Share

BAB 6: Sandiwara

Aku mendorong tubuh Hadi menjauh. Namun, aku kalah kuat. Lelaki itu memeluk tubuhku dari belakang kemudian ditarik ke kamar. Pintu ditutup menggunakan kaki, sementara sebelah tangannya ia gunakan untuk mengunci pintu.

"Apa-apaan, sih, kamu?" Aku menyikut perut lelaki itu. Ia mengaduh, tapi tetap tidak melepaskan pelukan.

"Sakit tau!" Ia berseru dengan suara yang sepertinya sengaja ditahan. Mungkin saja biar Ayah dan Ibu tidak mendengar kegaduhan kami.

"Lepasin, nggak? Atau aku teriak biar heboh?"

Hadi membekap mulutku dengan ke dua telapak tangannya dari arah belakang. Otomatis aku menjadi susah bernapas karena hidung juga ikut tertutup rapat. Terpaksa aku menggigit telapak tangan yang menekan mulut serta hidungku itu.

"Aww!" pekik Hadi sambil mengentakkan tangannya ke bawah.

"Rasain!" Aku mendelik tajam ke arah lelaki berhidung mancung itu.

Hadi memilih duduk di atas sofa sambil menekan-nekan telapak tangannya. Sedangkan aku berdiri tepat di depan lelaki itu. Rasa kesal serta emosi telah menyelimuti diri.

"Kamu tau, aku memang istrimu. Pernikahan kita sah dalam agama juga di mata hukum. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya bertindak."

Lelaki itu diam tanpa kata. Ia masih terpekur dengan telapak tangan yang terlihat memerah.

"Aku akan memberikan hakmu saat kamu memperlakukanku dengan layak. Karena aku juga berhak atas hakku atas dirimu."

Aku melengos berlalu ke arah pintu. Tak peduli lagi dengan kondisi Hadi yang masih tidak menjawab atau pun membantah kata-kata yang telah kuucap. Saat tanganku meraih handel pintu, lelaki itu memanggilku.

"Aku akan menikahi Tiara setelah Ayah dan Ibu pulang."

Aku tak menghiraukannya. Setelah sempat berhenti beberapa saat dan mendengarkan perkataannya, kemudian aku berlalu dari kamar yang tiba-tiba mendadak pengap. Terserah! Kali ini aku tidak akan melarang. Apa pun keputusan Hadi aku tidak bisa lagi menghentikannya. Timbul niat untuk menceritakan semuanya pada Ibu. Setelah mempertimbangkan hal-hal yang nanti akan terjadi, aku pun memantapkan niat untuk menemui Ibu di kamarnya. Setiba di depan pintu kamar orang tua Hadi, dengan penuh keyakinan aku mengetuk dan menunggu sahutan Ibu dari dalam.

"Masuk, Sayang," jawab Ibu.

Gagang pintu kuputar dan aku mendapati Ibu sedang khusyuk di atas sajadahnya. Tampak Al-quran yang sedang ia pegang dalam keadaan tertutup.

"Ah, Nadia. Ibu baru saja mau panggil kamu." Ibu tersenyum saat membalikkan badan. Aku berdiri di dekat pintu tak ingin mengganggunya.

"Ibu mau tilawah, ya. Aku tinggal keluar dulu." Aku hendak keluar.

"Ibu sudah selesai ngajinya. Sini, duduk dekat Ibu."

Aku pun beranjak mendekat. Melihat senyum dan rona bahagia di wajahnya, keinginanku untuk menceritakan semuanya menjadi sirna. Tak tega rasanya jika Ibu mengetahui semua apa yang sedang terjadi pada rumah tangga kami. Namun, aku juga tidak sanggup jika terus-terusan begini. Hidup dalam kebohongan yang kerap kali harus dilakukan. Berpura-pura bahagia di depan orang-orang yang disayangi.

Aku duduk di samping Ibu. Wanita itu mengelus pucuk kepalaku yang tertutup jilbab kaos berwarna salem. Tak berani melihat matanya, aku pun menunduk menyembunyikan semua cerita.

"Nadia, gimana kabar Umimu? Sudah lama Ibu dan Umi tidak saling memberi kabar."

"Alhamdulillah sehat, Bu. Hampir setiap hari Umi menelepon."

