"Maafkan anak Mama ya Sayang!" ucap Ambar malam itu, sambil menangis, memeluk menantu kesayanganya itu.
Drajat Papa Farhan juga hanya dapat menghela nafasnya kasar, sambil menatap iba, ke arah Aisyah, menantunya."Farhan benar-benar keterlaluan, dia bahkan tak mendengarkan nasihat Papa dan Mama. Dia ngotot akan tetap menikahi Gendis." raung Ambar, merasa kecewa dengan keputusan putra sulungnya."Aisyah tidak apa-apa kok Ma.." jawab Aisyah berusaha tidak menangis di depan mertuanya.Ia ingin bersikap tegar, dengan masalah yang sedang ia hadapi."Mama benar-benar malu kepada Abah dan Umi kamu, Nak. Juga keluarga besar kamu yang lain, apa yang akan mereka katakan, jika tahu dengan masalah ini?!" ucap Ambar, masih berderai air mata."Padahal dulu Mama yang ngotot untuk menjodohkan kalian kepada Ummi Salma, tapi sekarang? Ya Allah.. mereka pasti sangat kecewa kepada kami Nak.." ucap Ambar lagi, menggenggam kedua tangan sang menantu.Aisyah hanya dapat tersenyum getir mendengar itu.Ia memang tidak menceritakan masalah ini kepada kedua orangtuanya.Aisyah tidak mau membebani pikiran Abah dan uminya yang sudah mulai sepuh.Jadi untuk sementara ini, ia masih menyimpan rapat-rapat, semuanya sendirian."Farhan mana?" tanya Drajat, Papa Farhan."Mas Farhan belum pulang Pa, katanya malam ini dia harus lembur." jawab Aisyah, berusaha tenang dan baik-baik saja.Drajat dan Ambar saling berpandangan dengan tatapan kesal. Berarti Farhan belum berkata jujur kepada istrinya, jika sebenarnya mereka sudah melaksanakan pernikahan secara Sirri, karena permintaan Gendis, yang tidak mau menunda pernikahan mereka.Ya Allah Aisyah..kami jadi semakin merasa bersalah kepadamu.. Ambar menatap wajah menantunya iba. Tapi ia juga tidak sanggup untuk mengabarkan berita itu, kepada Aisyah."Umi, ayo kita makan..Akbar sudah laper .." seru Akbar, yang tadi asik dengan mainan yang di bawakan oleh kakek neneknya, kini mulai merengek karena lapar."Kebetulan Papa dan Mama ada disini, kita makan malam bareng yuk, Aisyah sudah masak tadi." Ajak Aisyah, sembari tersenyum.Tak mau mengecewakan menantu kesayangan mereka, Ambar dan Drajat bangkit dari duduknya, mengikuti Aisyah ke ruang makan."Masya Allah..ini semua kamu yang masak Nak?" tanya Ambar saat melihat hidangan di meja makan, yang sudah penuh dengan masakan lezat, dan terlihat begitu menggugah selera.Aisyah terkekeh pelan."Tadi di bantuin Mbok Jum kok Mah, waktu masak." jawab Aisyah, menyebut nama pembantu rumah tangganya, yang selalu datang pagi, dan pulang sore.Sebenarnya Aisyah tak terlalu membutuhkan bantuan pembantu, untuk ukuran rumah nya yang tak terlalu luas.Tapi karena kasihan dengan wanita yang memiliki 4 anak itu, akhirnya Aisyah menerimanya bekerja."Farhan itu benar-benar sudah di butakan oleh si Gendis! sudah punya istri cantik, Sholeha, pintar masak pula! tapi masih saja tertarik dengan perempuan lain!" gerutu Ambar sangat kesal.Drajat segera mencolek pinggang istrinya, untuk tidak membahas itu di depan anak-anak.Tapi sayangnya, Arash sudah paham dengan kondisi yang sedang terjadi di rumahnya.Abinya yang mulai jarang ada waktu untuk mereka, dan sering pulang terlambat.Dan juga ia yang sering memergoki uminya, yang menangis diam-diam.Arash yang sudah mulai beranjak remaja, mulai mengerti, jika sekarang Abinya telah mempunyai perempuan lain, selain uminya.Arash memang tidak pernah mengatakan apapun kepada Uminya, apalagi bertanya tentang Abinya.Ia hanya dapat meringankan beban uminya, dengan bersikap patuh, dan membantu menenangkan Akbar, yang terkadang masih suka rewel.Akhirnya mereka pun makan malam dalam diam.Hanya ada suara sendok dan garpu, yang berdenting, beradu dengan piring yang