Tadaa!! Akhirnya telah tiba!
Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu. Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan. Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya. Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang. Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta. Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali. Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya yang menghadap ke taman belakang yang rimbun. Ia tidak sedang membaca koran atau menonton televisi. Ia hanya duduk di sana, menatap taman, seolah sedang merenung. Tapi Alina tahu, tidak ada satu pun hal di rumah ini yang luput dari perhatiannya. "Kakek," sapa Revan, suaranya terdengar lebih hangat dari biasanya. Pria tua itu menoleh. Matanya yang masih tajam itu langsung tertuju pada satu hal: tangan mereka yang bertautan. Seulas senyum tipis, senyum puas, terukir di bibirnya. "Akhirnya pulang juga pengantin baru," kata Kakek, nadanya terdengar santai, tapi Alina tahu ini adalah pembukaan dari sebuah interogasi. "Kakek kira kalian lupa jalan pulang. Lama sekali perginya." Ini dia. Pertanyaan pertama. Alina merasakan genggaman tangan Revan sedikit mengerat, sebuah sinyal tak terucap. "Justru karena nasihat Kakek," jawab Revan dengan tenang, melangkah maju dan duduk di sofa di seberang kakeknya, menarik Alina untuk duduk di sampingnya. Ia tidak melepaskan genggaman tangannya. "Kakek bilang, pekerjaan tidak akan pernah ada habisnya. Kakek benar," lanjut Revan. "Karena itu, selagi kami sedang 'di luar', sekalian saja saya selesaikan satu urusan penting di Singapura. Lebih efisien. Biar setelah ini, kami bisa lebih fokus di Jakarta tanpa gangguan." Sebuah jawaban yang brilian. Logis, menghormati nasihat Kakek, dan membalikkan keadaan. Kakek Bramantyo tertawa kecil. "Kau ini, Van. Selalu berpikir seperti bisnis. Tapi baiklah, alasanmu Kakek terima." Lalu, Kakek menatap mereka berdua lekat-lekat. "Kakek sengaja tidak banyak menelepon. Kakek tidak mau mengganggu waktu kalian." "Lagipula," Kakek meraih sebuah tablet dari meja di sampingnya, lalu menunjukkan layarnya pada mereka. Di sana, ada sebuah foto. Foto mereka berdua di dermaga, saat Revan memeluk pinggang Alina, keduanya tersenyum ke arah kamera. Foto yang diambil oleh staf Kakek. "Laporan yang Kakek terima sudah lebih dari cukup." Alina menahan napas, merasakan campuran aneh antara ngeri dan... bangga? Ngeri karena sadar betapa dalamnya pengawasan Kakek. Tapi ada sedikit rasa bangga yang aneh melihat betapa meyakinkannya akting mereka. Foto itu tidak menangkap kebohongan, hanya kehangatan palsu yang terlihat begitu nyata. "Kalian terlihat sangat bahagia," kata Kakek lagi, senyumnya melebar. "Dan karena kalian sudah terlihat begitu 'erat'…" Ia meletakkan kembali tabletnya, tatapannya kini lebih serius. "Jadi, kapan Kakek bisa dapat kabar baik?" Pertanyaan pamungkas itu akhirnya datang. Alina bisa merasakan otot di lengan Revan sedikit menegang. Ia bisa membayangkan jawaban yang akan keluar dari mulut pria itu—dingin, logis, mungkin sesuatu tentang jadwal bisnis. Jawaban yang akan memuaskan Kakek, tapi akan kembali menempatkan Alina sebagai pajangan. Dan entah kenapa, setelah Singapura, setelah pertarungan mereka melawan Leo, ia tidak sudi lagi hanya menjadi penonton. Ini adalah pertarungannya juga. "Kami juga sudah tidak sabar, Kek," kata Alina, suaranya terdengar lembut tapi mantap. Revan menoleh ke arahnya, sedikit terkejut. "Tapi," lanjut Alina, "kami ingin menikmati waktu berdua dulu. Benar-benar saling mengenal lebih dalam tanpa tekanan apa pun." Ia menatap Kakek dengan tatapan yang tulus. "Lagipula, Revan baru saja mempercayakan saya dengan proyek yang sangat besar. Saya ingin fokus membuktikan diri dulu, Kek. Saya ingin menunjukkan bahwa saya pantas menyandang nama Adhitama, bukan hanya sebagai istri, tapi juga sebagai seorang profesional. Biar nanti, kalau sudah waktunya, saya bisa menjadi seorang Ibu yang tenang, tanpa