Share

Bab 6

Aisyah menangis di kamarnya, meratapi nasibnya, dan juga anak-anak nya.

Dia sungguh tidak menyangka, lelaki yang selama 10 tahun terakhir ini menjadi panutannya, menjadi tempat dia bersandar, dan menggantungkan harapan, baik itu di dunia maupun di akhirat, nyatanya adalah seorang pendosa besar, yang berani melakukan dosa zina, hingga membuat wanita itu hamil.

Ia elus perlahan, perutnya yang masih datar, sembari berbisik sedih.

"Maafkan lah ummi mu ini, Nak. Ummi tidak bisa menjaga Abi, agar selalu bisa bersama-sama dengan kita." bisiknya pelan.

"Semoga dosa yang telah di perbuat oleh Abi, tidak akan berpengaruh apapun terhadap anak-anak. Jagalah anak-anak hamba ya Allah, semoga mereka tidak mengikuti jejak salah, Abi mereka.." bisiknya lagi.

Di dalam kamarnya itu, Aisyah berpikir untuk pergi jauh dari suaminya itu, tapi kemana?

Ia tidak mau pulang ke rumah kedua orangtuanya, dengan keadaan seperti ini. Ia tak mau membebani pikiran kedua orangtuanya, yang sudah mulai sakit-sakitan.

Seandainya pulang pun, kedua mertuanya dan juga Farhan pasti akan datang untuk menyusulnya.

Aisyah tidak mau bertemu dengan mereka dulu untuk sementara ini.

Saat ini dia hanya ingin menyendiri dulu, dari seluruh anggota keluarganya, dan menenangkan diri.

Apalagi ada janin yang harus ia jaga, di dalam rahimnya.

Aisyah ingin melupakan semua kenangan, tentang hubungannya dengan Farhan, karena pastinya akan sangat sulit untuk melupakannya dengan cepat, karena dari hubungan nya itu, sudah ada dua orang anak, dan  satu lagi yang sedang ia kandung.

Tapi kemana ia harus pergi?? 

Rasanya ia sudah tidak bisa mentolerir perbuatan suaminya, dan hidup bersama dengannya lagi. Apalagi suaminya itu bukanlah orang awam, yang tidak mengetahui hukum agama, dan pasti tahu, betapa besar dosa dari perbuatannya itu. 

'Amina!' gumam Aisyah, teringat dengan salah seorang sahabatnya yang tinggal di kota sebelah.

Amina adalah putri seorang pemilik pondok pesantren yang cukup besar, dan memiliki lembaga pendidikan sampai jenjang Aliyah.

Dulu Amina sempat menawarinya untuk ikut mengajar di sekolah nya, karena Aisyah dulu adalah seorang santriwati yang cukup berprestasi, dan pandai mengajar.

"Apa aku hubungi Amina saja ya?" gumamnya sedikit ragu, karena sudah cukup lama tak bersilaturahmi.

Karena pikirannya yang buntu, Aisyah akhirnya nekat menghubungi Amina, yang nomor kontaknya masih tersimpan dalam ponselnya.

["Assalamualaikum Amina .."] sapanya, walau sedikit merasa canggung.

[Waalaikumussalam warrahmah..] jawab suara dari seberang telepon, terdengar ceria.

[Masya Allah Aisya! lama sekali tidak terdengar kabarnya? bagaimana, apakah kalian sekeluarga sehat?] tanya Amina, yang terdengar sangat senang, saat Aisyah menelepon nya.

[Alhamdulillah baik Amina, kamu sendiri bagaimana? pasti juga baik dan sehat kan?] balas Aisya, juga merasa senang saat mendengar suara sahabat satu kamarnya itu dulu, saat masih di pesantren.

Walau mereka tidak ada hubungan kerabat, tapi Aisyah dan Amina dulu sangat dekat, melebihi seorang sahabat, boleh di bilang bagai saudara kandung sendiri.

Tapi akhir-akhir ini mereka jarang berkomunikasi, karena kesibukan Amina yang seorang pemilik lembaga pendidikan.

Setelah cukup lama berbasa-basi, bercerita ngalor-ngidul, Aisyah akhirnya tak dapat menahan emosinya, untuk tak menceritakan apa yang tengah di alaminya, dan juga kebingungannya, yang hendak pergi dari rumah, tapi tak tahu harus kemana.

Maklum saja, kampung halaman Aisyah sendiri, juga sangat jauh dari daerah suaminya tinggal, dia harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 8 jam, untuk bisa sampai ke kampung halamannya itu.

Kedua orangtuanya sendiri, dulu mengenal orang tua Farhan suaminya, karena dulu mereka adalah rekan kerja, sekaligus sahabat.

