Malam itu, Alina kembali ke kamarnya dengan langkah yang lunglai. Pikirannya masih berdengung oleh tiga kata dari Kakek Bramantyo: Nikmati bulan madumu.
Menikmati?
Bagaimana ia bisa menikmati liburan paksa dengan musuh bebuyutannya? Pria yang bahkan tidak bisa ia ajak bicara tanpa ada perdebatan dingin.
Saat ia membuka pintu kamarnya, ia terpaku.
Di atas tempat tidurnya yang besar, tergeletak sebuah koper mewah berwarna perak yang sudah terbuka.
Isinya... membuat Alina menahan napas.
Tertata rapi di dalamnya berbagai macam pakaian liburan: beberapa set bikini dengan warna-warna cerah, gaun-gaun musim panas yang ringan, dan beberapa pasang sandal desainer.
Ini bukan barang-barangnya.
"Permisi, Nyonya."
Bi Sumi tiba-tiba muncul di ambang pintu, senyumnya sopan seperti biasa. "Itu semua sudah disiapkan atas perintah Bapak Revan. Semua pakaian dan perlengkapan untuk bulan madu Nyonya."
Alina menatap isi koper itu dengan nanar. Bikini? Gaun malam yang tipis? Pria itu benar-benar sudah merencanakan segalanya, bahkan pakaian apa yang harus ia kenakan di "bulan madu" palsu mereka.
Rasa marah yang baru saja mereda kini kembali menyala. Ini bukan lagi soal citra. Ini adalah pelanggaran privasi.
"Terima kasih, Bi," kata Alina, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Tapi saya akan berkemas sendiri."
Alina berjalan menuju lemarinya, mengeluarkan koper kosong miliknya, lalu mulai memilih pakaiannya sendiri: kaus katun yang nyaman, celana panjang linen, dan satu-satunya baju renang model anime one-piece miliknya yang berwarna gelap.
Saat itulah, pintu kamarnya kembali terbuka tanpa ketukan. Revan berdiri di sana, menatap pemandangan di hadapannya dengan satu alis terangkat.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Revan, matanya melirik koper kosong Alina, lalu kembali ke tumpukan pakaian sederhana di atas tempat tidur.
"Berkemas," jawab Alina singkat, tanpa menoleh.
"Astaga.. Sudah kusiapkan semua yang kau butuhkan," kata Revan, nadanya datar namun mengandung perintah. "Pakai yang itu."
Alina berhenti, lalu berbalik menatap Revan. "Aku tidak akan memakai pakaian-pakaian itu."
"Kenapa tidak?"
"Karena semua ini bukan aku," sahut Alina tegas, menunjuk ke arah bikini dan gaun tipis itu. "Ini adalah karakter yang kau ciptakan, bukan identitasku. Aku tidak akan memakai topeng bahkan saat sedang berlibur sekalipun."
Revan menatapnya sejenak, ekspresinya dingin.
"Ini bukan soal fantasiku, Alina. Ini soal citra. Kakek mungkin saja akan mengirim seseorang untuk 'memata-matai' kita. Foto-foto atau video bisa saja bocor. Kau harus terlihat seperti istri seorang Adhitama yang sedang berlibur, bukan seperti mahasiswi yang sedang studi banding atau karyawisata."
Lagi-lagi citra, batin Alina muak.
"Aku akan tetap membawa pakaianku sendiri," kata Alina keras kepala. Ia mengambil beberapa buku dari nakasnya, termasuk buku sketsa kesayangannya, dan memasukkannya ke dalam koper.
Mata Revan tertuju pada buku sketsa itu. Untuk sepersekian detik, Alina melihat sesuatu yang berbeda di tatapan pria itu. Bukan lagi tatapan dingin seorang CEO, melainkan... sesuatu yang lain.
Sebuah kilasan singkat yang mengingatkannya pada sorot mata Revan di panggung kompetisi desain bertahun-tahun lalu. Sebelum ekspresi dingin itu kembali terpasang seperti topeng baja.
"Buku gambar?" tanya Revan, nadanya terdengar sedikit mengejek. "Kau pikir ini acara menggambar di taman kanak-kanak?"
"Ini pekerjaanku," balas Alina sengit. "Dan aku akan tetap bekerja meskipun kau menyeretku ke pulau terpencil sekalipun."
Keheningan menyelimuti mereka.
Mereka kembali berada dalam pertarungan kehendak, sebuah perang dingin di dalam kamar tidur yang seharusnya menjadi tempat paling privat.
Revan menatap Alina lama, seolah sedang melakukan kalkulasi ulang. Ia melihat keteguhan di mata Alina, perlawanan yang sama seperti saat mereka berdebat soal pewaris.
Akhirnya, pria itu menghela napas panjang, sebuah gestur yang menunjukkan kekesalan.
"Baiklah," katanya dengan nada final. "Bawa pakaian konyolmu itu jika kau mau. Bawa buku gambarmu. Lakukan apa pun yang kau suka."
Alina sedikit terkejut. Ia menang?
"Tapi," lanjut Revan, suaranya kini lebih rendah dan berbahaya, melangkah maju hingga hanya berjarak satu langkah dari Alina.
