Home / Rumah Tangga / BERBAGI SUAMI (TAMAT) / BAB 4: Kejutan dari Kamar Mandi

Share

BAB 4: Kejutan dari Kamar Mandi

Author: Andri Lestari
last update Last Updated: 2022-07-01 09:11:57

"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam.

"Belum bisa pulang? Ibu mau datang," ujar lelaki itu dari seberang sana. Nada suaranya terdengar sinis.

"Sebentar lagi aku pulang. Kamu tenang aja!"

Panggilan telepon terputus tanpa ada ucapan salam. Aku menghela napas berat. Kepalaku sedikit berdenyut. Beban hidup ini terasa sungguh berat. Aku melihat ke arah Hanin. Wanita cantik itu menepuk pundakku, seolah memberikan semangat jika bukan saatnya untuk menyerah.

"Aku harus cepat, Nin. Ibunya Hadi sudah di jalan," ujarku pada Hanin sambil memeluk dirinya. Hanin membalas pelukanku dengan erat. Kemudian kami berjalan hingga ke parkiran dan berpisah di sana. Aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan standar. Kondisi jalan yang ramai membuatku berpikir dua kali untuk melaju kencang.

Beberapa saat kemudian aku tiba di rumah. Kondisi dari luar terlihat masih sepi, dugaanku jika Ibu pasti belum sampai. Di depan pintu masuk, Hadi berdiri angkuh. Kedua tangannya menyilang di dada. Tatapnnya bagai ribuan jarum yang menusuk tajam. Dengan sangat terpaksa aku menyunggingkan segaris senyum tipis kepada Hadi. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya.

"Puas merajalela?" Pertanyaan Hadi menohok hatiku. Ingin sekali meninju wajah lelaki itu, akan tetapi nasehat Hanin terus terngiang, demi orang-orang yang kusayang, biarlah aku bersabar menghadapi tingkah lelaki sombong yang sedang tegak berdiri di depanku.

"Maaf, aku tidak memberitahu. Ibu sudah di mana?" Aku mencoba mengalihkan pertanyaan.

"Ingat tugasmu! Jadi istri yang baik di depan Ibu."

Selama ini kurang baik apa aku? Selalu berusaha mengikuti aturannya dengan sempurna. Berpura-pura bahagia di depan orang tua dan mertua. Namun, pada kenyataannya hanya kamuflase semata.

Aku bergegas menuju kamar. Membersihkan badan dan mengganti pakaian. Tidak lupa menabur sedikit bedak serta memoles tipis pemerah bibir agar terlihat segar. Aku senang Ibu datang. Dia adalah seorang ibu mertua yang baik dan perhatian. Tidak seperti anaknya, kasar dan arogan.

"Nadia! Cepat keluar. Ibu sudah mau sampai!" seru Hadi di depan pintu kamar. Aku bergegas memakai khimar. Sekali lagi mematutkan diri di depan cermin besar di dalam kamar. Kemudian segera membuka pintu dan buru-buru ingin menyambut ibu di pintu depan. Namun, aku dibuat kaget saat lenganku ditarik dari arah kanan. Lebih kaget lagi ternyata yang melakukan itu adalah Hadi. Ia menggenggam jemariku dan meremasnya.

Lelaki itu memandangku lekat. Ia bergerak maju beberapa langkah. Jarak kami sudah sangat dekat. Aku bisa merasakan embusan hangat yang keluar dari hidungnya. Aroma parfum yang ia kenakan pun menyapu lembut di indera penciuman. Jantungku berdegup kencang, mencoba menetralisir rasa kaget pada situasi yang sedang terjadi.

Hadi mendorong tubuhku menubruk dinding. Aku tercekat tak bisa berkata-kata. Sebelah tanganku diangkat ke atas sementara tubuhnya hampir menempel di tubuhku. Aku gelagapan berusaha menenangkan jantung yang berdetak makin tak keruan. Hawa panas menjalar dari wajah hingga ke ubun-ubun, aku tak bisa bergerak.

"Jangan baper! Ini hanya simulasi biar chemistry di depan Ibu lebih klik!" Hadi berbisik pelan di telingaku. Napasnya masih terus memburu. Sementara aku sedang mencoba keras menetralisir hati yang telah dibuat kacau beberapa detik oleh Hadi.