berisi makanan, sesekali terdengar suara Akbar yang merengek menanyakan Abinya, yang tak kunjung pulang."Mama mohon, jangan berpisah dari Farhan ya Sayang.. Mama janji, akan selalu mengingatkan Farhan, supaya terus bersikap adil terhadap kalian nantinya." ucap Ambar sebelum pulang.Aisyah hanya tersenyum getir, mendengar permintaan mama mertuanya itu.Aisyah mengantar kedua mertuanya sampai teras, dan kembali masuk, begitu mobil mereka telah benar-benar pergi, dan menghilang di kegelapan malam.Suara mobil terdengar berhenti di dihalaman, Aisyah melirik ke jarum jam, yang telah menunjukkan pukul 11 malam.Bergegas ia bangkit dari pembaringan, untuk membukakan pintu suaminya."Belum tidur?" sapa Farhan yang wajahnya terlihat begitu lelah."Belum Bi, nungguin Abi dari tadi, takut Abi belum makan malam." Jawab Aisyah, masih tetap bersikap biasa saja, dan tetap melayani suaminya."Kebetulan Abi memang lapar Sayang, ada makanan?" tanya Farhan, yang tadi tidak sempat makan, setelah menghabiskan waktunya bersama dengan Gendis, di ranjang kehangatan mereka. "Ya sudah, Abi ganti baju saja dulu, biar Umi siapkan.." jawab Aisyah."Terimakasih Sayang..." jawab Farhan menyunggingkan senyum manis, di wajahnya yang selalu terlihat tampan.Inilah yang membuat Farhan tidak siap kehilangan Aisyah, walau hatinya sudah terpaut pada Gendis, wanita yang lebih modern dari Aisyah istrinya.Aisyah sangat berbeda dari Gendis, yang usianya terpaut jauh dari Gendis.Gendis sepantaran dengan dirinya, sedangkan Aisyah 7 tahun lebih muda dari dirinya Gendis adalah sosok perempuan ceria dan suka berkegiatan di luar rumah.Sedangkan Aisyah lebih kalem, dan lebih suka menghabiskan waktunya di rumah, dan memasak, atau membuat camilan.Sedangkan Gendis, dia sangat payah di bidang perdapuran.Oleh karena itu jugalah, secapek apapun, Farhan selalu berusaha pulang untuk makan di rumah, karena ia sudah benar-benar ketagihan dengan masakan istrinya itu."Masak apa Sayang?" tanya Farhan yang sudah terlihat segar, dengan rambutnya yang sedikit basah."Masak sup kerang kesukaan kamu Mas, tapi maaf tinggal sedikit lauk pauk nya, karena tadi Mama dan papa kemari, dan ikut makan malam." ucap Aisyah, membuat Farhan seketika kaget dan tersedak mendengar itu."Pelan-pelan Bi..." Aisyah segera menyodorkan air putih, dan duduk di sebelah suaminya, menemani makan.Aisyah memang selalu menemani sang suami makan selama ini, walau hanya sekedar mengajak ngobrol saja, dan itu juga sangat Farhan sukai."Oh ya? terus Mama bilang apa!" tanya Farhan sedikit ketar ketir, takut Mama dan Papanya mengungkap kebenaran yang telah terjadi..Bahwa dirinya telah melakukan akad secara sirri, dengan Gendis ..Bersambung.Sore itu Hanan langsung mengantar sang istri ke dokter spesialis kandungan, untuk periksa. Umi Hanan dan Aminah juga ikut, ingin mengantar dan mengetahui perkembangan kandungan Aisyah. "Semoga saja kembar Ya Mi, Abang kan dulu anak kembar kan?" ucap Aminah, kepada Uminya. Umi Hanan mengangguk, Aisyah yang duduk di sebelah ibu mertuanya itu, segera menoleh. "Benarkah Umi?" tanya Aisyah, yang baru mendengar hal itu. "Iya Nak, dulu suami kamu ini, adalah anak kembar. Tapi sayang, adik kembarnya meninggal dalam kandungan." ucap Umi Hanan, teringat dengan masa lalunya dulu. Aisyah mengangguk-angguk. Di selingi obrolan, tak terasa kini mereka telah sampai di tempat praktek dokter. Aminah dan Umi nya tampak antusias menggandeng lengan Aisyah, hingga membuat Aisyah merasa tak enak sendiri. Hanan hanya terkekeh melihat pemandangan itu di depannya. Setelah mengantri sebentar, akhirnya Aisyah di panggil masuk. "Alhamdulillah, semuanya baik, dan usia kandungan sudah memasuki 4 minggu."
