Home / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / Bab 27 : Laporan Bulan Madu

Share

Bab 27 : Laporan Bulan Madu

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-08-06 23:06:01

Kabin jet pribadi itu.. ah.. suasananya begitu hening.

Hanya ada deru mesin yang halus sebagai musik latar perjalanan mereka kembali ke Jakarta.

Di luar jendela, gumpalan awan putih membentang seperti karpet kapas yang tak berujung.

Dunia di ketinggian tiga puluh ribu kaki seharusnya terasa damai, tempat di mana semua masalah di darat terlihat kecil.

Tapi bagi Alina, keheningan di dalam kabin jet pribadi ini justru membuat semua masalah di kepalanya terdengar lebih nyaring.

Ia duduk di kursi kulit yang empuk, tapi tubuhnya terasa kaku. Di seberangnya, Revan kembali tenggelam dalam dunianya.

Tablet di tangan, jari-jarinya menari di atas layar, matanya fokus pada barisan angka dan grafik.

Pria itu sudah kembali menjadi mesin. Seolah semua drama di Singapura—Leo, ancaman, cokelat, pujian—hanyalah sebuah anomali, sebuah glitch dalam sistemnya yang kini sudah kembali normal.

Apa dia benar-benar tidak terpengaruh sama sekali?

Pikiran itu membuat Alina sedikit kesal.

Atau... apa ini caranya untuk membangun kembali dindingnya?

Pria ini adalah sebuah teka-teki yang dibungkus dalam setelan mahal. Setiap kali Alina merasa berhasil mengupas satu lapisan, ia justru menemukan sepuluh lapisan baru yang lebih rumit di baliknya.

"Mau kopi?"

Suara Revan memecah lamunan Alina.

Ia tidak menatap Alina, matanya masih tertuju pada tablet. Tapi pertanyaan itu ditujukan untuknya.

"Boleh," jawab Alina pelan.

Revan menekan sebuah tombol di sandaran kursinya. Tak lama kemudian, seorang pramugari (NPC) datang dengan senyum profesional.

"Kopi hitam tanpa gula untuk saya," kata Revan. Lalu, untuk pertama kalinya, ia menoleh pada Alina. "Dan untuk Anda?"

"Sama," jawab Alina.

Pramugari itu mengangguk dan pergi.

Setelah pramugari pergi, Revan kembali fokus pada tabletnya, tapi ia berkata,

"Kopi hitam membantuku fokus."

Kalimat sederhana itu secara tidak langsung menyambung kembali ke momen 'kopi hitam' mereka sebelumnya, membuat keheningan setelahnya terasa lebih bermakna.

Alina menyesap kopinya. Pahit. Sama seperti kopinya Revan. Entah kenapa, kesamaan kecil itu terasa seperti sebuah koneksi yang aneh.

Begitu roda pesawat menyentuh landasan di Halim Perdanakusuma, hawa panas khas Jakarta seolah langsung menyergap mereka, menarik mereka kembali ke dunia nyata.

Pak Toni, sang supir kepercayaan, sudah menunggu di dekat mobil hitam yang mengilap. Wajahnya yang familier adalah hal normal pertama yang Alina lihat setelah beberapa hari yang gila.

"Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya," sapa Pak Toni dengan hormat, membukakan pintu untuk mereka.

"Terima kasih, Pak Toni," balas Alina, sedikit lega.

Ia mengira mereka akan langsung pulang ke rumah Revan, ke kamar mereka yang terpisah, ke dalam rutinitas dingin mereka. Ia sudah sangat merindukan kasurnya, meskipun ia tahu Revan akan kembali tidur di sofa.

Tapi mobil itu tidak mengambil rute menuju rumah.

Mobil itu melaju ke arah yang berbeda, menuju kawasan Menteng yang asri.

Alina mengerutkan keningnya. "Kita mau ke mana?"

Revan, yang dari tadi diam, akhirnya menoleh.

"Kita ke rumah Kakek," katanya datar.

"Sekarang?" tanya Alina kaget. "Tapi kita baru saja sampai. Aku..." Ia melirik pakaiannya yang sedikit kusut karena perjalanan. "...belum siap."

"Justru karena itu," potong Revan. "Kita harus melapor sekarang, selagi kita masih terlihat seperti pasangan yang baru pulang dari bulan madu yang melelahkan."

Logika yang dingin dan efisien. Tentu saja.

"Dia yang mengirim kita pergi," lanjut Revan, seolah bisa membaca kebingungan di wajah Alina. "Maka, dia yang pertama harus menerima 'laporan'."

Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya kolonial yang megah. Rumah Kakek Bramantyo. Benteng utama keluarga Adhitama.

