"Jadi, kalian diam-diam sudah menikah di belakang ku, Bi?" tanya Aisyah menatap wajah suaminya, yang tampak tertunduk tak berani menjawab.
"Kapan? semenjak kapan sebenarnya kalian berbuat curang di belakang ku Bi?" tanya Aisyah lagi, dengan sudut mata yang tampak mengembun, menahan bulir-bulir air matanya yang siap jatuh.Pandangan Farhan menerawang, teringat dengan perjumpaan pertamanya dengan Gendis, setelah berpisah tanpa kabar, lebih dari 10 tahun lamanya.Tepatnya 3 bulan yang lalu, saat Gendis di pindah tugaskan ke tempat Farhan bekerja.Farhan sungguh terkejut dengan pertemuannya itu, begitupun dengan Gendis, yang tetap terlihat cantik, setelah lama tak bertemu.Awalnya Farhan bersikap dingin terhadap wanita yang telah menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya itu, dulu.Tapi sungguh tak dapat ia pungkiri, rasa cintanya terhadap Gendis, masih tetap sebesar dulu.Hingga pada suatu malam, saat ia pulang lembur dari kantor, ia melihat Gendis tengah berteduh karena kebetulan malam itu hujan turun sangat lebat.Farhan terus memperhatikan Gendis yang berdiri di halte, menunggu bus yang lewat.Hatinya jadi bertanya-tanya pada waktu itu.Bukankah dulu Gendis pergi meninggalkannya, demi meraih masa depanya yang lebih baik? tapi kenapa sekarang malah terlihat nelangsa, dan tidak punya kendaraan sendiri, untuk bekerja? Atau setidaknya ada seseorang yang selalu mengantar dan menjemput nya, yang nyatanya tak pernah ia temui selama ini.Sudah hampir satu bulan Gendis satu kantor dengan nya, tapi tak sekalipun ia menyapa perempuan itu, yang kini menjadi bawahannya.Tak tahan melihat wanita yang masih merajai hati dan pikirannya itu terus berdiri sambil menggigil kedinginan menunggu bus, padahal malam telah mulai larut, akhirnya Farhan menghentikan mobilnya, di dekat Gendis berada."Masuk!" perintahnya dingin, sambil membuka jendela mobil nya, mengklakson Gendis.Tanpa di suruh dua kali, Gendis langsung masuk, dan duduk di sebelah Farhan."Terimakasih banyak, Pak Farhan." ucapnya tersenyum manis, semanis senyuman nya dulu, yang telah membuatnya jatuh cinta.Karena merasa penasaran, dan ingin menyelesaikan perasaannya yang sampai sekarang masih ada, Farhan pun bertanya kepada Gendis, tentang kehidupannya sekarang.Farhan jadi tahu tentang kehidupan Gendis sekarang.Nasib Gendis, tak seindah yang dibayangkan oleh perempuan itu dulu, saat memilih pergi meninggalkannya."Saya bercerai dari suami saya, karena Kdrt Pak, rumah kedua orang tua saya pun, juga ludes, di jual oleh lelaki tak tahu diri itu.Jika teringat dengan itu semua, sungguh saya sangat menyesal, karena telah meninggalkanmu dulu, Farhan..." ucapnya, mulai berani menatap wajah Farhan, dengan intens."Mungkin itu semua adalah hukuman untukku, karena telah meninggalkanmu dulu.."Farhan seketika merasa iba, rasa benci yang dulu merajai hatinya, seakan lebur, berganti dengan perasaan cinta yang semakin menggebu, terhadap wanita yang semakin terlihat matang dan mempesona itu.Hingga kemudian Farhan berani menawarkan diri, mengantar Gendis ke rumah kostnya, dan ikut menginap disana, melebur semua asa dan rasa yang terpendam selama ini.Akal sehatnya seakan hilang begitu saja, berganti dengan gairah yang menggelora, menyatukan kembali cinta mereka yang sempat terputus, menyambungnya kembali, dan mengukuhkannya, dengan penyatuan tubuh mereka di malam itu, di bawah guyuran hujan deras, mereka kembali mengikrarkan cinta mereka."Aku mencintaimu Gendis.." lenguh Farhan, yang telah menukar imannya, demi sebongkah daging busuk, yang kelak akan membuatnya menyesal tak berkesudahan.."Jadi kapan kalian resmi menjadi suami istri Mas?" tanya Aisyah merasa sedikit lega, karena ia telah berpikir bahwa suaminya tadi tengah berzina dengan mantan kekasihnya itu."Satu bulan yang lalu Mi.." jawab Farhan, menatap sekilas