Home / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / BAB 4 : Berkemas untuk pergi ke ‘Neraka’

Share

BAB 4 : Berkemas untuk pergi ke ‘Neraka’

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-06-25 21:32:58

Malam itu, Alina kembali ke kamarnya dengan langkah yang lunglai. Pikirannya masih berdengung oleh tiga kata dari Kakek Bramantyo: Nikmati bulan madumu.

Menikmati?

Bagaimana ia bisa menikmati liburan paksa dengan musuh bebuyutannya? Pria yang bahkan tidak bisa ia ajak bicara tanpa ada perdebatan dingin.

Saat ia membuka pintu kamarnya, ia terpaku.

Di atas tempat tidurnya yang besar, tergeletak sebuah koper mewah berwarna perak yang sudah terbuka.

Isinya... membuat Alina menahan napas.

Tertata rapi di dalamnya berbagai macam pakaian liburan: beberapa set bikini dengan warna-warna cerah, gaun-gaun musim panas yang ringan, dan beberapa pasang sandal desainer.

Ini bukan barang-barangnya.

"Permisi, Nyonya."

Bi Sumi tiba-tiba muncul di ambang pintu, senyumnya sopan seperti biasa. "Itu semua sudah disiapkan atas perintah Bapak Revan. Semua pakaian dan perlengkapan untuk bulan madu Nyonya."

Alina menatap isi koper itu dengan nanar. Bikini? Gaun malam yang tipis? Pria itu benar-benar sudah merencanakan segalanya, bahkan pakaian apa yang harus ia kenakan di "bulan madu" palsu mereka.

Rasa marah yang baru saja mereda kini kembali menyala. Ini bukan lagi soal citra. Ini adalah pelanggaran privasi.

"Terima kasih, Bi," kata Alina, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Tapi saya akan berkemas sendiri."

Alina berjalan menuju lemarinya, mengeluarkan koper kosong miliknya, lalu mulai memilih pakaiannya sendiri: kaus katun yang nyaman, celana panjang linen, dan satu-satunya baju renang model anime one-piece miliknya yang berwarna gelap.

Saat itulah, pintu kamarnya kembali terbuka tanpa ketukan. Revan berdiri di sana, menatap pemandangan di hadapannya dengan satu alis terangkat.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Revan, matanya melirik koper kosong Alina, lalu kembali ke tumpukan pakaian sederhana di atas tempat tidur.

"Berkemas," jawab Alina singkat, tanpa menoleh.

"Astaga.. Sudah kusiapkan semua yang kau butuhkan," kata Revan, nadanya datar namun mengandung perintah. "Pakai yang itu."

Alina berhenti, lalu berbalik menatap Revan. "Aku tidak akan memakai pakaian-pakaian itu."

"Kenapa tidak?"

"Karena semua ini bukan aku," sahut Alina tegas, menunjuk ke arah bikini dan gaun tipis itu. "Ini adalah karakter yang kau ciptakan, bukan identitasku. Aku tidak akan memakai topeng bahkan saat sedang berlibur sekalipun."

Revan menatapnya sejenak, ekspresinya dingin.

"Ini bukan soal fantasiku, Alina. Ini soal citra. Kakek mungkin saja akan mengirim seseorang untuk 'memata-matai' kita. Foto-foto atau video bisa saja bocor. Kau harus terlihat seperti istri seorang Adhitama yang sedang berlibur, bukan seperti mahasiswi yang sedang studi banding atau karyawisata."

Lagi-lagi citra, batin Alina muak.

"Aku akan tetap membawa pakaianku sendiri," kata Alina keras kepala. Ia mengambil beberapa buku dari nakasnya, termasuk buku sketsa kesayangannya, dan memasukkannya ke dalam koper.

Mata Revan tertuju pada buku sketsa itu. Untuk sepersekian detik, Alina melihat sesuatu yang berbeda di tatapan pria itu. Bukan lagi tatapan dingin seorang CEO, melainkan... sesuatu yang lain. 

Sebuah kilasan singkat yang mengingatkannya pada sorot mata Revan di panggung kompetisi desain bertahun-tahun lalu. Sebelum ekspresi dingin itu kembali terpasang seperti topeng baja.

"Buku gambar?" tanya Revan, nadanya terdengar sedikit mengejek. "Kau pikir ini acara menggambar di taman kanak-kanak?"