Tapi sayangnya, kedua mertuanya kemudian di pindah tugaskan di daerah ini, hingga akhirnya menetap sampai sekarang.

Aminah terdengar sangat prihatin, mendengar masalah yang sedang menimpa sahabatnya.

"[Aku harus apa Amina? aku tidak bisa hidup bersama lagi dengan Mas Farhan, karena perbuatannya itu, tapi aku juga belum bisa mengajukan gugatan cerai, karena kondisiku yang sedang hamil."] ucap Aisyah, meminta pendapat sahabatnya itu.

Sebagai seorang perempuan, yang juga sudah mempunyai anak dan suami, Amina bisa merasakan apa yang tengah di alami oleh sahabatnya itu.

Hatinya ikut sakit, dan juga marah, atas apa yang di lakukan oleh Farhan.

[Datang saja kemari Aisyah! bawa anak-anak mu juga, aku sungguh ikut kesal dengan sikap keluarga suami kamu itu, bisa-bisanya mereka menutupi kebusukan anaknya, dan menginginkanmu tetap tinggal disana! benar-benar egois!"] Amina terdengar jengkel, dan uring-uringan setelah mendengar cerita lengkap Aisyah.

[Ya sudah, jangan ragu lagi, cepatlah bersiap. Nanti aku sharelok, rumah aku.] ucap Aminah, malah merasa sangat antusias jika Aisyah mau tinggal di tempat nya.

*****

"Cepat kamu susul Aisyah Farhan! Mama tidak mau tahu, pokoknya kamu harus berbaikan dengan Aisyah!" seru Ambar, terus mendesak putranya untuk menyusul menantunya yang tiba-tiba pergi, setelah mendengar percakapan mereka tadi.

Gendis mengikuti suaminya yang keluar.

"Mas, buat apa sih masih urusin Aisyah. Lagian gak mungkin juga dia akan pergi dari kamu. Bisa apa dia tanpa kamu?

Bukannya istri kamu itu cuma ibu rumah tangga saja ya? Pasti dia akan sangat bergantung denganmu, apalagi ada anak juga kan?" ucap Gendis, merasa tak suka dengan sikap mertuanya, yang ia anggap terlalu berlebihan itu.

Farhan tak menjawab ucapan Gendis, dan terus mengemudikan mobilnya, menuju rumah dinasnya, yang berjarak sekitar 30 menit saja, jika perjalanan lancar.

Sebenarnya apa yang di katakan oleh Gendis ada benarnya, tapi entah mengapa, kali ini Farhan merasa sangat cemas, jika sampai Aisyah benar-benar pergi meninggalkannya, apalagi jika perginya dengan membawa anak-anak turut serta.

"Mas, kamu kok diem aja sih? Jangan bilang kamu takut kalau Aisyah beneran pergi, seperti yang Mama bilang?!" Gendis menatap kesal suaminya, yang terlihat tetap fokus menyetir.

"Lagian ya Mas, menurut aku Aisyah itu tidak sepolos yang kamu kira. Coba kamu ingat-ingat lagi, bagaimana bisa dia tiba-tiba datang ke rumah pribadi kamu, kalau bukan karena sudah memata-matai kamu, selama ini?! Pake bawa-bawa anak segala lagi!" ucap Gendis, mencoba mempengaruhi Farhan.

"Dia pasti hanya ingin mendapatkan simpati penuh dari Mama saja, supaya Mama semakin membenciku! Benar-benar munafik, sangat licik!" ucap Gendis, terus saja menjelekkan Aisyah di depan Farhan.

Mendengar itu, entah kenapa hati lelaki bertubuh tegap itu malah merasa tak nyaman. Dia seakan tak terima jika Gendis menjelekkan istrinya.

"Aku lebih tahu siapa Aisyah! dia bukan perempuan munafik seperti yang kamu tuduhkan tadi, Gendis.." jawab Farhan, terlihat tak suka, dan kesal.

Gendis seketika menoleh ke arah suaminya itu.

"Jangan bilang kalau kamu lebih cinta dia, daripada aku ya, Mas?!" ketus perempuan berwajah oriental itu, tampak tersinggung, dan cemburu.

Farhan tak berkata lagi, memang susah jika berdebat dengan perempuan.

Walau benarpun, akan tetap salah di matanya.

Saat ini, Farhan hanya ingin segera berjumpa dengan Aisyah, dan memohon kepadanya, agar mau memaafkan semua kesalahan fatalnya itu, dan tidak bercerai.

Farhan sungguh merasa tak akan sanggup jika berpisah dari Aisyah, perempuan sabar, dan lembut, yang selalu menenangkannya selama ini.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status