbuat hal hina. Aku benci istri seperti itu!" Tidak bisa ditawar-tawar lagi sungguh fatal baginya. Dia berniat melihat keadaannya setelah bermalam dengan Tisa di lantai atas. Namun, setelah memasuki kamar mendapati baju Satria ditambah istrinya mandi keramas. Meyakini mereka melakukan hubungan haram. Satria sendiri mengaku. Sudah. Jelas. Ayra terbukti berselingkuh. 

"Aku akan tetap menceraikannya. Sekarang!" 

"Haris--"

"Ibu diam. Jangan ikut campur apa yang menjadi keputusanku!" 

"Ya Allah, Nak." 

"Ayra Kaeysa Fatharani binti Bapak Faturrahman, aku jatuhkan talak padamu. Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi!" 

Seketika kalimat istigfar terucap dari bibir Ayra sambil mencengkeram erat dada. Merasai hati diiremas kuat. Sakit. Nyeri. 

Sembilan bulan lalu Haris menikahi Tisa Wardania, karyawan baru di kantor. Selama itu dia berusaha sabar. Berusaha bisa berdamai walau tidak mudah. Kian hari terasa berat sejak Tisa hamil. Perempuan itu begitu manja. Selalu ingin diperhatikannya. 

Malam-malam Ayra terbagi menjadi tidak sama. Haris lebih banyak pergi menemui Tisa. Satu minggu dia hanya kebagian dua hari terkadang satu hari. Sampai kehamilan menginjak usia tujuh bulan pun masih sama. Dengan alasan masih suka mual, pusing dan muntah. Ingin selalu ditemani. 

Ternyata kesabarannya selama ini sia-sia. Hanya karna keberadaan baju ipar di kamar, juga rambut basahnya. 

Semua fitnah. Sungguh, dia tidak berzina. 

"Pergi. Aku tidak ingin melihatmu lagi di rumah ini." 

Ayra terduduk lemas di lantai. Dia bahkan diusir. 

"Jangan bawa barang apapun. Kecuali satu pakaian untuk menutupi tubuhmu." 

"Ris ... jangan keterlaluan seperti itu." Marni menghampiri Ayra, merangkulnya. 

"Ibu mau kamu kembali dengan Ayra. Cepat ucapkan ingin rujuk. Ayra bisa menjadi istrimu lagi sekarang." 

"Tidak sudi."  

"Haris, demi Ibu kamu tidak mau?" 

"Cukup Ibu. Aku sudah bilang jangan mencampuri urusanku. Ayra sekarang dan seterusnya tetap mantan istriku!" tegasnya tidak mau diganggu gugat bahkan demi ibu pun tidak mau dia dengar. 

"Bergegaslah Ayra, tinggalkan rumah ini!" Haris ingin segera dia angkat kaki. 

"Mau tinggal di mana Ayra, Ris? Di kota ini dia tidak punya keluarga." 

"Dia bisa mencari tempat lain." 

"Biarkan Ayra tinggal di sini, setidaknya tunggulah sampai masa iddahnya selesai." 

"Tidak!" Haris tidak memberi keringanan sedikit pun meski ibu membujuk. Marni gagal meminta dia rujuk, sekarang pun masih gagal saat memintanya memberi belas kasih Ayra. 

Tisa tersenyum melihat keras kepala suaminya itu. Jatuhnya talak untuk Ayra baginya merupakan 'angin segar'. 

"Biarkan dia pergi dari sini, Bu!" Haris menarik tubuh ibunya menjauh dari Ayra. 

Air mata Ayra terjatuh tanpa bisa dibendung lagi. Bukan sedih karna berpisah dari Haris. Tetapi menyayangkan kenapa caranya harus sehina ini? 

Jika tahu akan bernasib seperti ini, dia akan menggugat cerai lebih dulu sejak dia memutuskan menikah lagi. Betapa bo-d0h sudah mau bertahan selama ini. Nyatanya dia sudah tidak berarti sama sekali. 

Dalam isak tangis Ayra mendongak pada Satria. Sejak tadi lelaki itu mematung ke arahnya dengan pandangan iba juga terkejut saat Haris menjatuhkan talak. Kemudian melengos tidak kuat menatap mata merahnya yang ia tahu ada kesedihan dan kemarahan ditunjukkan untuknya. 

"Kamu juga!" Haris menunjuknya. "Pergi dari rumah ini!" Ternyata Satria pun diusir.   

"Kalian berdua tidak boleh tinggal di rumah ini lagi. Rumah yang kubangun susah payah dengan usahaku sendiri. Kecuali Ibu." 

"Ris, dia adikmu. Jangan usir Satria." Lagi, Marni memohon putra sulung memberi belas kasih kali ini untuk adiknya. Tisa sebal mendengarnya. Tadi Ayra yang dia pertahankan, sekarang Satria. 

"Aku tidak peduli dia mau tinggal di mana. Konsekuensi yang harus dia tanggung atas perbuatan sendiri." Perempuan itu tersenyum lagi mendengar keteguhan suami. 

Ayra perlahan bangkit. Menghapus kasar pipi basah dan menghela napas panjang. Kemudian berbalik menatap Haris. "Baik. Aku pergi. Terimakasih sudah menafkahiku dengan baik selama ini. Terimakasih atas semuanya." Lelaki itu bungkam. 