wajah istrinya itu."Syukurlah, setidaknya anak-anak ku bukanlah anak dari seorang pezina!" jawab Aisyah, membuat Farhan menelan ludahnya sendiri, dengan perasaan tak nyaman."Jangan lupa Bi, rumah ini sejak awal kita tujukan untuk anak-anak. Jadi aku tidak mau dia ikut tinggal di rumah ini!" Gendis terbelalak mendengar ucapan Aisyah.Karena menurut Farhan, dia akan tinggal di rumah ini, begitu mereka menikah, sedangkan Aisyah dan anak-anak akan tetap tinggal di rumah dinas milik Farhan.Ambar dan Drajat, tampak mengangguk setuju, dengan ucapan menantunya itu."Tidak bisa begitu juga dong! Bukankah rumah ini murni milik Farhan? jadi aku juga berhak untuk tinggal di sini, karena aku juga adalah istrinya." ucap Gendis, kemudian menatap wajah suaminya, tampak kesal.Ambar terlihat marah, karena Gendis dengan tidak tahu malunya, sudah berani ikut campur urusan harta putranya, yang di dapatkan selama menikah dengan Aisyah."Daripada menjadi bahan perdebatan, sebaiknya jual saja rumah ini! dan bagi hasilnya menjadi dua, tapi tentu saja hak anak- anak harus lebih banyak." ucap Drajat."Maksud Papa, Farhan dan Aisyah harus berpisah, gitu?!" tanya Ambar, terkejut."Bapak tidak bilang berpisah, tapi mulai tadi, bukankah kita belum menanyakan bagaimana keputusan Aisyah, tentang nasib rumah tangga mereka, untuk ke depannya..?" ucap Drajat, menatap menantunya.Aisyah bimbang, dia belum bisa mengajukan perceraian, karena dirinya tengah hamil sekarang, dan belum mau berterus terang dengan kondisinya sekarang.Tapi untuk hidup bersama lagi dengan suaminya, ia tak akan sanggup lagi."Aisyah akan pikirkan lagi semuanya nanti, sekarang saya pamit pulang dulu saja." ucapnya yang mendadak merasa mual dan pusing. ***"Kamu adalah lelaki terbodoh yang pernah Mama temukan Farhan!" maki Ambar, menunjuk wajah putranya, dengan pandangan nyalang, saat mengetahui bahwa Gendis kini telah hamil 3 bulan.Bagaimana Ambar tak marah, putranya itu menggelar akad, baru sekitar satu bulan yang lalu, tapi kini Gendis telah hamil 3 bulan.Gendis akhirnya di bawa pulang ke rumah Ambar, karena Aisyah tak mengijinkan Gendis menginap di rumah itu.Farhan tak menjawab, dan hanya dapat menunduk karena malu."Di dalam Alquran, laki-laki yang berani berzina, dan sudah menikah, hukumannya adalah di rajam Farhan! di lempari batu sampai mati!" Pekik Bu Ambar lagi, merasa sangat kecewa kepada putranya itu."Bagaimana kalau sampai Aisyah tahu? Dia pasti akan semakin membencimu dan meminta pisah!" seru Bu Ambar lagi, sembari memegangi dadanya yang naik turun karena emosinya yang membuncah."Apa Ma? jadi benar, kalau Mas Farhan sebenarnya pernah berzina dengan mbak Gendis?" tanya Aisyah, yang ternyata telah berdiri mematung, di depan pintu.Niatnya yang ingin memberitahu tentang kehamilannya kepada sang mertua, seketika musnah saat mendengar bahwa Gendis juga sedang hamil, dan sudah berjalan selama 3 bulan."Aisyah!..." seru Ambar, berusaha mengejar menantunya yang langsung pergi tanpa berpamitan lagi, berlari ke luar pagar depan.Tapi terlambat, Aisyah langsung masuk ke mobil, dan tak mau mendengar penjelasan apapun lagi, karena semuanya sudah jelas.Baginya tak ada toleransi lagi, jika suaminya telah melakukan dosa sebesar itu, maka lelaki itu sudah tak pantas lagi untuk menjadi ayah bagi anak-anak nya."Puas kalian?? Jika sampai Aisyah minta cerai, Mama tidak akan menganggapmu sebagai anak lagi!" Pekik wanita paruh baya itu lantang, menuding wajah Farhan dan Gendis di depan nya.BersambungAisyah menangis di kamarnya, meratapi nasibnya, dan juga anak-anak nya.Dia sungguh tidak menyangka, lelaki yang selama 10 tahun terakhir ini menjadi panutannya, menjadi tempat dia bersandar, dan menggantungkan harapan, baik itu di dunia maupun di akhirat, nyatanya adalah seorang pendosa besar, yang berani melakukan dosa zina, hingga