Jantung Alina mulai berdebar lagi. Pertempuran dengan Leo mungkin sudah selesai. Tapi perang yang sesungguhnya akan segera dimulai.

Saat mereka turun dari mobil, Revan berhenti sejenak di samping Alina.

"Dengar," katanya, suaranya rendah dan serius. "Di dalam sana, lupakan soal Leo, lupakan soal proyek, lupakan soal cokelat."

"Di dalam sana, kita bukan klien dan arsitek. Kita bukan dua orang asing yang terjebak dalam kontrak."

Ia menatap lurus ke mata Alina.

"Kita adalah cucu dan cucu menantu kesayangannya yang baru saja pulang dari bulan madu paling romantis di dunia. Mengerti?"

Alina mengangguk pelan.

"Bagus."

Lalu, Revan melakukan sesuatu yang membuat napas Alina tercekat.

Ia mengulurkan tangannya, telapaknya terbuka. Sebuah undangan.

Alina menatap tangan itu. Tangan yang sama yang pernah mencengkeram lututnya di bawah meja. Tangan yang sama yang memberinya map berisi rahasia Leo.

Dengan sedikit ragu, ia meletakkan tangannya di atas tangan Revan.

Jari-jari Revan langsung menggenggamnya. Hangat, kokoh, dan entah kenapa, terasa sangat meyakinkan.

Ini terasa seperti... genggaman tangan seorang aliansi. Revan sedikit meremas tangannya, sebuah penekanan tanpa kata yang seolah berkata, 'Kita hadapi ini bersama.'

Revan sedikit mencondongkan tubuhnya, berbisik begitu pelan hingga hanya Alina yang bisa mendengarnya,

'Waktunya pertunjukan, partnerku.' Ia sengaja memberi jeda sebelum menambahkan satu kata terakhir yang membuat jantung Alina berdebar.

'...istriku.'

Saat pintu utama rumah itu terbuka, mereka melangkah masuk.

Bergandengan tangan, melangkah masuk ke dalam kandang serigala.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 29 : Aturan Main yang Baru

    Perjalanan dari rumah Kakek kembali ke kediaman Revan terasa begitu sunyi.Tapi ini bukan lagi keheningan yang menusuk seperti di awal pernikahan mereka. Ini adalah keheningan yang berisi. Penuh dengan kata-kata yang tak terucap, penuh dengan pemahaman baru yang masih terasa asing.Pujian Revan di dalam mobil tadi masih terngiang di telinga Alina.Itu... langkah yang bagus.Sebuah pengakuan. Dari seorang partner.Pikiran itu membuat sudut bibir Alina sedikit terangkat tanpa ia sadari.Saat mobil hitam itu akhirnya memasuki gerbang rumah Revan yang menjulang, Alina merasakan sedikit debaran di dadanya. Aneh. Dulu, ia selalu merasa seperti memasuki sebuah penjara yang megah. Sekarang... rasanya lebih seperti pulang ke sebuah markas. Markas aliansi mereka yang aneh.Bi Sumi sudah menunggu di ambang pintu, dengan senyumnya yang tulus."Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya," sapanya. Matanya yang jeli itu langsung menyapu penampilan mereka berdua."Terima kasih, Bi," jawab Alina.Revan ha

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 28 : Laporan kepada atasan

    Tadaa!! Akhirnya telah tiba!Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu.Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan.Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya.Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang.Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta.Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali.Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya ya

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 27 : Laporan Bulan Madu

    Kabin jet pribadi itu.. ah.. suasananya begitu hening.Hanya ada deru mesin yang halus sebagai musik latar perjalanan mereka kembali ke Jakarta. Di luar jendela, gumpalan awan putih membentang seperti karpet kapas yang tak berujung.Dunia di ketinggian tiga puluh ribu kaki seharusnya terasa damai, tempat di mana semua masalah di darat terlihat kecil. Tapi bagi Alina, keheningan di dalam kabin jet pribadi ini justru membuat semua masalah di kepalanya terdengar lebih nyaring.Ia duduk di kursi kulit yang empuk, tapi tubuhnya terasa kaku. Di seberangnya, Revan kembali tenggelam dalam dunianya. Tablet di tangan, jari-jarinya menari di atas layar, matanya fokus pada barisan angka dan grafik.Pria itu sudah kembali menjadi mesin. Seolah semua drama di Singapura—Leo, ancaman, cokelat, pujian—hanyalah sebuah anomali, sebuah glitch dalam sistemnya yang kini sudah kembali normal.Apa dia benar-benar tidak terpengaruh sama sekali?Pikiran itu membuat Alina sedikit kesal.Atau... apa ini caran

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 26 : Pertolongan Pertama

    Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 25 : Jangan Sentuh Dia

    Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 24 : Konsep yang Jujur

    Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status