***

Marni menangis memeluk Ayra yang telah rapi memakai hijab hendak meninggalkan rumah. Hanya membawa tas soren kecil di bahu. Mereka kemudian berlepas. Ayra mencoba tersenyum meski di tengah kenyataan pahit. 

"Maafin Ibu, Ra." 

"Ibu gak salah. Gak usah minta maaf." 

"Kemarikan ponsel kamu." Haris menadahkan tangan meminta ponselnya. "Ponsel yang aku belikan untukmu." 

"Ris, biar saja. Nanti Ayra kesulitan kalau tidak memegang ponsel."

"Kemarikan!" Haris tidak mendengarkan ibunya. Meminta benda itu cepat diserahkan. Ayra tidak ingin berdebat juga tidak ingin mengemis padanya yang kej-am. Mengeluarkan benda itu dari tas ditaruh begitu saja di telapak tangannya. 

"Kalau begitu ini buat kamu, Ayra." Marni tidak henti memberi perhatian, menyerahkan amplop berisi uang. Tetapi belum Ayra mengambil amplop itu direbut Haris. 

"Sudah aku bilang Ayra tidak boleh membawa apapun. Kenapa Ibu malah memberinya uang? Aku tidak sudi hasil keringatku dipakai perempuan pezina!" 

Ingin Ayra membantah tapi memilih bungkam. Percuma hanya membuang tenaga seperti sebelumnya. "Ayra pamit, Bu. Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam." Marni menangisi lagi kepergiannya. Melihat Ayra perlahan menjauhi halaman.  

"Satria juga pamit, Bu." Belum reda tangisnya Satria ke luar rumah pamit. Dia sama tidak membawa apapun. Selain pakaian yang melekat di badan. 

"Satria." Marni memeluk bungsunya itu berurai tangis lagi. "Kamu belum lama di sini, Nak, Ibu masih kangen." Mengecup keningnya. 

"Nggak apa-apa, Bu. Nanti Ibu bisa ketemu Satria lagi." 

"Biarkan dia pergi. Pergi ke tempat asalnya dulu. Jangan jadi benalu di sini!" Sinis Haris katakan. Satria hanya meliriknya sekilas dengan sedikit senyum menyebalkan menanggapi kesombongannya. Kemudian beranjak.

Menaiki motor besar menghidupkan mesin. Haris memperhatikannya. "Apa? Ini motor gue. Hasil kerja gue. Lo gak bisa ambil!" Satria pun berlalu setelah puas mengatakan itu. Haris mengepalkan tangan menahan geram. 

Marni bercucuran air mata kembali melihat putra bungsu pergi. "Satria ...," tidak jauh di belakang, Tisa tersenyum puas setelah melihat dua anggota di rumah ini pergi. 

Satria terus menyusuri jalan. Mengulum senyum tipis saat melihat Ayra tidak jauh di depannya. Tentu saja langkah kakinya kalah cepat dengan kendaraan roda dua. 

Semakin mendekat dan membawa pelan di sampingnya. Mengklakson hingga Ayra terperanjat dan menoleh. "Mau ke mana? Naik, aku antar." 

Alih-alih menjawab, Ayra membuang muka dan mendengus. Kemudian berjalan lebih cepat. Satria menggaruk rambut tak gatal, tentu saja Ayra marah setelah apa yang dikatakannya. Kemudian menyusul. 

"Jangan ikuti saya!" Ayra bicara ketus melarangnya. 

"Oke." Satria pun berhenti. Membiarkan dia berjalan lebih jauh sampai hilang dari pandangan. 

Di persimpangan, Ayra menanyakan kontrakan kosong. Ibu penjaga warung menunjukkan rumah pemilik deretan kontrakan di sampingnya. Ayra pun menghampiri. Mengucap salam dan menyampaikan maksud saat tuan rumah keluar. 

"Wah, sayang sekali. Kontrakan di sini semua terisi." 

Ayra yang lelah kecewa mendengarnya. "Ohh, gak ada yang kosong ya, Bu?" 

"Gak ada. Kontrakan di pinggir jalan kaya gini jarang yang kosong. Coba Mbak cari di belakang siapa tahu ada." 

"Iya, Bu. Terimakasih." Ayra pergi. Memasuki gang. Mencari tempat berteduh penting baginya dari pada nantinya numpang tidur di tempat ibadah. Dia akan bekerja apa saja untuk membayar sewa dan memenuhi bekal sehari-hari. 

Satria diam-diam mengikuti dan menyimak. Lelaki itu menghubungi seseorang, tidak lama tersambung. 

"Sat, ada apa tumben nelpon gue?" 

"Bro, tempat tinggal lo deket warung depan gang yang banyak kontrakan itu kan?" Satria melihat ke sekitar, tempat yang sebenarnya tidak asing. 

"Iya, Bro, kenapa, mau mampir lo?" 

"Gue mau nanya, di sini ada kos-kosan atau kontrakan kosong gak?" 

"Mustahil lo mau tinggal di kontrakan sempit."

"Bukan buat gue."

"Buat siapa?"

"Buat cewek."

"Cewek siapa?"

"Infoin kalau ada. Secepatnya." 

"Gue tanya buat cewek siapa. Cewek lo bukan? Kalau iya gue mau bantu cariin." 

"Iya. Iya. Buat cewek gue. Puas?"

"Hahaha. Oke. Oke." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status