membuat wanita itu hamil.Ia elus perlahan, perutnya yang masih datar, sembari berbisik sedih."Maafkan lah ummi mu ini, Nak. Ummi tidak bisa menjaga Abi, agar selalu bisa bersama-sama dengan kita." bisiknya pelan."Semoga dosa yang telah di perbuat oleh Abi, tidak akan berpengaruh apapun terhadap anak-anak. Jagalah anak-anak hamba ya Allah, semoga mereka tidak mengikuti jejak salah, Abi mereka.." bisiknya lagi.Di dalam kamarnya itu, Aisyah berpikir untuk pergi jauh dari suaminya itu, tapi kemana?Ia tidak mau pulang ke rumah kedua orangtuanya, dengan keadaan seperti ini. Ia tak mau membebani pikiran kedua orangtuanya, yang sudah mulai sakit-sakitan.Sea
"Mbok! Aisyah dan anak-anak mana?" tanya Farhan begitu sampai di rumahnya, dan menemukan rumah dalam keadaan sepi, hanya ada Mbok Jum yang terlihat sedang membersihkan dapur, dan mengepelnya.Mbok Jum yang sudah tahu dengan permasalahan majikannya itu, menatap penuh benci ke arah Farhan.Mbok Jum begitu menyayangi Aisyah dan anak-anak, karena perlakuan Aisyah yang begitu baik kepadanya.Bahkan tadi sebelum pergi, Aisyah masih sempat memberikannya uang yang cukup banyak, dan sebuah gelang emas, sebagai kenang-kenangan, katanya."Maafkan Aisyah ya Mbok, Aisyah tidak bisa memperkerjakan Mbok lagi, karena kami akan pergi." ucapnya tadi, sekitar 1 jam yang lalu."Tapi kenapa Mbak Aisyah? Mbok harus kerja dimana kalau Mbak Aisyah sudah tidak disini lagi?" tanya Mbok Jum, sangat sedih."Mbok bisa bilang ke Mas Farhan dan istri barunya nanti, buat tetap lanjutin kerja disini." ucap Aisyah tersenyum getir.Mbok Jum langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat."Gak Mbak! Mbok jadi sangat benci s
Farhan berkali-kali mencoba menghubungi nomor istrinya, untuk menanyakan posisinya sekarang."Bagaimana Farhan? bisa di hubungi tidak istrimu itu?" tanya Ambar, yang langsung meluncur bersama suaminya ke rumah dinas putranya.Farhan tampak menggeleng dengan lemah."Nomornya tidak bisa di hubungi Mah.." jawab lelaki berhidung mancung itu, juga terlihat sangat khawatir."Dia ada tinggalkan surat atau pesan gitu, sama kamu?" tanya Drajat, yang juga terlihat panik.Karena bagaimanapun, selain sebagai menantu, Aisyah juga adalah putri dari sahabatnya.Jika sampai terjadi apa-apa kepada Aisyah, apa yang akan dia katakan nanti, kepada mereka."Iya, Aisyah tidak meninggalkan pesan?" Ambar menatap putranya."Tidak ada Mah, bahkan tadi Mbok Jum yang biasa bantu-bantu disini juga tidak tahu, Aisyah mau pergi kemana." jawab Farhan.Ambar terduduk di kursi sofa ruang tengah, dan tampak begitu terpukul dengan kepergian menantunya itu."Aisyah pasti kecewa kepada Mama sekarang ini. Pasti dia pikir,
"Tapi Aisyah.. bukan aku bermaksud menggurui, sebaiknya kamu berterus terang saja kepada Abah dan Ummi mu di rumah. Aku dari tadi jadi kepikiran lo, bagaimana kalau keluarga suami kamu pergi ke rumah Abah dan Ummi mu, terus menanyakan keberadaan kamu?Bukankah mereka akan semakin kepikiran, jika tahu kamu sedang ada masalah, dan tidak tahu keberadaan kamu dan anak-anak ada di mana?" ucap Aminah, yang merasa tak setuju jika Aisyah sama sekali tidak mengabari kondisinya, kepada keluarga besarnya, terutama kedua orangtuanya.Aisyah terdiam mendengar itu. Apa yang di katakan oleh sahabatnya itu benar.Kenapa dia bisa melupakan itu?Dia terlalu terburu-buru memutuskan sesuatu, hampir saja dia malah membuat kedua orangtuanya cemas, dengan bertingkah seperti ini."Baiklah, aku akan telepon Abah dan Ummi dulu." jawab Aisyah mengangguk setuju."Terimakasih Aminah, untung saja kamu mengingatkan aku.." "Sama-sama Aisyah, itulah salah satu fungsi sahabat, saling mengingatkan, dan saling bantu, y
