Share

BAB 4

"Eh, eh, mau dibawa ke mana makanannya?" 

Langkah Ayra terhenti di hadapan Bu Dita. Bingung mesti menjawab apa. Tadinya dia mau memberikan ke orang lain makanan yang tidak jelas pemberian siapa. Meski lapar meski membutuhkan, Ayra tidak mau sembarangan memakan. 

"Bu Dita tau tidak siapa yang gantungin kantong makanan ini di depan pintu kontrakan saya?" 

"Dari hamba Allah." 

"Hamba Allah?" 

"Iya. Saya juga dikasih. Nih." Bu Dita menunjukkan kantong yang sama di sampingnya memindahkan di meja. "Gak tau siapa. Orangnya langsung pergi." 

Siapa? Ayra semakin penasaran. 

"Makan aja, gak usah ragu. Saya juga mau dimakan nih. Orang sedekah, jangan nolak rejeki." 

Ayra mematung melihatnya membuka bingkisan itu dan melahap makanan tersebut. "Ketopraknya enak banget. Eh, ada bakwan juga." Mulutnya sibuk mengunyah. 

"Udah, kamu jangan bengong. Makan nanti keburu dingin." 

"Ah, iya." Ayra pun memilih berputar arah masuk dalam kontrakan kembali. 

Duduk membuka bingkisan tersebut di lantai. Menepis keraguan karna bukan hanya dia yang diberi. Membuka tutup botol air mineral meneguk sedikit lalu menyantap ketoprak. Rasa lapar membuatnya memakan lahap.

Entah siapa yang memberi Ayra sangat berterimakasih. Perutnya kini kenyang dengan sebungkus ketoprak dan tiga bakwan. Sisa roti untuk nanti. Lumayan tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli sarapan. 

***

Menjelang siang Ayra kembali mengembara di jalan. Melangkah tak tentu arah. Mencari pekerjaan. Hanya itu yang dipikirkan. Sudah bertanya-tanya ke tetangga sampai di tepi jalan seperti ini pun belum menemukan lowongan pekerjaan. 

Jaga toko, jadi pembantu, jadi pengasuh, apa saja dia mau jika ada. Jika melamar di perusahaan atau pabrik, untuk saat ini tidak bisa. Kartu identitas diri dan ijazah ditahan Haris. 

Mungkin nanti dia akan mengambil paksa karna itu miliknya. Sekaligus mengurus akta cerai. Saat ini status cerainya baru secara agama. Akan dia bereskan. Sampai menyandang status janda secara resmi. 

Dirinya jadi janda? Menyedihkan. Tapi inilah garis tangan yang mesti dia terima. Ayra berharap hidupnya setelah ini bisa lebih bahagia. Lebih tenang tanpa kasih yang terbagi. 

Peluh di dahi dia usap. Ayra memutuskan berhenti berjalan duduk di bawah trotoar. Memperhatikan kendaraan berlalu lalang. 

"Sesusah apapun kamu sekarang, jangan sampai jadi gelandangan, Mbak." Ayra mendongak lantas berdiri. Melihat Tisa melongok dari kaca jendela mobil yang baru berhenti di hadapannya. 

"Saya bukan gelandangan!" 

"Mbak pasti butuh uang kan? Ini, Mbak, terima." Tisa mengeluarkan uang lima puluh ribu. 

"Setelah ini jangan jadi pengemis, ya, Mbak." 

"Jangan sembarangan kamu ngomong. Saya tidak perlu belas kasihmu!"

"Jangan gengsi. Terima saja." Tisa melemparkan uang itu ke hadapannya, Ayra melolot tidak senang. 

"Tidak punya etika! Di mana Mas Haris? Didik istrimu ini!" 

"Pak Sopir, jalan lagi, ya." Tisa abai dengan kemarahan mantan kakak madunya itu. Dengan santai menyuruh supir membawa mobil. Dia pun berlalu. 

"Astagfirullah." Ayra mengusap dada menyingkirkan sesak. Sangat menyebalkan orang itu. Bahkan setelah pisah pun. 

Sesusah apapun dia, tidak sudi jika harus memakai uangnya. Apalagi diberi secara tidak hormat dan tak seberapa jumlahnya. Uang itu dibiarkan, Ayra melangkah perlahan. 

"Neng, ini uangnya?" Ayra menoleh, seorang pemulung perempuan tua dengan karung dekil di tangannya memegang uang itu. 

