Home / Rumah Tangga / BERBAGI SUAMI (TAMAT) / BAB 5: Pertikaian di dalam Kamar

Share

BAB 5: Pertikaian di dalam Kamar

Author: Andri Lestari
last update Last Updated: 2022-07-01 09:14:13

Kami menatap Hadi meminta penjelasan. Dengan berbagai macam pikiran tentunya. Kenapa Hadi membeli kondom? Toh selama menikah kami tidak pernah melakukan hubungan suami istri, jadi kondom yang di kamar mandi itu untuk siapa?

"Jadi kalian pakai kondom?" tanya Ibu menatap lekat anaknya.

"Eh, iya, Bu. Sebenarnya Nadia nggak mau. Aku saja yang paksa." Dia berkata sambil menggaruk kepala. Sering kuperhatikan jika ia sedang berbohong, maka kebiasaan yang dilakukan adalah menggaruk kepala bagian belakang.

"Lha, kapan mau punya bebi, kalau pakai ginian!" seru Ibu sambil menghela napas.

Tega sekali dia membohongi Ayah dan Ibu. Berapa banyak kebohongan demi kebohongan yang telah kami ciptakan. Telanjur berbohong dan akhirnya semakin larut dalam skenario yang entah kapan akan berakhir.

"Kamu belum mau punya momongan, Nadia?" Ibu beralih padaku, sementara Ayah memilih duduk di pinggir ranjang dan memperhatikan kami.

"Mau, Bu. Mau banget," lirihku sambil menunduk. Sebenarnya siapa, sih, yang tidak mau punya keturunan, tapi jika aku memiliki anak dari Hadi apa dia mau menerima? Takutnya lelaki itu malah menghindar dan beralasan jika itu di luar kesengajaan.

"Sengaja Ibu datang mau kasih kamu ramuan herbal agar cepat hamil. Berikhtiar. Bukannya begini. Lalu, kamu Hadi, belum mau punya bebi?" Ibu mencecar Hadi dengan nada putus asa.

Hadi meraih lengan sang ibu dan membawanya duduk di samping Ayah. Kemudian lelaki itu menarik dan merangkul bahuku.

"Siapa bilang aku nggak mau punya bebi, Bu. Hanya aku dan Nadia masih mau pacaran dulu. Kami mau puas-puasin dulu waktu-waktu berdua. Ya, kan, Sayang?" Hadi meminta persetujuanku. Lebih tepatnya memaksa aku untuk ikut berakting seperti dia. Membohongi orang tua.

Kulihat Ibu dan Ayah saling beradu pandang. Mereka kemudian tersenyum satu sama lain.

"Kamu, sih, Bu. Buru-buru aja maunya. Wong anaknya masih mau pacaran dulu. Nggak pernah muda, tho?" Ayah mengejek Ibu yang duduk di sampingnya. Lalu mereka tertawa bersama. Hadi juga ikut tertawa lepas seperti tidak ada beban, lha aku? Apa harus ikutan akting tertawa juga? Benar saja, aku harus ikut tertawa, karena Hadi mencubit bahuku yang sedang dirangkulnya. Artinya aku harus terlihat bahagia.

***

Untung saja aku tidak sedang bersama Ayah dan Ibu lagi, jika tidak berbagai pertanyaan akan muncul seperti tak ada habisnya. Mereka sedang beristirahat sekarang, sementara aku juga ingin merebahkan badan sebentar saja sambil menunggu isya. Baru saja memejamkan mata, sebuah tepukan mendarat di bahuku.

"Eh, malah tidur! Kamu ke sana. Aku mau di sini." Ternyata Hadi. Baru datang sudah main usir.

"Apa? Aku pindah ke sofa? Ogah!" Aku membalik badan memeluk guling.

"Hei! Buruan!" Dia memaksa.

"Kenapa bukan kamu saja yang di sana? Ini kamar siapa? Tempat tidur siapa?" Aku menantangnya.

"Kamarku, tempat tidurku. Karena ini rumahku. Paham?"

Ya, ampun. Ini orang bisa semenjengkelkan itu ternyata. Aku pun berdiri berhadap-hadapan dengan Hadi. Sengaja kutatap bola mata yang agak kecokelatan itu. Tidak terlihat seperti orang jahat. Tapi kenapa perangainya bisa menyebalkan begitu?

"Oke! Akan aku beritahu Ibu sekarang. Juga memberitahu Ibu kalau kondom itu bukan kamu pakai saat bersamaku. Barangkali kamu menggunakannya dengan mantanmu itu. Cih! "ancamku sambil berjalan ke arah pintu.

Hadi menarik lenganku kasar. Refleks aku memutar tangannya. Sehingga menimbulkan suara mengaduh dari Hadi.

"Oke! Aku yang tidur di sofa. Puas? Satu lagi, kondom itu bukan milik siapa-siapa atau dipakai dengan siapa pun. Cuma jadi koleksi saja."

"Koleksi? Ternyata selain suka mengoleksi perempuan, kamu juga suka mengoleksi alat pengaman. Kurasa memang ngga sehat!" seruku sambil menatapnya tak percaya. Aneh!

Hadi mencebik sambil sambil memperlihatkan tinjunya padaku. Lalu, lelaki itu beranjak ke arah sofa lebar yang berada di tepi dinding. Ia masih terlihat meringis sambil memegang pergelangan lengan yang kuputar tadi. Merasa lucu melihat lelaki itu, aku ingin tertawa. Belum tahu dia kalau aku pernah menyandang sabuk merah di taekwondo.