"Silahkan tunggu disini, sebentar lagi Pak Roy akan hadir bersama istrinya." ucap asisten sang bos, mempersilahkan Farhan dan rekannya, untuk duduk menunggu di tempat makan hotel. Farhan dan para rekannya mengangguk, mengerti. Selama ini mereka belum pernah tahu siapa istri sebenarnya bos mereka itu, karena setahu mereka, sang bos selalu membawa perempuan yang berbeda saat acara keluar, seperti ini. "Kira-kira kali ini siapa ya yang jadi istri si Bos.. " ucap bu Leni, yang menjadi rekan kerja Farhan di kantor baru, dan sudah cukup lama menjadi anak buah Roy. Johan dan Anita menggedikkan bahu mereka, karena memang sudah bukan rahasia lagi, tentang kelakuan bos mereka itu, yang selalu bergonta ganti pasangan. Farhan tak menggubris pembicaraan para rekannya, dan memilih sibuk dengan ponselnya, menanyakan kabar kedua orang tuanya. "Selamat malam teman-teman! Maaf sudah menunggu lama." suara bariton Pak Roy terdengar, membuat semua orang yang ada di situ seketika mengangkat kepalanya,
Farhan akhirnya memutuskan untuk hadir di acara pernikahan mantan istrinya, karena tak ingin di anggap tidak menghargai undangan mereka.Karena setelah Hanan memberinya surat undangan, Aisyah juga mengundang dirinya, dan juga Papa Mamanya untuk hadir, melalui sambungan telepon.Walau dengan hati yang hancur berkeping keping, tapi Farhan berusaha keras untuk terlihat kuat, dan biasa saja.Sengaja ia tidak memberi tahu Papa Mamanya, tentang pernikahan Aisyah.Ia takut, Mamanya akan bersedih mendengar berita itu, mengingat Mamanya itu masih sangat berharap, jika Aisyah mau kembali menjadi menantunya.Dengan mengenakan hem yang dulu di pilihkan oleh Aisyah ketika masih menjadi istrinya dulu, Farhan berangkat menuju kota tempat Aisyah dan anak-anak nya berada.Ia berharap, setidaknya Aisyah bisa mengenang kebersamaan mereka dulu, tentang kehidupan mereka yang membahagiakan, dan juga harmonis.Sungguh, Farhan sangat merindukan masa-masa indah saat bersama Aisyah dulu.Andai ia tahu, jika de
"Mas Farhan cepat pulang! Bapak Mas, Bapak!" seru Mbok Karsih pembantu di rumah Mama Papanya, meneleponnya dengan panik."Papa kenapa Mbok?!" seru Farhan yang tadinya baru bangun tidur dan masih di dalam mobilnya, karena semalaman tak pulang, hanya berkeliling tak tentu arah tujuan, segera membuka matanya dengan sempurna, saat Mbok Karsih dengan panik, menelepon dan mengabarkan tentang kondisi Papanya sekarang."Bapak di bawa ke rumah sakit Mas, gara-gara jatuh di kamar mandi subuh tadi." ucap Mbok Karsih, terdengar hendak menangis dari suaranya.Tanpa bertanya lagi, Farhan segera mematikan ponselnya, dan menyalakan mesin mobilnya, untuk segera berangkat pulang, menuju rumahnya.Pikirannya benar-benar kalut sekarang, dengan kecepatan tinggi, dia melajukan mobil Pajero keluaran terbaru miliknya, dengan rasa cemas yang menyelimuti dirinya."Ya Allah, apa lagi ini..?" keluhnya dalan hati, berharap sang Papa baik-baik saja.Selama ini Papanya jarang sakit, dan selalu terlihat bugar.Baru
Gendis masih belum tahu, akan pergi kemana dia sekarang?Ia sudah tak lagi mempunyai siapa-siapa, karena kedua orangtuanya juga sudah tidak ada.Ada rasa menyesal, kenapa harus pergi dari rumah mertuanya.Haruskah sekarang ia kembali saja,? "Tidak! aku tidak akan pernah kembali lagi ke rumah itu!" geramnya masih merasa sangat jengkel terhadap sikap Farhan kepada nya."Mau kemana ini Mbak?" tanya sopir taksi, yang belum juga mendapatkan perintah arah tujuan.Gendis segera teringat dengan salah satu sahabatnya dulu, sahabat SMA nya, yang konon telah sukses di kota ini.Ia masih ingat, sahabatnya itu tinggal di sebuah kawasan elit, di pusat kota."Apa aku coba hubungi Salsa aja ya?" gumamnya, merasa buntu karena tak punya saudara di kota ini.Gendis segera mengambil ponselnya dalam tas, dan mencari kontak teman lamanya itu."Ah..ini dia!" serunya saat menemukan nomor kontak Salsa, teman nongkrong nya dulu.Teman yang sudah lama tidak saling kontak, karena kesibukan masing-masing.Sebena
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Farhan jadi kepikiran dengan ucapan istrinya tadi."Benarkah Gendis sedang hamil?!" gumamnya merasa jengkel sendiri, hingga memukul kemudi mobilnya keras."Bagaimana jika dia benar-benar hamil? itu artinya aku tidak bisa segera menceraikan nya, dan kembali rujuk kepada Aisyah!" gumamnya, bermonolog sendiri.Ia segera teringat, kapan terakhir kalinya mereka melakukan hubungan suami istri. Saat itu mereka melakukan nya di hotel Singapore, saat mengantarkan Putra berobat.Farhan tak dapat menahan hasratnya kala itu, dan mengajak istrinya bercinta, walau sedang lelah mengurus Putra yang sakit.Shiit!! Kenapa waktu itu aku harus menyentuhnya!Dengan kesal, Farhan melajukan mobilnya, menuju kantor.Untung nya, meski saat ini ia sedang banyak beban pikiran, tapi ia masih bisa menghandel semua pekerjaan nya dengan baik.Sesampainya di kantor, Farhan menatap lama ke foto keluarga nya dulu, saat masih bersama Aisyah.Sedang apa mereka sekarang? gumamnya, mera