Share

BAB 9: Statusku?

Obrolanku dengan Mbok Mih membuat aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Apa sebenarnya tujuan pernikahan yang telah kulakukan? Apa aku akan sanggup terus-terusan begini? Diperlakukan seperti orang lain oleh lelaki yang berstatus suami.

Adakah rasa ikhlas itu di hatiku? Namun, kenapa aku harus memedulikannya, sementara di hatiku sama sekali tak ada cinta untuk lelaki itu.

Sudahlah! Jalani saja dulu. Mana mungkin hatiku tak ikhlas. Meski dia adalah suami sahku, tapi di dalam bilik hati ini sama sekali tidak ada tersimpan namanya di sana.

Sepeninggal Mbok Mih, aku kembali mengurung diri di kamar. Kamar adalah tempat ternyaman untukku saat Hadi sedang berada di rumah. Sebisa mungkin aku harus menghindar agar tak saling bertatap muka dengan mereka. Seperti siang tadi, aku membawa masuk makan siangku ke kamar. Di kamar aku bisa menyantap makan siang sambil bersantai tanpa harus bertemu dengan Hadi maupun Tiara. Bukan urusanku dengan dua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu.

Setelah selesai menyantap makan siang, perlahan aku membuka pintu kamar hendak membawa piring kotor ke dapur. Aku mengintip di balik pintu, memastikan jika pasangan suami istri itu sedang tidak berada di dapur. Setelah yakin seratus persen, aku pun berjinjit menuju ke arah dapur. Sialnya aku harus melewati kamar Hadi dan Tiara. Bagaimana jika nanti berpas-pasan di sana?

Sekuat tenaga aku menepis rasa tak nyaman yang saban hari selalu menggelayut di pikiran. Kukuatkan hati jika aku adalah menantu sah. Kedua mertuaku sangat menyayangiku dan Hadi sangat takut jika rahasia ini terbongkar. Jadi sebenarnya aku memegang kartu AS di rumah ini. Kenapa harus merasa tak enak atau sungkan?

Saat tiba di depan pintu kamar Hadi. Kulihat pintu kayu itu tertutup rapat tanpa celah. Namun, samar-samar aku bisa mendengar cekikikan wanita dari dalam kamar. Aku menebak jika itu adalah Tiara. Sedang apa mereka? Rasa penasaran membuatku berhenti dan mendekatkan telinga ke daun pintu. Suara yang tadi samar-samar, semakin jelas menyapa telinga. Desahan bergantian dari Hadi dan Tiara membuat bulu kudukku meremang. Meski belum pernah melakukan hubungan suami istri dengan Hadi, tapi aku tidak bodoh. Aku tahu apa yang sedang mereka lakukan. Suara itu seperti sedang saling kejar. Semakin cepat dan berirama. Seperti pacu hatiku yang kian melaju kencang. Membuat tubuhku menegang di depan pintu. Sebelah tanganku masih memegang piring kotor yang berisi gelas kosong. Mataku memanas dan berkabut. Tak terasa air mata hangat menjalari pipi. Demi apa aku harus menangis? Bukankah sudah pantas mereka begitu, toh, Hadi dan Tiara sudah halal menurut agama.

Setelah suara aneh itu tak lagi terdengar, digantikan dengan suara tawa dan rengekan-rengekan manja dari Hadi serta Tiara. Telingaku tiba-tiba terasa sakit. Gegas aku menuju dapur dan meletakkan piring kotor di dekat westafel. Beberapa saat lamanya aku memilih duduk di salah satu kursi meja makan. Menetralkan darah serta pikiran. Sudah dua gelas air putih kutenggak paksa. Desahan yang tadi terdengar masih menari-nari di pikiran.

***

Beberapa jam berlalu. Aku masih terpekur di atas sajadah. Menekuri ayat demi ayat Alquran yang beberapa saat sudah tak pernah lagi tersentuh. Terdengar ketukan di pintu kamarku, "Nadia. Yuk makan!" seru Tiara dari luar. Ah! Kenapa dia harus menggangguku.

Aku tak menyahut. Sengaja kubesarkan suara bacaan tartil dari dalam. Dia harus tahu jika aku sedang membaca Alquran tanpa harus kuberitahukan.

Selang beberapa saat, tidak lagi terdengar suara panggilan Tiara. Aku menarik napas lega dan kembali terpekur dengan terjemahan ayat yang baru saja kubaca.

"Nadia, makan. Ngapain kamu?"

Hilang Tiara, datang lagi pengganggu kedua. Siapa lagi kalau bukan Hadi. Kenapa mereka harus sibuk dengan kehadiranku di meja makan? Bukannya mereka bisa menikmati saat-saat berdua. Apa urusannya denganku?

