Share

BAB 4: Kejutan dari Kamar Mandi

"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam.

"Belum bisa pulang? Ibu mau datang," ujar lelaki itu dari seberang sana. Nada suaranya terdengar sinis.

"Sebentar lagi aku pulang. Kamu tenang aja!"

Panggilan telepon terputus tanpa ada ucapan salam. Aku menghela napas berat. Kepalaku sedikit berdenyut. Beban hidup ini terasa sungguh berat. Aku melihat ke arah Hanin. Wanita cantik itu menepuk pundakku, seolah memberikan semangat jika bukan saatnya untuk menyerah.

"Aku harus cepat, Nin. Ibunya Hadi sudah di jalan," ujarku pada Hanin sambil memeluk dirinya. Hanin membalas pelukanku dengan erat. Kemudian kami berjalan hingga ke parkiran dan berpisah di sana. Aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan standar. Kondisi jalan yang ramai membuatku berpikir dua kali untuk melaju kencang.

Beberapa saat kemudian aku tiba di rumah. Kondisi dari luar terlihat masih sepi, dugaanku jika Ibu pasti belum sampai. Di depan pintu masuk, Hadi berdiri angkuh. Kedua tangannya menyilang di dada. Tatapnnya bagai ribuan jarum yang menusuk tajam. Dengan sangat terpaksa aku menyunggingkan segaris senyum tipis kepada Hadi. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya.

"Puas merajalela?" Pertanyaan Hadi menohok hatiku. Ingin sekali meninju wajah lelaki itu, akan tetapi nasehat Hanin terus terngiang, demi orang-orang yang kusayang, biarlah aku bersabar menghadapi tingkah lelaki sombong yang sedang tegak berdiri di depanku.

"Maaf, aku tidak memberitahu. Ibu sudah di mana?" Aku mencoba mengalihkan pertanyaan.

"Ingat tugasmu! Jadi istri yang baik di depan Ibu."

Selama ini kurang baik apa aku? Selalu berusaha mengikuti aturannya dengan sempurna. Berpura-pura bahagia di depan orang tua dan mertua. Namun, pada kenyataannya hanya kamuflase semata.

Aku bergegas menuju kamar. Membersihkan badan dan mengganti pakaian. Tidak lupa menabur sedikit bedak serta memoles tipis pemerah bibir agar terlihat segar. Aku senang Ibu datang. Dia adalah seorang ibu mertua yang baik dan perhatian. Tidak seperti anaknya, kasar dan arogan.

"Nadia! Cepat keluar. Ibu sudah mau sampai!" seru Hadi di depan pintu kamar. Aku bergegas memakai khimar. Sekali lagi mematutkan diri di depan cermin besar di dalam kamar. Kemudian segera membuka pintu dan buru-buru ingin menyambut ibu di pintu depan. Namun, aku dibuat kaget saat lenganku ditarik dari arah kanan. Lebih kaget lagi ternyata yang melakukan itu adalah Hadi. Ia menggenggam jemariku dan meremasnya.

Lelaki itu memandangku lekat. Ia bergerak maju beberapa langkah. Jarak kami sudah sangat dekat. Aku bisa merasakan embusan hangat yang keluar dari hidungnya. Aroma parfum yang ia kenakan pun menyapu lembut di indera penciuman. Jantungku berdegup kencang, mencoba menetralisir rasa kaget pada situasi yang sedang terjadi.

Hadi mendorong tubuhku menubruk dinding. Aku tercekat tak bisa berkata-kata. Sebelah tanganku diangkat ke atas sementara tubuhnya hampir menempel di tubuhku. Aku gelagapan berusaha menenangkan jantung yang berdetak makin tak keruan. Hawa panas menjalar dari wajah hingga ke ubun-ubun, aku tak bisa bergerak.

"Jangan baper! Ini hanya simulasi biar chemistry di depan Ibu lebih klik!" Hadi berbisik pelan di telingaku. Napasnya masih terus memburu. Sementara aku sedang mencoba keras menetralisir hati yang telah dibuat kacau beberapa detik oleh Hadi.