Waktu terus berlalu, Farhan yang kebingungan setelah Aisyah pergi bersama anak-anaknya, masih tetap tak berhenti mencari keberadaan istrinya itu."Sudah 7 bulan Farhan, seharusnya sekarang kita sedang mengadakan syukuran untuk kehamilan Aisyah." ucap Ambar malam itu, masih duduk di teras bersama suami, dan putranya.Sedangkan Gendis ada di rumah dinas milik Farhan sekarang, menggantikan posisi Aisyah, yang hingga sekarang belum juga memberikan kabar.Farhan terdiam mendengar ucapan Mamanya, hatinya sedih dan juga sangat rindu, setiap kali memikirkan Aisyah dan anak-anaknya.Apalagi sekarang Aisyah juga sedang mengandung buah hati nya."Satu bulan lalu kita telah mengadakan 7 bulanan untuk anak dalam perut Gendis, dan Minggu depan, Mama akan adakan 7 bulanan untuk Aisyah, meskipun dia tidak ada disini. Setidaknya doa tulus yang kita kirimkan, bisa sampai kepadanya " Ucap Ambar lagi."Iya Ma, Farhan setuju. Mama bilang saja nanti, butuh uang berapa untuk biayanya, biarkan Farhan yang me
"Aisyah, kamu sebentar lagi mau melahirkan lo, kamu beneran gak mau hubungi suami kamu, atau mertua kamu ya?" tanya Amina siang itu, berkunjung ke rumah yang di tinggali oleh Aisyah dan kedua anaknya.Aisyah yang sedang sibuk mengemas nasi bungkus pesanan salah satu pengajar, yang juga mengajar di pondok pesantren itu, menggeleng tegas."Tidak Aminah, biarkanlah takdir kelak yang akan mempertemukan kami, tapi yang jelas, begitu anak ini lahir, aku akan segera melayangkan surat gugatan kepada Mas Farhan." jawab Aisyah, sambil tetap sibuk membungkus aneka sayur yang sudah ia buat tadi, ke dalam sterofom."Kamu sudah hamil besar begini, kok masih sibuk terus sih.." Amina mulai mengalihkan pembicaraan mereka, karena percuma saja, Aisyah tetap akan kekeh pada keputusannya, yang ingin segera bercerai dari Farhan.Bukan Amina membela Farhan, hanya saja ia kasihan kepada sahabatnya itu, karena harus bekerja keras membanting tulang, untuk menghidupi anak-anaknya.Apalagi Aminah juga tahu, jika
["Farhan! cepat pulang! Gendis di larikan ke rumah sakit sekarang!"] ucap Ambar, menelepon Farhan, yang sedang berada di luar kota karena pekerjaan.["Maaf Ma, tapi setelah ini Farhan harus presentasi, sudah ditunggu sama yang lainnya. Mama bisa jagain Gendis dulu kan, Ma? nanti setelah selesai, Farhan langsung nyusul ke sana."][Ya sudah, biar Mama temani dulu, sepertinya sudah mau lahiran. Kamu buruan ya Nak..?] Klik! Sambungan pun terputus.Farhan mendesah pelan, Gendis sudah mau melahirkan sekarang, berarti Aisyah sebentar lagi juga akan melahirkan..Pikirannya menjadi tidak tenang sekarang, bukan memikirkan Gendis yang hendak melahirkan, justru dia kepikiran dengan Aisyah."Aisyah... dimana sebenarnya kamu sekarang? apakah kalian baik-baik saja?" gumamnya, teringat dengan kedua anaknya.Farhan merasa semakin sesak dadanya, karena justru dia meninggalkan kenangan yang tidak menyenangkan, di akhir perjumpaannya dengan kedua putranya itu.Masih terngiang di telinganya, saat Akbar me
Waktu terus berlalu dengan sangat cepat."Fatimah! jangan berlarian seperti itu Sayang!" seru Aisyah, yang baru selesai mengajar di madrasah sore, dan membiarkan Fatimah yang baru berusia 2 tahun itu berlarian di halaman madrasah yang luas."Huwaaaa ummi.." tiba-tiba gadis kecil itu menangis, karena menabrak kaki seseorang, yang tengah berjalan menuju kantor madrasah."Fatimah?!" seru Aisyah, segera berlari saat melihat putrinya jatuh terduduk di tanah.Lelaki yang di tabrak kakinya oleh Fatimah tadi, segera berjongkok, dan mengambil Fatimah ke dalam gendongannya, sambil sibuk menenangkan Fatimah yang menangis."Ah, maafkan putri saya." ucap Fatimah, segera meminta putrinya, dari gendongan lelaki tadi."Ooh, tidak apa-apa ukhti, namanya juga anak-anak, lagi senang-senangnya berlarian dan bermain." jawab lelaki bertubuh jangkung itu, tersenyum lebar.Wajah pemuda itu begitu tampan, dengan cambang tipis, dan hidung yang mancung, membuat Aisyah segera mengalihkan pandangannya, dan segera