"Nadia. Jangan sampai membuatku marah. Kamu bukan anak-anak lagi yang harus dipanggil berulang kali."

Aku geram mendengar kalimat Hadi. Setelah menutup Alquran, segera aku beranjak dan membuka pintu kamar. Mukena berwarna cokelat muda masih bertengger menutupi kepala.

"Kamu kenapa, sih? Kalau kalian mau makan, ya, silakan! Kenapa harus mengajakku?"

"Karena aku mengingat pesan Umi agar selalu menjagamu sebaik mungkin. Jangan gara-gara telat makan, sakit kepalamu kambuh. Aku juga yang susah!" Lelaki itu berujar datar. Sama sekali dia tidak melihat ke arahku saat berbicara. Aku melihat gerak-geriknya yang acuh. Memanggilku begini seperti terpaksa dilakukan.

"Bukan urusanmu, Hadi. Aku masih belum lapar."

Kututup pintu kamar tanpa memedulikan bagaimana reaksinya. Kembali terngiang wejangan dari Hanin agar aku bersikap lemah lembut pada Hadi. Berusaha dan berupaya untuk membuatnya jatuh cinta. Apakah aku bisa mengalahkan Tiara, wanita yang jelas-jelas sangat dicintai oleh Hadi?

Aku menunggu di kamar hingga mereka menyelesaikan makan malamnya. Setelah dua puluh menit berlalu, aku yakin jika Hadi dan Tiara telah meninggalkan meja makan. Aku pun segera membuka pintu kamar. Rasa lapar tanpa kompromi melilit perutku. Membuat cacing-cacing ikut berdemo meminta jatah makannya yang belum diberikan.

Setelah keluar dari kamar, aku berjalan santai menuju meja makan. Di tengah jalan, setiba di ruang televisi, aku melihat pemandangan yang membuat mataku menyipit. Lelaki itu merebahkan badannya di atas sofa. Ternyata ada Tiara yang sedang duduk sambil memangku kepala mantan kekasihnya. Wanita itu sedang memegang sepotong apel yang telah dikupas, kemudian menyuapkan ke mulut Hadi. Ah, sial! Kenapa aku harus dihadapkan pada pemandangan seperti ini.

"Eh, Nadia. Sini, mari. Duduk sama kita. Nonton, yuk!"

Tiara memanggilku. Aku menebalkan telinga pura-pura tak mendengar. Wanita itu masih terus memanggil hingga berulang kali. Alah! Aku tahu trik permainannya yang ingin terlihat peduli bisa jadi. Sedikit pun aku tak mengalihkan pandangan padanya. Kuayunkan langkah menuju meja makan. Ternyata sudah ada makanan tertata rapi di atas meja. Kuperhatikan dengan seksama jika itu bukanlah sisa dari masakan yang dimasakkan Mbok Mih siang tadi. Apa barangkali Tiara yang memasak. Hmm! Bodo amat! Tak peduli masakan siapa yang ada di atas meja, aku mengambil piring dan meletakkan sesendok nasi beserta lauknya. Perutku sudah tak bisa diajak berdiskusi lagi.

BRAAK!

Astaghfirullah. Hadi muncul di depanku dan menggebrak meja makan yang terbuat dari kayu jati itu keras. Aku kaget dan sedikit melonjak dari kursi yang kududuki.

"Nadia! Kamu kenapa, sih? Dipanggil berulang kali, tapi tidak merespon. Telinga kamu mana?"

"Lha. Telingaku di sini, kok!" seruku polos.

"Kamu bisa tidak sedikit saja menghargai Tiara. Dia itu istriku."

Aku membanting sendok di piring yang masih berisi nasi serta lauk. Belu sesuap pun nasi di piring berpindah ke dalam mulut, tapi Hadi sudah kembali mencari-cari masalah.

"Lalu, aku siapa?" tanyaku sambil bangkit dari kursi dan sedikit mendongak menatap lelaki itu. Tinggi kami yang tak seimbang membuat aku harus selalu mengangkat leher agar bisa menatap matanya.

"Kamu juga istriku. Hanya status. Beda dengan Tiara!"

***

Duh! Hadi jahat bener!a

Komen (10)
goodnovel comment avatar
asrinaspd spd
seru sih sygz g bisa terbuka bab 11x
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kayaknya si penulis dlm kehidupan nyata mungkin pelakor atau istri sah g berguna. alasan bertahan g masuk ajal. mati ajalah kau nadia sholat tapi pembohong besar
goodnovel comment avatar
Siska Adam
mending d hapus aja aplikasix
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status