"Kebebasanmu hanya berlaku saat tidak ada yang melihat. Saat aku memintamu mengenakan gaun tertentu untuk makan malam, kau akan mengenakannya. Saat aku ingin kita terlihat seperti pasangan, kau akan memainkan peranmu tanpa cela. Anggap saja pakaianmu itu kostum untuk waktu senggang, tapi saat pertunjukan utama, kau akan memakai kostum yang sudah kusiapkan. Apa aku sudah jelas?"
Alina menelan ludah. Ini adalah kompromi versi Revan Adhitama. Ia memberikan sedikit kebebasan, tapi tetap memegang kendali akhir.
"Sangat jelas," jawab Alina pelan.
"Bagus," kata Revan singkat. Ia melirik koper mewah yang masih terbuka di atas tempat tidur. "Setidaknya, pakai koper itu. Jangan membuatku terlihat seperti suami yang tidak bisa membelikan istrinya koper yang layak."
Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan meninggalkan kamar Alina, menutup pintu di belakangnya.
Alina terduduk di tepi tempat tidur, napasnya terasa sedikit sesak. Pertarungan kecil ini menguras energinya. Ia menatap buku sketsanya—simbol kemandiriannya—lalu menatap koper mewah di hadapannya—simbol kekuasaan Revan.
Ia memenangkan pertempuran soal isi, tapi kalah dalam urusan wadah.
Perjalanan ke neraka pribadinya akan segera dimulai. Dan ia bahkan tidak bisa memilih sendiri tas yang akan ia bawa.
Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?
Alina masih berdiri di depan meja gambarnya.Aroma arang dari pensil dan kertas terasa pekat di udara. Di hadapannya, terhampar sketsa sebuah benteng yang lahir dari amarah.Suara Revan di seberang sana terdengar jauh. Seperti suara dari dunia lain. Dunia penuh jas mahal, pendingin udara sentral, dan pengkhianatan yang dibungkus senyum."...kita punya tantangan baru."Alina menarik napas pelan. "Tantangan?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Tantangan macam apa yang bisa muncul dari rapat dewan yang membosankan?"Di seberang sana, Alina bisa mendengar Revan menghela napas. Suara yang terdengar lelah, tapi bukan kalah."Pamanku," kata Revan, langsung ke intinya. "Dia mencoba bermain cantik."
Hening.Di dalam ruangan yang harganya lebih mahal dari gabungan harga rumah seluruh karyawannya itu, satu-satunya suara adalah dengung pelan pendingin udara.Dengung yang terdengar seperti hitungan mundur sebelum bom meledak.Semua mata—mata licik, mata penasaran, mata takut—semuanya tertuju pada satu orang.Revan Adhitama.Umpan dari Hariman sudah dilempar dengan begitu cantiknya ke tengah meja."Hanya untuk... 'membantu'."Sebuah bantuan yang rasanya seperti tamparan. Sebuah kepedulian yang baunya seperti penghinaan.Siapapun yang punya otak di ruangan itu tahu ini bukan usul. Ini adalah tes. Sebuah gertakan.
Kalau surga itu punya bau, mungkin baunya seperti udara Bintan di pagi hari. Campuran wangi garam laut, tanah basah, dan embun.Kalau neraka punya bau, baunya persis seperti udara Jakarta di jam pulang kerja. Campuran asap knalpot, debu konstruksi, dan ambisi yang membusuk.Revan Adhitama sedang menghirup dalam-dalam bau neraka itu sekarang.Ia duduk di kursi belakang mobilnya yang melaju pelan, terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson.Kontrasnya begitu menusuk.Beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di balkon, menatap lautan biru yang tenang. Sekarang, ia menatap lautan beton yang kacau balau.Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ia membukanya lagi.Pesan dari Alina.
Hening.Itu hal pertama yang Alina sadari setelah telepon ditutup.Hening yang tadinya terasa damai, sekarang malah terdengar mengancam.Suara jangkrik di luar jendela yang tadinya kayak musik alam, sekarang malah terdengar kayak lagi menertawainya.Ponsel di tangannya terasa dingin dan berat.Kayak sebatang logam dari neraka.Paman Hariman.Sialan.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa menemukan dunianya.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa aman.Rasanya... kurang ajar banget.Tempat yang baru aja ia anggap 'rumah', tempat amannya, tahu-tahu rasany
BAB 53 : Telepon dari Kandang SerigalaSetiap hal indah pasti ada tanggal kedaluwarsanya.Gelembung kecil yang mereka ciptakan di studio Revan itu, dengan wangi kopi dan keheningan yang nyaman, ternyata punya masa berlaku yang sangat singkat. Cuma beberapa jam.Perpisahan mereka di lobi hotel terasa canggungnya minta ampun. Nggak ada pelukan dramatis ala film-film. Nggak ada ciuman perpisahan yang bikin lutut lemas. Yang ada cuma dua orang yang mendadak nggak tahu harus menaruh tangan di mana."Aku akan telepon kalau sudah sampai," kata Revan. Kalimat standar yang entah kenapa terdengar aneh keluar dari mulutnya."Oke," jawab Alina singkat.Revan menatapnya sejenak, seolah mau bilang sesuatu lagi, tapi nggak jadi. Akhirnya, ia cuma mengangguk kaku, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggunya.Dan begitu saja. Pria itu pergi.Alina ditinggal sendirian di lobi yang megah, dengan kunci studio Revan di sakunya yang terasa berat dan panas.Rasanya aneh. Kosong.Sete