"Ambil saja buat Ibu." 

"Boleh, Neng?"

"Tidak apa-apa, ambil saja." Ayra menjawabnya seraya tersenyum. Lebih baik uang itu disedekahkan. 

"Terimakasih, Neng. Terimakasih." Si ibu sangat senang dengan matanya yang berkaca-kaca. Ayra terenyuh. Orang itu lebih membutuhkan. 

"Ya Allah, ke mana lagi aku harus mencari pekerjaan? Kalau bisa dekat tempat tinggal sekarang. Sebelum nanti bekalku habis." Ayra bermonolog saat kembali ke kontrakan. Duduk di pembatas depan dan memperhatikan sekitar. Setelah dapat kerjaan nanti dia ingin mencicil membeli perabotan. Terutama peralatan memasak dan tempat tidur. 

Menyesal selama ini hanya berpangku tangan pada Haris, terlena dengan pemberiannya. Juga terlalu penurut. Haris melarang bekerja selama menjadi istrinya. Namun, seiring berjalannya waktu semua berubah. Takdir membawa lelaki itu menjauh. Baru ia sadari betapa pentingnya perempuan mandiri. Andainya dia mempunyai penghasilan sendiri, pasti tidak akan sesulit ini. 

Ayra menghela napas panjang nenyingkirkan sesak. Benar-benar dia telat melangkah. 

.

Hari tak terasa sudah malam. Saat lapar terpaksa Ayra membeli makanan lagi di warung berikut air minum. Menikmati sendirian dalam hening. Lalu tidur dengan tidak nyaman. Bukan di tempat empuk seperti biasanya. 

Ditemani asap obat nyamuk bakar yang baunya membuat engap dada. Tetapi Ayra mencoba menikmatinya demi mengusir serangga penghisap darah itu. Tidur pun bisa nyenyak walau dalam keadaan memprihatinkan. 

Dan ketika pagi tiba, kantong makanan itu ada lagi di pintu. Terheran Ayra mengambilnya. Melihat isi. Kali ini terdapat nasi uduk, gorengan, roti bakar. Juga sebotol sedang air mineral. 

Ayra melihat pada teras rumah Bu Dita, dia sedang menyantap makanan dengan wadah yang sama. 

"Makan, Ayra!" ujarnya. 

Ayra yang ragu jadi tersenyum karna Bu Dita pun sama diberi lagi. "Iya, Bu." Lalu masuk dalam kontrakan untuk menyantap sarapan yang diberikan hamba Allah itu. 

Selesai makan, selesai membersihkan kontrakan juga beres menjemur baju, Ayra pergi lagi mencari pekerjaan. Pada siapapun dia bertanya, ingin mendapat pekerjaan secepatnya. 

Namun, sampai sore nihil tiada hasil. Ayra termenung terdiam lagi dalam kontrakan. Memikirkan bekal yang menipis karna terus dibelikan makanan. 

Besoknya masih seperti itu, juga besoknya lagi. Ayra belum menemukan pekerjaan. Perempuan itu dilanda pusing. Uangnya semakin sedikit. 

Tetapi setiap pagi selalu menjumpai makanan di depan pintu dengan menu berbeda-beda. Ayra sangat bersyukur di tengah kesulitan ada orang baik mau berbagi. Sangat membantu meringankan biaya pengeluaran. 

Membeli makanan dibatasi hanya sekali saat sore atau malam hari. Itu pun hanya dengan lauk saja atau sayur saja supaya murah, terkadang hanya dengan kuahnya saja. 

Sampai seminggu kemudian keadaannya masih seperti itu. Belum mendapat pekerjaan dan semakin menghemat. 

Sehabis solat subuh Ayra sengaja tidak tidur ingin tahu siapa orang yang memberikan makanan. Ingin melihat dan mengucapkan terimakasih sudah bersedekah padanya. Ayra penasaran karna ibu pemilik kontrakan pun tidak tahu saat ditanya. 

Sengaja wirid berlama-lama. Melafazkan kalamullah menghitung dengan jari-jari tangan karna tidak ada tasbih. Juga solawat-solawat dia lantunkan. 

Ketika terdengar suara derap langkah kaki di luar Ayra cepat-cepat beranjak, membuka pintu dan terkejut melihatnya. 

"Ka-kamu!" 

Dia sama terkejut dipergokinya. "Ha-Hai ... Ayra." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status