Kami pun asyik bercerita tentang Umi. Persahabatan mereka yang dimulai sejak puluhan tahun lalu. Karena kedekatan mereka berdua, akhirnya Ayah dan Abi terpaksa juga harus saling mengenal akibat intensnya pertemuan yang sering dilakukan oleh kedua wanita tersebut. Aku mendengarkan dengan baik, sesekali diiringi oleh tawa yang berderai

Ibu mertuaku tidak jauh beda dengan Umi. Sifat mereka hampir mirip satu sama lain. Melihat Ibu, aku jadi merindukan Umi. Sudah lama kami tidak berjumpa, terakhir kali bulan lalu saat aku dan Hadi berkunjung ke rumah Umi.

"Semoga kamu dan Hadi bahagia selalu. Ibu dan Umimu yakin tidak salah karena telah menjodohkan kalian berdua. Satu cantik, satunya tampan. Tuh, kan, Ibu jadi nggak sabar lagi mau nimang cucu yang pasti nanti lucu-lucu."

Ibu merangkul bahuku. Sementara aku semakin larut dalam kesedihan yang tertahan. Tak mungkin menumpahkan air mata di depan wanita itu. Aku membalas pelukan Ibu erat. Berharap semoga beban yang menindih dada bisa sedikit bergeser.

"Kok peluk-pelukan? Habis bahas apa?"

Suara Hadi mengagetkanku. Entah sejak kapan lelaki itu berdiri di ambang pintu yang sedikit terbuka. Ibu melepaskan pelukan. Tanpa kuduga Hadi memelukku bersamaan dengan Ibu. Tak bisa mengelak, aku pun membalas rangkulannya. Lagi dan lagi berusaha menampakkan kebahagiaan yang palsu semata. Berusaha menghadirkan sebuah sandiwara yang kami lakoni dengan apik tanpa cela.

***

Sudah empat hari Ibu dan Ayah berada di rumah. Meleset dari perencanaan awal yang katanya hanya dua hari. Terpaksa juga Hadi mengundurkan hari pernikahannya dengan Tiara. Jadwal yang telah ditentukan harus bergeser karena kedatangan kedua orang tuanya. Siang ini Ibu dan Ayah akan pulang. Meski menurut Ibu, ia belum puas melepas rindu, akan tetapi Ayah bersikeras untuk pulang. Rindu rumah katanya. Aku pun bersyukur dalam hati karena kehidupanku akan normal kembali. Tidak seperti beberapa hari ini harus selalu bersikap layaknya suami istri di depan mertua.

"Jaga Nadia baik-baik, ya, Sayang," pesan Ibu pada anak semata wayangnya. Mereka berpelukan seperti biasa.

"Kamu harus jadi suami yang siaga untuk istrimu. Jangan buat malu Ayah pada Abinya Nadia." Ayah menepuk bahu Hadi dan melemparkan senyum ke arah kami. Hadi merengkuh pinggangku dan sedikit menariknya agar jarak kami berdekatan. Aku menurut saja karena Ayah dan Ibu masih berdiri di depan kami. Hingga mereka berdua masuk ke mobil dan berlalu dari pandangan, akhirnya Hadi melepaskan lingkaran tangannya di pinggangku. Lelaki itu melangkah ke dalam rumah tanpa mengajakku ikut bersama. Di sudut teras kulihat Mbok Mih sedang memperhatikan kami berdua, aku mengisyaratkan agar ia masuk terlebih dahulu. Aku tidak ingin Mbok Mih melihat atau mendengar setiap perlakuan buruk Hadi terhadapku. Meskipun aku sering menumpahkan segala permasalahan padanya.

"Oya. Besok aku akan menikah. Setelah pernikahan, Tiara akan kuboyong kemari."

Benar saja dugaanku. Lelaki itu kembali berulah. Untung Mbok Mih telah masuk dan tidak mendengarkan ucapan Hadi yang membuat telinga siapa saja akan terasa panas. Tidak ada gunanya segala bentuk nasehat yang diberikan oleh Ayah dan Ibu, buktinya lelaki itu tetap pada pendiriannya. Dia lebih memilih sang mantan dari pada mencoba untuk membenahi rumah tangga yang lebih dulu telah tercipta. Bagaimana ia bisa mengatakan sayang pada sang bunda, jika ternyata tingkahnya lebih bengis tak berperasaan.

Aku menghela napas panjang. Walau tidak bisa menerima sikapnya yang semena-mena, akan tetapi aku akan mencoba untuk menyiapkan diri menyambut orang baru yang akan hadir di tengah-tengah kami. Aku sudah siap dengan hal terburuk apa pun yang akan terjadi di depan. Karena sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepintar-pintarnya Hadi menutup rapat perihal pernikahan keduanya, aku yakin suatu saat akan terbongkar juga.

Aku menunggu kedatanganmu, Tiara!

***

Next yaaaaaa

Komen (1)
goodnovel comment avatar
lina ardiana
istri bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status