"Ini pekerjaanku," balas Alina sengit. "Dan aku akan tetap bekerja meskipun kau menyeretku ke pulau terpencil sekalipun."

Keheningan menyelimuti mereka.

Mereka kembali berada dalam pertarungan kehendak, sebuah perang dingin di dalam kamar tidur yang seharusnya menjadi tempat paling privat.

Revan menatap Alina lama, seolah sedang melakukan kalkulasi ulang. Ia melihat keteguhan di mata Alina, perlawanan yang sama seperti saat mereka berdebat soal pewaris.

Akhirnya, pria itu menghela napas panjang, sebuah gestur yang menunjukkan kekesalan.

"Baiklah," katanya dengan nada final. "Bawa pakaian konyolmu itu jika kau mau. Bawa buku gambarmu. Lakukan apa pun yang kau suka."

Alina sedikit terkejut. Ia menang?

"Tapi," lanjut Revan, suaranya kini lebih rendah dan berbahaya, melangkah maju hingga hanya berjarak satu langkah dari Alina. 

"Kebebasanmu hanya berlaku saat tidak ada yang melihat. Saat aku memintamu mengenakan gaun tertentu untuk makan malam, kau akan mengenakannya. Saat aku ingin kita terlihat seperti pasangan, kau akan memainkan peranmu tanpa cela. Anggap saja pakaianmu itu kostum untuk waktu senggang, tapi saat pertunjukan utama, kau akan memakai kostum yang sudah kusiapkan. Apa aku sudah jelas?"

Alina menelan ludah. Ini adalah kompromi versi Revan Adhitama. Ia memberikan sedikit kebebasan, tapi tetap memegang kendali akhir.

"Sangat jelas," jawab Alina pelan.

"Bagus," kata Revan singkat. Ia melirik koper mewah yang masih terbuka di atas tempat tidur. "Setidaknya, pakai koper itu. Jangan membuatku terlihat seperti suami yang tidak bisa membelikan istrinya koper yang layak."

Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan meninggalkan kamar Alina, menutup pintu di belakangnya.

Alina terduduk di tepi tempat tidur, napasnya terasa sedikit sesak. Pertarungan kecil ini menguras energinya. Ia menatap buku sketsanya—simbol kemandiriannya—lalu menatap koper mewah di hadapannya—simbol kekuasaan Revan.

Ia memenangkan pertempuran soal isi, tapi kalah dalam urusan wadah.

Perjalanan ke neraka pribadinya akan segera dimulai. Dan ia bahkan tidak bisa memilih sendiri tas yang akan ia bawa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 33 : Membentengi Kerajaan Kecilmu

    "Kau mencoba membeli loyalitas tim-ku. Itu tidak ada dalam kesepakatan kita, Revan."Tuduhan itu menggantung di udara, tajam dan penuh amarah.Alina berdiri di depan meja kerja Revan, napasnya sedikit memburu. Ia sudah siap untuk perang. Siap untuk semua argumen dingin dan logika bisnis yang akan dilemparkan Revan untuk membela tindakannya.Tapi Revan tidak melakukan itu.Pria itu hanya bersandar di kursinya, menatap Alina dengan tenang. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat terkejut. Ia hanya menatap, seolah sedang menunggu badai di dalam diri Alina sedikit mereda.Keheningannya justru terasa lebih mengintimidasi daripada teriakan.Setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, Revan akhirnya berbicara. Suaranya tenang, nyaris tanpa emosi."Kau pikir ini tentang loyalitas tim-mu?"Alina mengerutkan kening. "Lalu tentang apa lagi? Kau mencoba mengikat mereka dengan kontrak Adhitama, dengan gaji dan tunja

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 32 : Aturan Main di Lantai 35