Ya, Tuhan. Lelaki macam apa dia? Apakah aku mempunyai stok sabar yang lebih sehingga Tuhan menjodohkanku dengannya? Ketukan di pintu mengagetkanku. Aku berusaha melepaskan genggaman dari Hadi. Namun, lelaki itu malah menarik.

"Bersikap manislah di depan Ibu," ucapnya penuh penekanan.

Aku seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Mengikuti perintah sang tuan tanpa berontak. Meski hati sakit dan sedih atas perlakuannya yang susah ditebak, akan tetapi aku berusaha untuk tidak menangis di depan lelaki tersebut. Apalagi ibu mertua sudah tiba di depan rumah.

Hadi membuka pintu depan. Jemari kami masih saling bertautan. Tampak ibu tersenyum senang dalam balutan hijab syar'inya. Wanita itu terlihat lebih segar dari beberapa minggu lalu setelah harus menginap di rumah sakit karena kondisi yang melemah. Sementara Ayah berdiri di belakang Ibu menenteng tas berukuran sedang.

"Bu, Yah, masuk. Kenapa harus repot-repot menjenguk kami? Tinggal telepon, kami akan segera ke tempat Ayah dan Ibu," ucap Hadi dengan nada suara yang sangat ramah.

"Ibu rindu kamu, Di. Rasa-rasa sudah lama nggak jumpa. Banyak yang ibu mau obrolin." Wanita yang masih terlihat cantik di usia yang tidak lagi muda itu melirikku sambil tersenyum. Aku segera menyodorkan tangan untuk menyalaminya.

Setelah mencium Ibu, Hadi pun memeluk Ayah dan mengambil alih barang bawaan dari tangan lelaki paruh baya itu. Ia memperlihatkan senyum termanis yang selama ini hampir tidak pernah dibagikan untukku. Senyum itu hanya akan terlihat saat ia sedang video call bersama Tiara. Itu pun aku melihatnya secara diam-diam.

"Kami mau menginap untuk dua malam ke depan, ya. Ibu mau kasih tips biar Nadia cepat muntah-muntah."

Apa? Muntah-muntah? Maksud Ibu bagaimana? Aku merasa gagal paham mendengar kalimat Ibu. Kulihat Hadi juga salah tingkah. Lelaki itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum ke arah Ibu.

"Iya, tapi ngobrolnya nanti dulu, ya. Ibu dan Ayah istirahat dulu. Di kamar atas saja, ya. Aku bawakan barang-barangnya ke sana." Hadi hendak melangkah menuju tangga, tapi Ayah melarang.

"Kok di atas? Mana bisa Ibumu bolak balik turun tangga. Di rumah saja kami sudah pindah ke kamar bawah. Ibumu gak boleh kelelahan."

"Kamar bawah?" tanyaku spontan. Bagaimana ini? Aku dan Hadi saling pandang. Memang ada tiga kamar di lantai bawah, tapi semua terisi karena kamarku dan Hadi terpisah. Sedangkan satu kamar lagi untuk Mbok Mih. Biasanya setelah lelah bekerja dia akan beristirahat di kamar tersebut.

"Ya, Nak. Ibu ngga boleh kelelahan. Sedikit saja capek langsung sesak napas." Ibu berujar sambil mengurut dada.

"Ya, sudah. Ibu dan Ayah tunggu di sini dulu, ya. Aku dan Nadia beresin dulu kamarnya. Karena selama ini aku pakai untuk ruang kerja. Agak berantakan dengan berkas-berkas," ucap Hadi berbohong sambil merengkuh pinggangku. Tidak biasa diperlakukan seperti ini membuat debaran-debaran itu kembali muncul. Seandainya dia selalu bersikap begini, tentu aku juga tidak akan keras kepala menghadapi dia.

Setelah menyuguhkan minuman dan camilan, kami pun berpamitan pada Ayah serta Ibu untuk mempersiapkan kamar tidur untuk mereka. Tidak semudah itu, di ujung lorong ruangan sebelum menuju ke kamar yang akan dibersihkan, kami masih sempat berdebat memilih kamar mana yang akan ditempati sementara oleh Ayah dan Ibu.

