Share

BAB 7: Pernikahan Kedua

Pagi ini setelah salat Shubuh sengaja aku menyibukkan diri di luar kamar. Sejak tadi malam sebenarnya aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana membayangkan bagaimana nanti kira-kira hari-hari yang akan kulalui bersama maduku? Satu hal lagi yang sebenarnya paling penting, aku ingin memata-matai Hadi. Tentu pagi ini adalah pagi yang sangat bahagia baginya. Tepat pukul sembilan nanti, dia akan kembali menikah dengan orang yang memang diinginkan sejak dulu. Orang yang terpaksa ditinggalkan karena kedatanganku.

Pura-pura membersihkan debu di atas meja ruang tamu, aku masih menanti kehadirannya. Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bersiap-siap untuk meluncur ke tempat pernikahan? Ah, andai saja aku bisa seperti dia, kembali menikah dengan Azzam, tentu aku juga akan bahagia. Sungguh tak adil rasanya, di saat Hadi berusaha untuk mencari kebahagiaan yang lain dan mengabaikan kehadiranku, terbesit di hati ingin melakukan hal yang sama seperti dia. Ah! Ternyata pernikahan itu sangat menguras otak dan perasaan.

Sudah hampir pukul tujuh, aku belum beranjak dari ruang tamu. Sengaja aku memilih berlama-lama dengan niat untuk menunggu kepergian Hadi. Entah sudah berapa kali aku membersihkan meja yang sama. Hatiku berdetak semakin tak karuan, berpacu dengan dentang jarum jam yang kian menyiksa.

Tak berapa lama terdengar suara deheman dari arah belakang. Aku pura-pura tidak mendengar dan sengaja tidak berpaling ke belakang. Ketukan sepatu di lantai keramik berwarna putih tulang itu terdengar semakin mendekat. Aku semakin berpura-pura menyibukkan diri mengelap sisi-sisi sofa dan meja.

"Tumben! Biasanya jam segini kamu masih di kamar. Bahkan hampir nggak pernah keluar kamar hingga aku berangkat kerja. Kenapa sekarang ada penampakan lain?"

Gerakanku terhenti mendengar perkataan Hadi. Memang benar apa yang ia sampaikan. Biasanya aku tidak pernah keluar kamar sebelum Hadi pergi. Sengaja memang, karena tidak ingin bertemu dengannya saja. Aku menoleh ke arah Hadi yang terlihat sangat rapi juga tampan. Tak bisa kumungkiri hal itu. Lelaki itu mengenakan kemeja seperti pakaian hendak ke kantor. Apa dia tidak jadi menikah? Atau Hadi akan menikah menggunakan pakaian formal seperti itu?

"Apa kamu tidak mau berpikir lagi? Gimana dengan Ibu dan Umi jika mereka tau kamu nikah lagi?" Aku memberanikan diri mengeluarkan pendapat. Ya, dia tidak harus memikirkan aku, tapi ada hati lain yang harus dijaga. Ada perasaan dua wanita lain yang harus diingat. Dua wanita yang sangat bernilai untukku serta dia.

"Kenapa baru ngomong sekarang? Kemarin-kemarin kamu ke mana? Saat aku beritahu ingin nikah lagi, kamu diam saja, bahkan sempat-sempatnya menyuruhku agar menyegerakan pernikahan tersebut."

Sepertinya usahaku untuk membuka pikiran Hadi sia-sia. Aku yakin jika lelaki itu telah memikirkan matang-matang. Dia lebih tahu resiko seperti apa yang akan terjadi di depan. Keputusan telah dibuat, tak mungkin Hadi akan membatalkannya.

"Oke! Kalau kamu memang bersikeras. Aku nggak bisa melarang lagi. Semoga Ibu dan Umi sehat-sehat saja." Aku berkata pelan. Namun, kuyakin Hadi mendengarnya.

"Oke. Aku pergi. Setelah menikah nanti, istri baruku akan segera kuboyong ke rumah ini."

Aku memilih diam serta menatap lelaki itu lekat. Entah kenapa dadaku bergemuruh tak menentu setiap berpas-pasan dengan Hadi.

"Semoga kamu bisa bahagia!" seruku teramat pelan. Sementara Hadi melangkah ke arah pintu depan. Tubuh tegapnya tinggi menjulang dibaluti kemeja berwarna hitam. Ia tidak mengenakan dasi seperti biasanya. Kemudian terdengar deru mobil yang meninggalkan rumah. Terasa dadaku seperti dihimpit beban berat. Sesak menghujam jiwa. Entah kenapa aku seperti merasa kehilangan Hadi. Aku merasa kalah sebelum berjuang. Di sisi lain kekesalanku tak diayal terhadap lelaki itu. Lelaki pengecut yang lari dari masalah. Bahkan dia tidak tahu jika sedang menciptakan masalah baru.

Air mataku terus merangsek keluar. Tergesa aku berlari ke kamar, tak ingin dilihat oleh Mbok Mih. Kenapa pula aku harus mengeluarkan air mata untuknya? Kutanya pada hati apakah ada rasa cemburu? Jujur, aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang kulontarkan sendiri.