    Saat setelah pintu lift tertutup dan membawa Andra beserta timnya pergi, hanya suara dengung pelan dari server baru yang mengisi keheningan di antara Alina dan Deni.Ruang kantor yang tadinya terasa seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata, kini terasa seperti sebuah panggung pertunjukan yang megah, di mana semua propertinya bukan lagi milik Alina.Deni masih berdiri dengan mata berbinar, menatap takjub pada laptop-laptop baru yang masih terbungkus plastik."Gila, Bu," katanya, suaranya penuh kekaguman. "Ini sih spek dewa! Render 3D paling berat juga bakal lewat ini, Bu! Kita nggak perlu lagi nunggu semalaman cuma buat satu gambar."Euforia. Kegembiraan.Itulah yang Deni rasakan.Tapi Alina, merasakan hal yang sebaliknya.Ia merasakan hawa dingin yang merayap di tulang punggungnya. Setiap laptop baru, setiap server yang berdengung pelan, terasa seperti mata-mata yang ditanam Revan di jantung perusahaannya.Ia menatap Deni, lalu membayangkan wajah Sinta. Tim kecilnya. Satu-satunya harta

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 31 : Sangkar Emas Jilid 2?

    Perasaan campur aduk itu, antara euforia dan rasa tercekik, terus menemani Alina sepanjang sisa hari itu.Ia kembali ke ruko tua Cipta Ruang Estetika sore itu seperti seorang astronot yang baru kembali ke bumi. Langit-langit yang rendah, dinding yang sedikit terkelupas, dan aroma kertas yang khas kini terasa begitu... sesak. Begitu kecil.Padahal, baru kemarin pagi, tempat ini adalah seluruh dunianya.Ia menatap Deni dan Sinta, dua karyawannya yang paling setia, yang sedang sibuk di depan komputer mereka masing-masing.Bagaimana cara memberitahu mereka? "Hei, kita dapat durian runtuh, kita akan pindah ke gedung pencakar langit besok"? Terdengar seperti lelucon.Malamnya, di rumah Revan, Alina tidak bisa tidur. Ia mondar-mandir di kamarnya, menyusun kata-kata di kepalanya. Ia har

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 30 : Markas Baru Aliansi

    Pagi pertama setelah kembali ke Jakarta terasa sangat aneh.Alina terbangun di kamarnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa seperti seorang penyusup. Ia merasa... seperti penghuni. Kesadaran bahwa Revan tidur di kamar tamu, bukan di sofa, entah kenapa memberikan sebuah rasa aman yang tidak bisa ia jelaskan.Saat ia turun ke ruang makan, Revan sudah ada di sana.Pria itu duduk di meja makan, bukan dengan tablet atau laporan bisnis, tapi dengan secangkir kopi hitam dan koran pagi yang terlipat rapi. Sebuah pemandangan yang anehnya terlihat sangat domestik.Bi Sumi sedang menata sarapan di atas meja. Kali ini, ada Lontong Sayur dengan aroma santan dan rempah yang menggugah selera. Wanita paruh baya itu melirik interaksi canggung antara tuan dan nyonya barunya dengan senyum tipis yang tersembunyi."Pagi," sapa Alina pelan, sambil menarik kursi."Pagi," balas Revan, matanya masih tertuju pada koran. "Tidurmu nyenyak?"Pertanyaan basa-basi itu terasa begitu tidak biasa keluar dari

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 29 : Aturan Main yang Baru

    Perjalanan dari rumah Kakek kembali ke kediaman Revan terasa begitu sunyi.Tapi ini bukan lagi keheningan yang menusuk seperti di awal pernikahan mereka. Ini adalah keheningan yang berisi. Penuh dengan kata-kata yang tak terucap, penuh dengan pemahaman baru yang masih terasa asing.Pujian Revan di dalam mobil tadi masih terngiang di telinga Alina.Itu... langkah yang bagus.Sebuah pengakuan. Dari seorang partner.Pikiran itu membuat sudut bibir Alina sedikit terangkat tanpa ia sadari.Saat mobil hitam itu akhirnya memasuki gerbang rumah Revan yang menjulang, Alina merasakan sedikit debaran di dadanya. Aneh. Dulu, ia selalu merasa seperti memasuki sebuah penjara yang megah. Sekarang... rasanya lebih seperti pulang ke sebuah markas. Markas aliansi mereka yang aneh.Bi Sumi sudah menunggu di ambang pintu, dengan senyumnya yang tulus."Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya," sapanya. Matanya yang jeli itu langsung menyapu penampilan mereka berdua."Terima kasih, Bi," jawab Alina.Revan ha

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 28 : Laporan kepada atasan

    Tadaa!! Akhirnya telah tiba!Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu.Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan.Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya.Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang.Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta.Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali.Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status