"Kamarmu saja! Nggak mungkin kamarku. Banyak berkas-berkas penting." Hadi berkata ketus.

"Apalagi kamarku. Barangku dua kali lipat barangmu! Kalau kamu sanggup memindahkan dalam waktu kurang dari setengah jam, ya, silakan." Aku menjawab datar.

Karena tidak mempunyai waktu lama untuk berdebat, akhirnya Hadi menyetujui jika kamarnya dijadikan sebagai kamar sementara untuk Ayah dan Ibu. Aku pun membantunya membereskan barang-barang pribadi miliknya. Tidak ada berkas-berkas kerja di sana, karena selama ini ruang kerja Hadi ada di lantai atas.

Baju-baju serta barang-barang yang mencurigakan lainnya segera kami angkut dan dibawa ke kamarku. Untung saja mereka sedang Asyik menikmati teh hangat sambil menonton acara TV kesukaan, sehingga Ayah dan Ibu tidak terpengaruh pada kami berdua.

Hampir setengah jam aku dan Hadi membereskan semuanya. Ia yang memindahkan, sementara aku merapikannya di kamarku. Semua baju-baju lelaki itu kususun rapi dalam lemari yang memang sengaja kukosongkan dua pintu. Begitu juga dengan pakaian dalam dan perlengkapan lainnya telah kusimpan pada tempatnya.

"Jangan terlalu lelah, Nadia. Ingat rahimmu perlu dijaga juga kestabilannya. Kenapa nggak minta tolong Mbok Mih aja buat beres-beres?" Suara Ibu mengagetkanku. Huft! Untung semuanya sudah beres.

Aku tersenyum dan mendekat ke arah Ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar. Kurangkul tangan wanita itu kemudian membawanya ke kamar tempat mereka akan beristirahat.

"Ibu istirahat aja dulu, ya. Yang nggak boleh capek itu Ibu. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran."

Wanita itu mengusap pucuk kepalaku. Duh, jika begini aku sangat merindui Umi. Umi juga terbiasa memperlakukanku begini. Ibu dan Umi memang hampir sama. Mereka adalah sahabat yang seperti saudara. Karena sebab itu mereka bersikeras untuk menjodohkan kami, anak-anaknya. Umi percaya jika Hadi akan menjagaku dengan baik. Demikian juga Ibu menganggap jika aku adalah jodoh yang tepat untuk anaknya.

Hadi mengangkat koper milik Ayah dan Ibu ke kamar. Kami meminta mereka untuk beristirahat terlebih dahulu. Namun, Ibu menolak.

"Ibu belum Ashar. Mau wudhu dulu." Wanita itu beranjak ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Namun, tak lama berselang beliau keluar lagi. Wajah putihnya terlihat memerah. Ia melihat aku dan Hadi bergantian.

"Apa ini? Jadi kalian pakai ini?"

Ibu mengangkat sebuah kotak segi empat tipis berwarna meriah itu. Kotak tersebut dipenuhi dengan tulisan yang berukuran sangat kecil. Dalam jarak beberapa langkah, aku tidak bisa melihat jelas tulisannya.

Aku melempar pandang ke arah Hadi. Kotak tersebut pasti milik lelaki itu karena selama ini dia-lah yang berada di kamar ini. Hadi ternganga melihat ke arah Ibu tanpa sepatah kata. Sementara Ayah mengambil kotak kecil tersebut dari tangan Ibu. Lelaki paruh baya itu sibuk membolak-balikkan kotak yang berada di tangannya seraya bertanya "Kondom?"

"Hah? Kondom?" tanyaku tak kalah kaget.

Pandangan kami bertiga pun tertuju ke arah Hadi.

***

Lanjuuutt, yaaaa

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
alasan bertahan g masuk akal dan si nadia yg gampang baper ksysknya.
goodnovel comment avatar
Butterfly 98
astaghfirullah salah sebut, bucin ke Nadia maksudnya ......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 60: EKSTRA PART 3

    Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 59: EKSTRA PART 2

    "Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 58: EKSTRA PART 1

    Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 57: Ikhlas dan Adil (TAMAT)

    Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 56: Ujian

    Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 55: Ikhlas itu: Mudah Diucapkan, Sulit Diterapkan

    "Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status