Ya, Tuhan. Lelaki macam apa dia? Apakah aku mempunyai stok sabar yang lebih sehingga Tuhan menjodohkanku dengannya? Ketukan di pintu mengagetkanku. Aku berusaha melepaskan genggaman dari Hadi. Namun, lelaki itu malah menarik.

"Bersikap manislah di depan Ibu," ucapnya penuh penekanan.

Aku seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Mengikuti perintah sang tuan tanpa berontak. Meski hati sakit dan sedih atas perlakuannya yang susah ditebak, akan tetapi aku berusaha untuk tidak menangis di depan lelaki tersebut. Apalagi ibu mertua sudah tiba di depan rumah.

Hadi membuka pintu depan. Jemari kami masih saling bertautan. Tampak ibu tersenyum senang dalam balutan hijab syar'inya. Wanita itu terlihat lebih segar dari beberapa minggu lalu setelah harus menginap di rumah sakit karena kondisi yang melemah. Sementara Ayah berdiri di belakang Ibu menenteng tas berukuran sedang.

"Bu, Yah, masuk. Kenapa harus repot-repot menjenguk kami? Tinggal telepon, kami akan segera ke tempat Ayah dan Ibu," ucap Hadi dengan nada suara yang sangat ramah.

"Ibu rindu kamu, Di. Rasa-rasa sudah lama nggak jumpa. Banyak yang ibu mau obrolin." Wanita yang masih terlihat cantik di usia yang tidak lagi muda itu melirikku sambil tersenyum. Aku segera menyodorkan tangan untuk menyalaminya.

Setelah mencium Ibu, Hadi pun memeluk Ayah dan mengambil alih barang bawaan dari tangan lelaki paruh baya itu. Ia memperlihatkan senyum termanis yang selama ini hampir tidak pernah dibagikan untukku. Senyum itu hanya akan terlihat saat ia sedang video call bersama Tiara. Itu pun aku melihatnya secara diam-diam.

"Kami mau menginap untuk dua malam ke depan, ya. Ibu mau kasih tips biar Nadia cepat muntah-muntah."

Apa? Muntah-muntah? Maksud Ibu bagaimana? Aku merasa gagal paham mendengar kalimat Ibu. Kulihat Hadi juga salah tingkah. Lelaki itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum ke arah Ibu.

"Iya, tapi ngobrolnya nanti dulu, ya. Ibu dan Ayah istirahat dulu. Di kamar atas saja, ya. Aku bawakan barang-barangnya ke sana." Hadi hendak melangkah menuju tangga, tapi Ayah melarang.

"Kok di atas? Mana bisa Ibumu bolak balik turun tangga. Di rumah saja kami sudah pindah ke kamar bawah. Ibumu gak boleh kelelahan."

"Kamar bawah?" tanyaku spontan. Bagaimana ini? Aku dan Hadi saling pandang. Memang ada tiga kamar di lantai bawah, tapi semua terisi karena kamarku dan Hadi terpisah. Sedangkan satu kamar lagi untuk Mbok Mih. Biasanya setelah lelah bekerja dia akan beristirahat di kamar tersebut.

"Ya, Nak. Ibu ngga boleh kelelahan. Sedikit saja capek langsung sesak napas." Ibu berujar sambil mengurut dada.

"Ya, sudah. Ibu dan Ayah tunggu di sini dulu, ya. Aku dan Nadia beresin dulu kamarnya. Karena selama ini aku pakai untuk ruang kerja. Agak berantakan dengan berkas-berkas," ucap Hadi berbohong sambil merengkuh pinggangku. Tidak biasa diperlakukan seperti ini membuat debaran-debaran itu kembali muncul. Seandainya dia selalu bersikap begini, tentu aku juga tidak akan keras kepala menghadapi dia.

Setelah menyuguhkan minuman dan camilan, kami pun berpamitan pada Ayah serta Ibu untuk mempersiapkan kamar tidur untuk mereka. Tidak semudah itu, di ujung lorong ruangan sebelum menuju ke kamar yang akan dibersihkan, kami masih sempat berdebat memilih kamar mana yang akan ditempati sementara oleh Ayah dan Ibu.

"Kamarmu saja! Nggak mungkin kamarku. Banyak berkas-berkas penting." Hadi berkata ketus.

"Apalagi kamarku. Barangku dua kali lipat barangmu! Kalau kamu sanggup memindahkan dalam waktu kurang dari setengah jam, ya, silakan." Aku menjawab datar.

Karena tidak mempunyai waktu lama untuk berdebat, akhirnya Hadi menyetujui jika kamarnya dijadikan sebagai kamar sementara untuk Ayah dan Ibu. Aku pun membantunya membereskan barang-barang pribadi miliknya. Tidak ada berkas-berkas kerja di sana, karena selama ini ruang kerja Hadi ada di lantai atas.

Baju-baju serta barang-barang yang mencurigakan lainnya segera kami angkut dan dibawa ke kamarku. Untung saja mereka sedang Asyik menikmati teh hangat sambil menonton acara TV kesukaan, sehingga Ayah dan Ibu tidak terpengaruh pada kami berdua.

Hampir setengah jam aku dan Hadi membereskan semuanya. Ia yang memindahkan, sementara aku merapikannya di kamarku. Semua baju-baju lelaki itu kususun rapi dalam lemari yang memang sengaja kukosongkan dua pintu. Begitu juga dengan pakaian dalam dan perlengkapan lainnya telah kusimpan pada tempatnya.

"Jangan terlalu lelah, Nadia. Ingat rahimmu perlu dijaga juga kestabilannya. Kenapa nggak minta tolong Mbok Mih aja buat beres-beres?" Suara Ibu mengagetkanku. Huft! Untung semuanya sudah beres.

Aku tersenyum dan mendekat ke arah Ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar. Kurangkul tangan wanita itu kemudian membawanya ke kamar tempat mereka akan beristirahat.

"Ibu istirahat aja dulu, ya. Yang nggak boleh capek itu Ibu. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran."

Wanita itu mengusap pucuk kepalaku. Duh, jika begini aku sangat merindui Umi. Umi juga terbiasa memperlakukanku begini. Ibu dan Umi memang hampir sama. Mereka adalah sahabat yang seperti saudara. Karena sebab itu mereka bersikeras untuk menjodohkan kami, anak-anaknya. Umi percaya jika Hadi akan menjagaku dengan baik. Demikian juga Ibu menganggap jika aku adalah jodoh yang tepat untuk anaknya.

Hadi mengangkat koper milik Ayah dan Ibu ke kamar. Kami meminta mereka untuk beristirahat terlebih dahulu. Namun, Ibu menolak.

"Ibu belum Ashar. Mau wudhu dulu." Wanita itu beranjak ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Namun, tak lama berselang beliau keluar lagi. Wajah putihnya terlihat memerah. Ia melihat aku dan Hadi bergantian.

"Apa ini? Jadi kalian pakai ini?"

Ibu mengangkat sebuah kotak segi empat tipis berwarna meriah itu. Kotak tersebut dipenuhi dengan tulisan yang berukuran sangat kecil. Dalam jarak beberapa langkah, aku tidak bisa melihat jelas tulisannya.

Aku melempar pandang ke arah Hadi. Kotak tersebut pasti milik lelaki itu karena selama ini dia-lah yang berada di kamar ini. Hadi ternganga melihat ke arah Ibu tanpa sepatah kata. Sementara Ayah mengambil kotak kecil tersebut dari tangan Ibu. Lelaki paruh baya itu sibuk membolak-balikkan kotak yang berada di tangannya seraya bertanya "Kondom?"

"Hah? Kondom?" tanyaku tak kalah kaget.

Pandangan kami bertiga pun tertuju ke arah Hadi.

***

Lanjuuutt, yaaaa

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
alasan bertahan g masuk akal dan si nadia yg gampang baper ksysknya.
goodnovel comment avatar
Butterfly 98
astaghfirullah salah sebut, bucin ke Nadia maksudnya ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status