***

Hari sudah menjelang siang. Hadi belum juga pulang sepertinya. Aku masih meringkuk di atas ranjang. Perut terasa perih karena memang sejak pagi tadi belum diisi apa-apa. Mbok Mih berulang kali menawarkan untuk membawa makanan ke kamar, akan tetapi aku menolak. Aku tidak mau merepotkan siapa pun.

"Nak Nadia nggak enak badan, ya? Mau si Mbok kerokin?" tawar Mbok Mih beberapa jam lalu. Namun, aku secara halus menolak kebaikan hati wanita yang sudah tidak lagi muda itu.

Aku memaksakan diri untuk bangun. Tak lupa mengikat rambut yang tergerai panjang. Dengan langkah berat aku berjalan ke kamar mandi. Sudah waktunya salat Dhuhur. Masih ada yang tidak baik-baik saja di dasar hati sana. Entah kenapa aku merasa teramat sedih dengan keputusan Hadi. Berulang kali kubasuh wajah agar perasaan ini tenang, tetap tidak bisa.

Setelah berwudhu, perasaanku agak tenang. Kuraih mukena marun yang tergantung di gantungan lemari. Saat hendak takbiratul ihram, terdengar panggilan dari luar kamar. Ya, lelaki itu sudah kembali dan sedang mencariku sekarang. Apakah dia ingin mempertemukanku dengan Tiara yang sekarang telah sah menjadi istrinya? Tak kuhiraukan, aku tetap melanjutkan salatku.

Beberapa menit kemudian, setelah selesai menunaikan kewajiban, aku kembali menyelimuti diri di atas ranjang. Pintu kamar sengaja kukunci agar Hadi tak masuk sembarangan. Pun semua barang-barangnya telah kupindahkan kembali ke kamarnya setelah Ayah dan Ibu pulang.

Ketukan di pintu mengagetkanku. Apalagi maunya lelaki itu. Kenapa dia tidak menikmati saja waktu-waktunya bersama istri baru? Tak perlu menggangguku. Semakin tak kugubris, ketukan itu semakin bertalu diiringi dengan panggilan dari luar kamar.

"Nadia, kamu ngapain aja? Buka pintu!" seru Hadi dari luar. Tak ingin ribut, aku pun beranjak membuka pintu. Sebelumnya kuraih jilbab kurung untuk menutupi rambutku dari pandangan Hadi.

"Kamu nggak punya telinga?"

"Punya!"

"Jadi kenapa nggak buka pintu dari tadi?"

"Shalat," jawabku datar. Sorot matanya terlihat lelah. Ah! Sejak kapan aku mulai memperhatikannya?

"Keluar sebentar, Tiara menunggumu." Mata lelaki itu menatapku tak berkedip. Kali ini terlihat lebih lembut, tidak sangar seperti biasanya.

"Apa harus sekarang? Nikmati dulu kebersamaan kalian. Kenapa harus buru-buru untuk bertemu denganku?"

"Sebentar saja. Setidaknya kamu sebagai tuan rumah menyambut kedatangannya."

"Tuan rumah? Bukankah tuan rumah itu kamu? Sementara aku cuma orang asing yang kebetulan tersesat ke sini. Jadi siapa pun yang keluar masuk tidak perlu kuketahui. Apalagi dia akan menjadi nyonya besar di rumah ini."

Hadi tak berkutik. Lelaki itu masih betah berdiri di depan pintu, sedangkan aku memilih duduk di pinggir ranjang. Pintu kamar sengaja kubuka lebar agar lebih leluasa berbicara.

"Oke. Aku akan ikut semua permainanmu. Jangan salahkan aku dengan tudingan tidak adil untukmu."

Oh, Tuhan. Lelaki itu seperti amnesia. Dia bicara tentang keadilan padaku? Amboi!

"Adil? Apa selama ini kamu adil? Apa selama ini kamu memperlakukanku layaknya seorang istri?" cecarku tajam. Sekuat tenaga aku berusaha untuk meredam emosi. Dasar, lelaki tak punya hati. Bisa-bisanya ia menyudutkanku tentang keadilan. Tahu apa dia masalah adil?

Saat kami saling melempar argumen, dari arah belakang Hadi muncul wanita cantik yang sedang kuhindari bertatap muka sejak tadi. Namun, siapa sangka, dengan penuh percaya diri dia muncul di tengah-tengah kami. Make up tipis masih menempel di wajahnya yang oval. Wanita yang mengenakan terusan berwarna hijau muda itu melempar senyum ke arahku. Kemudian jemarinya yang lentik ia kaitkan dengan jemari Hadi. Aku berusaha terlihat biasa-biasa saja. Meski aku juga istri sah Hadi, tetapi cinta lelaki itu hanya ada untuk Tiara.

***

Lanjuuuttt

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sujenti Assa
Satu kata buat Nadia BODOH
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status