lagi punya beban pembuktian." Seluruh ruangan hening. Jawaban itu… sempurna. Cerdas, modern, menghormati tradisi, tapi juga menegaskan posisinya sebagai wanita karier. Revan menatapnya, ada ekspresi baru di matanya yang tidak bisa Alina artikan. Kakek Bramantyo terdiam lama. Ia menatap Alina, seolah baru benar-benar melihat cucu menantunya itu untuk pertama kalinya. Bukan sebagai gadis biasa, tapi sebagai seorang wanita yang punya visi. Akhirnya, Kakek tersenyum. Kali ini, senyum yang tulus. "Jawaban yang sangat bagus, Nak Alina," katanya. "Kakek jadi semakin yakin, Revan tidak salah pilih." Perjalanan pulang di dalam mobil terasa begitu sunyi. Tapi ini adalah keheningan yang paling nyaman yang pernah Alina rasakan bersama Revan. Saat mobil hampir sampai di rumah, Revan akhirnya berbicara, matanya masih menatap lurus ke depan. "Jawaban yang bagus tadi," katanya pelan. “Jawabanmu tadi bukan cuma cepat,” katanya, suaranya masih rendah. “Tapi juga strategis. Kau tidak hanya menjawab pertanyaannya, kau mengunci posisimu. Itu... langkah yang bagus.” Itu bukan pujian yang berbunga-bunga. Tapi bagi Alina, pujian itu terasa lebih dari sekadar medali emas. Itu adalah sebuah pengakuan. Pengakuan dari seorang partner, bukan dari seorang klien atau suami kontrak. Dan entah kenapa, pengakuan itu terasa jauh lebih berharga daripada kemenangan proyek mana pun.Perjalanan dari rumah Kakek kembali ke kediaman Revan terasa begitu sunyi.Tapi ini bukan lagi keheningan yang menusuk seperti di awal pernikahan mereka. Ini adalah keheningan yang berisi. Penuh dengan kata-kata yang tak terucap, penuh dengan pemahaman baru yang masih terasa asing.Pujian Revan di dalam mobil tadi masih terngiang di telinga Alina.Itu... langkah yang bagus.Sebuah pengakuan. Dari seorang partner.Pikiran itu membuat sudut bibir Alina sedikit terangkat tanpa ia sadari.Saat mobil hitam itu akhirnya memasuki gerbang rumah Revan yang menjulang, Alina merasakan sedikit debaran di dadanya. Aneh. Dulu, ia selalu merasa seperti memasuki sebuah penjara yang megah. Sekarang... rasanya lebih seperti pulang ke sebuah markas. Markas aliansi mereka yang aneh.Bi Sumi sudah menunggu di ambang pintu, dengan senyumnya yang tulus."Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya," sapanya. Matanya yang jeli itu langsung menyapu penampilan mereka berdua."Terima kasih, Bi," jawab Alina.Revan ha
Tadaa!! Akhirnya telah tiba!Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu.Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan.Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya.Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang.Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta.Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali.Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya ya
Kabin jet pribadi itu.. ah.. suasananya begitu hening.Hanya ada deru mesin yang halus sebagai musik latar perjalanan mereka kembali ke Jakarta. Di luar jendela, gumpalan awan putih membentang seperti karpet kapas yang tak berujung.Dunia di ketinggian tiga puluh ribu kaki seharusnya terasa damai, tempat di mana semua masalah di darat terlihat kecil. Tapi bagi Alina, keheningan di dalam kabin jet pribadi ini justru membuat semua masalah di kepalanya terdengar lebih nyaring.Ia duduk di kursi kulit yang empuk, tapi tubuhnya terasa kaku. Di seberangnya, Revan kembali tenggelam dalam dunianya. Tablet di tangan, jari-jarinya menari di atas layar, matanya fokus pada barisan angka dan grafik.Pria itu sudah kembali menjadi mesin. Seolah semua drama di Singapura—Leo, ancaman, cokelat, pujian—hanyalah sebuah anomali, sebuah glitch dalam sistemnya yang kini sudah kembali normal.Apa dia benar-benar tidak terpengaruh sama sekali?Pikiran itu membuat Alina sedikit kesal.Atau... apa ini caran
Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap
Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di
Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem