Share

BAB 4

Author: Tika Pena
last update Last Updated: 2023-11-22 12:34:28

"Eh, eh, mau dibawa ke mana makanannya?" 

Langkah Ayra terhenti di hadapan Bu Dita. Bingung mesti menjawab apa. Tadinya dia mau memberikan ke orang lain makanan yang tidak jelas pemberian siapa. Meski lapar meski membutuhkan, Ayra tidak mau sembarangan memakan. 

"Bu Dita tau tidak siapa yang gantungin kantong makanan ini di depan pintu kontrakan saya?" 

"Dari hamba Allah." 

"Hamba Allah?" 

"Iya. Saya juga dikasih. Nih." Bu Dita menunjukkan kantong yang sama di sampingnya memindahkan di meja. "Gak tau siapa. Orangnya langsung pergi." 

Siapa? Ayra semakin penasaran. 

"Makan aja, gak usah ragu. Saya juga mau dimakan nih. Orang sedekah, jangan nolak rejeki." 

Ayra mematung melihatnya membuka bingkisan itu dan melahap makanan tersebut. "Ketopraknya enak banget. Eh, ada bakwan juga." Mulutnya sibuk mengunyah. 

"Udah, kamu jangan bengong. Makan nanti keburu dingin." 

"Ah, iya." Ayra pun memilih berputar arah masuk dalam kontrakan kembali. 

Duduk membuka bingkisan tersebut di lantai. Menepis keraguan karna bukan hanya dia yang diberi. Membuka tutup botol air mineral meneguk sedikit lalu menyantap ketoprak. Rasa lapar membuatnya memakan lahap.

Entah siapa yang memberi Ayra sangat berterimakasih. Perutnya kini kenyang dengan sebungkus ketoprak dan tiga bakwan. Sisa roti untuk nanti. Lumayan tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli sarapan. 

***

Menjelang siang Ayra kembali mengembara di jalan. Melangkah tak tentu arah. Mencari pekerjaan. Hanya itu yang dipikirkan. Sudah bertanya-tanya ke tetangga sampai di tepi jalan seperti ini pun belum menemukan lowongan pekerjaan. 

Jaga toko, jadi pembantu, jadi pengasuh, apa saja dia mau jika ada. Jika melamar di perusahaan atau pabrik, untuk saat ini tidak bisa. Kartu identitas diri dan ijazah ditahan Haris. 

Mungkin nanti dia akan mengambil paksa karna itu miliknya. Sekaligus mengurus akta cerai. Saat ini status cerainya baru secara agama. Akan dia bereskan. Sampai menyandang status janda secara resmi. 

Dirinya jadi janda? Menyedihkan. Tapi inilah garis tangan yang mesti dia terima. Ayra berharap hidupnya setelah ini bisa lebih bahagia. Lebih tenang tanpa kasih yang terbagi. 

Peluh di dahi dia usap. Ayra memutuskan berhenti berjalan duduk di bawah trotoar. Memperhatikan kendaraan berlalu lalang. 

"Sesusah apapun kamu sekarang, jangan sampai jadi gelandangan, Mbak." Ayra mendongak lantas berdiri. Melihat Tisa melongok dari kaca jendela mobil yang baru berhenti di hadapannya. 

"Saya bukan gelandangan!" 

"Mbak pasti butuh uang kan? Ini, Mbak, terima." Tisa mengeluarkan uang lima puluh ribu. 

"Setelah ini jangan jadi pengemis, ya, Mbak." 

"Jangan sembarangan kamu ngomong. Saya tidak perlu belas kasihmu!"

"Jangan gengsi. Terima saja." Tisa melemparkan uang itu ke hadapannya, Ayra melolot tidak senang. 

"Tidak punya etika! Di mana Mas Haris? Didik istrimu ini!" 

"Pak Sopir, jalan lagi, ya." Tisa abai dengan kemarahan mantan kakak madunya itu. Dengan santai menyuruh supir membawa mobil. Dia pun berlalu. 

"Astagfirullah." Ayra mengusap dada menyingkirkan sesak. Sangat menyebalkan orang itu. Bahkan setelah pisah pun. 

Sesusah apapun dia, tidak sudi jika harus memakai uangnya. Apalagi diberi secara tidak hormat dan tak seberapa jumlahnya. Uang itu dibiarkan, Ayra melangkah perlahan. 

"Neng, ini uangnya?" Ayra menoleh, seorang pemulung perempuan tua dengan karung dekil di tangannya memegang uang itu. 

"Ambil saja buat Ibu." 

"Boleh, Neng?"

"Tidak apa-apa, ambil saja." Ayra menjawabnya seraya tersenyum. Lebih baik uang itu disedekahkan. 

"Terimakasih, Neng. Terimakasih." Si ibu sangat senang dengan matanya yang berkaca-kaca. Ayra terenyuh. Orang itu lebih membutuhkan. 

"Ya Allah, ke mana lagi aku harus mencari pekerjaan? Kalau bisa dekat tempat tinggal sekarang. Sebelum nanti bekalku habis." Ayra bermonolog saat kembali ke kontrakan. Duduk di pembatas depan dan memperhatikan sekitar. Setelah dapat kerjaan nanti dia ingin mencicil membeli perabotan. Terutama peralatan memasak dan tempat tidur. 

Menyesal selama ini hanya berpangku tangan pada Haris, terlena dengan pemberiannya. Juga terlalu penurut. Haris melarang bekerja selama menjadi istrinya. Namun, seiring berjalannya waktu semua berubah. Takdir membawa lelaki itu menjauh. Baru ia sadari betapa pentingnya perempuan mandiri. Andainya dia mempunyai penghasilan sendiri, pasti tidak akan sesulit ini. 

Ayra menghela napas panjang nenyingkirkan sesak. Benar-benar dia telat melangkah. 

.

Hari tak terasa sudah malam. Saat lapar terpaksa Ayra membeli makanan lagi di warung berikut air minum. Menikmati sendirian dalam hening. Lalu tidur dengan tidak nyaman. Bukan di tempat empuk seperti biasanya. 

Ditemani asap obat nyamuk bakar yang baunya membuat engap dada. Tetapi Ayra mencoba menikmatinya demi mengusir serangga penghisap darah itu. Tidur pun bisa nyenyak walau dalam keadaan memprihatinkan. 

Dan ketika pagi tiba, kantong makanan itu ada lagi di pintu. Terheran Ayra mengambilnya. Melihat isi. Kali ini terdapat nasi uduk, gorengan, roti bakar. Juga sebotol sedang air mineral. 

Ayra melihat pada teras rumah Bu Dita, dia sedang menyantap makanan dengan wadah yang sama. 

"Makan, Ayra!" ujarnya. 

Ayra yang ragu jadi tersenyum karna Bu Dita pun sama diberi lagi. "Iya, Bu." Lalu masuk dalam kontrakan untuk menyantap sarapan yang diberikan hamba Allah itu. 

Selesai makan, selesai membersihkan kontrakan juga beres menjemur baju, Ayra pergi lagi mencari pekerjaan. Pada siapapun dia bertanya, ingin mendapat pekerjaan secepatnya. 

Namun, sampai sore nihil tiada hasil. Ayra termenung terdiam lagi dalam kontrakan. Memikirkan bekal yang menipis karna terus dibelikan makanan. 

Besoknya masih seperti itu, juga besoknya lagi. Ayra belum menemukan pekerjaan. Perempuan itu dilanda pusing. Uangnya semakin sedikit. 

Tetapi setiap pagi selalu menjumpai makanan di depan pintu dengan menu berbeda-beda. Ayra sangat bersyukur di tengah kesulitan ada orang baik mau berbagi. Sangat membantu meringankan biaya pengeluaran. 

Membeli makanan dibatasi hanya sekali saat sore atau malam hari. Itu pun hanya dengan lauk saja atau sayur saja supaya murah, terkadang hanya dengan kuahnya saja. 

Sampai seminggu kemudian keadaannya masih seperti itu. Belum mendapat pekerjaan dan semakin menghemat. 

Sehabis solat subuh Ayra sengaja tidak tidur ingin tahu siapa orang yang memberikan makanan. Ingin melihat dan mengucapkan terimakasih sudah bersedekah padanya. Ayra penasaran karna ibu pemilik kontrakan pun tidak tahu saat ditanya. 

Sengaja wirid berlama-lama. Melafazkan kalamullah menghitung dengan jari-jari tangan karna tidak ada tasbih. Juga solawat-solawat dia lantunkan. 

Ketika terdengar suara derap langkah kaki di luar Ayra cepat-cepat beranjak, membuka pintu dan terkejut melihatnya. 

"Ka-kamu!" 

Dia sama terkejut dipergokinya. "Ha-Hai ... Ayra." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 87

    "Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU    BAB 86

    Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 85

    Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 84

    Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 83

    "Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 82

    Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status