"Maaf. Aku nggak sengaja." Aku berjalan mendekat. Meraih lengannya dan menggusuk perlahan. Tidak ada reaksi penolakan, mungkin karena memang sakit dan lelah jadi dia pasrah menerima perlakuanku. Tanpa kusadari lelaki itu telah tertidur. Dengkuran halus yang muncul menandakan jika Hadi sudah ternyenyak. Aku menghentikan gerakan tangan. Kuberanikan diri untuk melihat wajahnya yang sedang pulas. Damai sekali rasanya. Aku mencoba memindai wajah lelaki itu dari jarak yang sangat dekat, tanpa diketahui oleh pemiliknya. Bulu mata lentik saling beradu. Pori-pori kecil di wajah mulus milik lelaki itu bisa kulihat dengan jelas. Lekukan bibir berwarna cerah, ditambah hidung lancip yang aduhai. Tak bisa dimungkiri jika Hadi memang sangat tampan. Jika dia mencoba untuk berdamai dengan kondisi seperti aku, mungkin sekarang kami sedang belajar untuk menerima satu sama lain.

Lelah menjalani hidup seperti ini. Tertekan serta tersiksa lahir batin. Hidup dalam kepura-puraan yang entah kapan akan berakhir.

"Apa kamu nggak mau mencoba untuk kita agar saling menerima? Secinta apa, sih, kamu sama mantanmu itu? Aku juga nggak kalah cantik, kok, dari dia. Asal kamu tau, Azzam bahkan lebih tampan daripada kamu, tapi aku coba untuk melupakan. Bukan seperti kamu, gagal move on!" Aku berujar pada Hadi yang sedang terlelap.

Sebelum beranjak dari sofa, kutatap sekali lagi wajah itu sambil berdoa agar Tuhan membuka hatinya untuk menerima kehadiranku. Tapi, tak berapa lama Hadi membuka matanya. Aku tertangkap basah. Segera kupalingkan wajah dan bangkit dari sofa. Namun, lelaki itu menarik gamisku hingga langkahku tertahan. Ia kembali mengentak, karena tak bisa menjaga keseimbangan, aku pun terjatuh ke atas tubuh Hadi. Aku merasakan sekujur tubuh menjadi kaku seketika. Aku tidak bisa bergerak walau hanya mendongakkan kepala. Tubuh kami tidak berjarak. Kutenggelamkan wajahku ke dadanya yang berada di bawah tubuhku. Sementara tangan kutangkupkan di bawah dada, tak ingin memeluk tubuhnya.

"Ngapain kamu tadi, hah?" Suaranya terdengar seperti bentakan di telinga. Lidahku kelu tak bisa menjawab. Aku ingin segera terbebas dan keluar dari kamar. Setelah menanti tak ada jawaban, Hadi menarik jilbab hingga kepalaku mendongak. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Terasa hawa panas sudah menjalar ke seluruh tubuh.

"Kok diam? Tadi berani. Sekarang kenaoa berubah jadi pendiam?"

"Kamu apa-apaan, sih? Lepas! Kalau nggak aku tonjok bibirmu biar dower!" ancamku serius.

Dia malah mengeratkan pegangan di pinggang. Menekan tanpa perasaan. Hadi malah tertawa. Tubuhku berguncang mengikuti irama tubuh Hadi yang sedang tertawa.

"Kamu pikir aku takut? Kamu anak taekwondo, kan? Aku anak karate. Trus mau apa?"

Hup ....

Secepat kilat lelaki itu mengecup bibirku. Getaran aneh itu kembali menjalar menyusui aliran darah di dalam tubuh. Meski sekejap, tapi meninggalkan bekas untukku.

"Gila kamu!" Aku berontak melepaskan diri.

"Katanya mau tonjok, itu sudah kutonjok pakai bibir. Belum cukup? Lagi?" cecarnya bertubi.

"Kamu itu bisa sopan nggak, sih? Jahat banget!" Suaraku mulai bergetar. Emosiku hampir meledak karena tingkah Hadi.

"Lho, sejak tadi kamu lihatin aku terus. Bukannya itu yang kamu mau? Selama kita nikah kamu belum dikecup, kan? Belum dibuka segelnya."

Refleks aku menampar Hadi. Kata-katanya sudah sangat kasar untukku. Aku tidak pernah meminta untuk diperlakukan sesakit ini. Tak terasa air mataku merembes juga. Sudha susah payah aku menahan agar tidak menangis di depan lelaki itu. Namun, kali ini aku sudah tidak sanggup. Hadi memperlakukanku tak ubah seperti wanita murahan yang ia dapat di pinggir jalan. Keterlaluan!

Aku menuju pintu ingin keluar dari kamar. Tak kuhiraukan panggilan Hadi. Aku muak melihat wajahnya. Lelaki tak punya hati dan empati. Lebih baik dia melanjutkan pernikahannya dengan Tiara. Agar aku bisa tenang dan terbebas dari jerat pernikahan yang tak sehat ini.

"Di, tunggu. Jangan keluar, nanti Ayah dan Ibu lihat kamu nangis!" Lelaki itu menghadang jalanku di depan pintu kamar.

"Biar mereka tau. Bukankah itu yang kamu mau?"

***

Next, ya .... Semoga pada suka, deh😊

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
jdi perempuan itu mahal dikit thor,,yg terlalu murahan btul..penglam loe ya thor??
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
yap betul...
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
memangnya kamu masih punya harga diri nadua? makanya tegas jadi perempuan dan jgn jadi benalu dari laki2 yg g menghargai kamu. perempuan g punya harga diri dan tolol
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 60: EKSTRA PART 3

    Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 59: EKSTRA PART 2

    "Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 58: EKSTRA PART 1

    Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 57: Ikhlas dan Adil (TAMAT)

    Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 56: Ujian

    Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 55: Ikhlas itu: Mudah Diucapkan, Sulit Diterapkan

    "Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status