Enzo memasuki rumahnya seperti badai, matanya merah padam, dan napasnya memburu. "LIVY!! DI MANA KAMU!?" Suara Firman menggelegar di seluruh penjuru rumah, memecah keheningan sore itu dengan amarah membara. Wajahnya merah padam, urat lehernya menegang, dan matanya memancarkan api kemarahan. Di belakangnya, Vivi, istri mudanya, berjalan tergesa-gesa dengan senyum tipis penuh kepuasan. "Mas, sabar, Mas… Jangan marah-marah begini." Suaranya terdengar begitu lembut, namun ada nada licik di baliknya. "Nanti tetangga dengar, Mas. Aku tidak mau kita jadi bahan pembicaraan.""Aku tidak peduli apa kata tetangga!" Enzo membentak tanpa menoleh. "Yang aku pedulikan adalah kamu tidak sabar seperti yang aku rasakan sekarang. Aku harus menemukan perempuan itu dan memberinya pelajaran!""LIVY!!" teriak Enzo lagi.Livy, yang sedang bersantai di kamarnya, segera bangkit. "Ada apa, Mas? Kenapa kamu teriak-teriak gitu? Apa ada masalah?" tanyanya sambil berdiri di hadapan Enzo. Wajahnya dipenuhi kebingu
Tok! Tok! Tok!Palu hakim diketuk tiga kali, mengakhiri pernikahan Amora dan Enzo. Enzo, dengan angkuh, menjatuhkan talaknya lagi. Aiden, yang duduk di belakang, menyaksikan semua itu tanpa disadari Enzo. Namun, perpisahan ini bukan akhir, karena Enzo kembali bersuara, ingin menunjukkan dominasinya. "Maaf, Yang Mulia! Sidang belum bisa dianggap selesai. Seharusnya, kita juga harus membahas soal harta gono-gini."Amora menatap lelah mantan suaminya. Ia muak dengan drama Enzo yang tak berkesudahan, yang kini menuntut harta gono-gini. Livy, iparnya, ikut campur dengan berteriak penuh tuduhan, menunjuk Amora dengan jari telunjuknya."Betul, Yang Mulia! Amora sudah mengambil banyak uang dari suami saya selama ini. Uang-uang itu bahkan sudah dia belikan mobil dan rumah mewah. Kami ingin semuanya dibagi dua!"Amora memutar matanya, merasa muak namun memilih untuk tenang menghadapi Livy yang iri dan penuh tuduhan. Ia yakin kebenaran akan terungkap. Setelah sidang ditutup, saat Amora hendak p
Ruang sidang pengadilan terasa menyesakkan karena ketegangan yang menggantung pekat. Di antara deretan bangku kayu yang usang dan kerumunan orang yang berlalu-lalang, berdirilah sekelompok manusia yang menjadi pusat perhatian. Suara Bu Ratna, ibu mertua Amora yang kini nyaris menjadi mantan, memecah kesunyian dengan nada yang melengking dan penuh amarah."Hei, kamu! Dasar perempuan gatal, ya! Tidak tahu malu! Bisa-bisanya kamu masih berani menggoda anak saya, bahkan di tempat suci seperti ini?" Bu Ratna menuding Amora dengan tangan gemetar, wajahnya merah padam karena amarah yang memuncak. Sejak tadi, Bu Ratna terus menyudutkan Amora dengan kata-kata kasar. Amora terkejut dan matanya melebar, tak percaya dengan tuduhan tak masuk akal itu. Setelah bertahun-tahun menahan diri, kesabarannya habis. Sebuah senyum sinis dan muak tersungging di bibirnya."Saya? Menggoda anak Ibu?" Amora memekik, suaranya naik satu oktaf, namun tetap terdengar tenang dan terkontrol. "Apa mata Ibu sudah buta?
Suara gemericik air dari akuarium besar di hadapan mereka menjadi satu-satunya melodi di tengah keheningan yang canggung. Jericho, seorang pria dengan aura wibawa yang tak terbantahkan, memecah keheningan itu. "Bagaimana grand opening tokomu hari ini" tanya Amora, suaranya tenang, namun di matanya tersirat rasa ingin tahu yang dalam. Jericho menoleh sejenak, menatap Amora yang duduk di seberangnya, sebelum kembali fokus pada dunia bawah air yang damai itu."Sukses," jawab Jericho singkat, namun senyumnya yang merekah jauh lebih ekspresif daripada kata-kata. "Semua berjalan sesuai dengan yang saya mau." Ada kilatan bangga di matanya, sebuah cahaya yang sudah lama meredup selama masa-masa sulitnya. Ia tidak lagi merasa seperti korban, melainkan seorang pemenang."Terima kasih," ucap Amora dengan menatap Jericho dengan tulus. "Terima kasih karena sudah membantu saya. Anda memang hebat."Jericho, yang biasanya menjaga sikap dingin dan profesional, tampak sedikit terusik. Bibirnya menceb
Hembusan angin sore tak mampu menyejukkan hati Enzo. Ia berdiri di depan kantor mewah, menatap kosong ke pintu putar. Besok, palu pengadilan akan meresmikan perpisahannya dengan Amora. Ikrar talak tiga yang dulu diucapkannya mudah, kini terasa seperti bom waktu yang menghancurkan hidupnya. Enzo menyesali keputusannya yang bodoh. Ia tahu ia harus kembali, menghentikan perpisahan ini. Enzo melangkah masuk, menelan ludahnya. Ia merasa semua mata tertuju padanya, seorang pria yang jatuh, memohon-mohon pada istrinya."Amora!" Suara Enzo yang serak memecah keheningan lobi, menarik perhatian para karyawan. Ia berjalan mendekati meja Amora. Amora mendongak, hatinya mencelos melihat Enzo di depannya. Dengan wajah kusut dan mata memohon, pria itu kembali lagi. Amora menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya, dan berpura-pura tidak mengenalinya."Kamu lagi, Mas?" Amora menaruh dokumennya dengan suara keras. "Apa nggak bosan datang ke sini terus? Ini kantor, Mas, bukan tempat kamu bikin dr
Pintu rumah Enzo berderit dan bergetar hebat di bawah gedoran yang tak kenal lelah. Suara gedoran itu memecah keheningan pagi yang tadinya damai, menciptakan nada alarm yang mencekam. Di dalam, suasana tegang menyelimuti ruang tamu yang sederhana. "Mas, siapa mereka? Kenapa mereka berteriak-teriak di depan rumah kita?" tanya Livy, suaranya dipenuhi kecemasan saat ia menarik-narik lengan kemeja Enzo. Wajahnya pucat pasi, matanya membesar karena ketakutan. Enzo sendiri, yang biasanya tegar, terlihat gelisah. Enzo menutupi mulut Livy dengan tangan kirinya, berbisik pelan, "Sstt! Diam, Livy!" Ia mencoba menenangkan istrinya, tetapi napasnya sendiri memburu, menunjukkan betapa cemasnya ia."Mereka siapa, Zo? Bukan rentenir, kan?" Dengan suara bergetar, Bu Ratna bertanya pada Enzo. Belum sempat Enzo menjawab, pintu rumah mereka didobrak paksa hingga terbuka.Brak! Suara yang memekakkan telinga membuat semua orang terlonjak kaget. Di balik pintu, beberapa pria berbadan besar, anak buah da