Home / Lainnya / BUT HER FLY / Bab 4: Di Antara Pilihan dan Kenyataan

Share

Bab 4: Di Antara Pilihan dan Kenyataan

Author: ISXCK
last update Last Updated: 2025-03-20 17:04:59

Pagi itu, Clara terbangun dengan rasa lelah yang luar biasa, meskipun tidur sepanjang malam. Matanya terpejam sejenak, mencoba menghilangkan bayangan-bayangan yang menempel di pikirannya. Kegiatan semalam—dunia yang baru, langkah pertama yang harus ia ambil—masih terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa ia lupakan. Namun, begitu ia membuka mata dan melihat kenyataan di sekitarnya, ia tahu bahwa ini bukan mimpi. Ini adalah hidupnya sekarang.

Pagi itu, dia duduk di tepi ranjang, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Rasa bingung melanda, tetapi ada satu hal yang membuatnya tetap bangun. Ia tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang akan datang selanjutnya. Setiap pilihan yang ia buat sepertinya semakin membawanya jauh dari diri yang dulu dia kenal.

Ada rasa malu yang mendalam yang selalu mengikuti langkahnya setiap kali ia berjalan melewati lorong-lorong gedung itu. Dunia baru ini memberikan banyak kejutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketika hari mulai terang, Clara merasa semakin sulit untuk menanggalkan perasaan itu. Dunia tempatnya berada penuh dengan rahasia, dan dia hanya satu dari banyak orang yang mencoba bertahan di dalamnya.

Setiap malam, ia kembali ke ruang yang sama, duduk di meja yang sama, dan menjalani peran yang sama. Namun, semakin hari, hatinya semakin merasa terbelah. Di satu sisi, Clara berusaha keras untuk menyembunyikan rasa malunya, berusaha menerima bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Namun di sisi lain, ada rasa marah yang membuncah, marah pada dirinya sendiri karena harus mengorbankan apa yang dulu ia anggap sebagai nilai dan harga dirinya.

Hari ini, Lara memberinya beberapa petunjuk baru untuk menjalani rutinitas yang lebih “teratur.” “Kamu harus belajar bagaimana bersikap lebih santai, lebih percaya diri,” kata Lara saat mereka berbicara di ruang belakang. “Kamu di sini bukan hanya untuk ‘melayani’—kamu juga harus bisa mengendalikan bagaimana mereka melihatmu.”

Clara mengangguk, mencoba memahami maksudnya, meskipun hatinya menolak. Semakin dalam ia terjebak dalam dunia ini, semakin jelas bahwa tidak ada tempat bagi perasaan atau keraguan. Mereka semua—seperti dirinya—hanya bagian dari mesin yang berjalan, tak ada tempat untuk penyesalan. Namun, sesuatu dalam dirinya terus berontak, merasa tidak cocok dengan dunia yang begitu kejam dan tidak peduli ini.

Siang itu, Clara memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar gedung, mencari sedikit udara segar untuk menenangkan pikirannya. Jalanan kota yang ramai dan hiruk-pikuk membuatnya merasa lebih terisolasi dari sebelumnya. Di tengah keramaian ini, dia merasa seperti bayangan, tidak lebih dari seonggok tubuh yang bergerak tanpa tujuan.

Saat ia melangkah lebih jauh, sebuah kafe kecil yang familiar menarik perhatiannya. Di dalam kafe itu, ia melihat seorang wanita yang duduk di meja dekat jendela, membaca buku. Wanita itu terlihat damai, sangat jauh dari dunia yang sedang ia masuki. Clara berhenti sejenak, merenung. Dunia yang tenang itu mengingatkan Clara pada masa lalu—masa ketika ia masih bisa menikmati secangkir kopi di kafe tanpa merasa terbebani. Namun, perasaan itu hanya sementara. Ia tahu bahwa dunia yang baru ini telah merenggut kebahagiaannya.

Clara melangkah masuk ke kafe, memesan secangkir kopi, dan duduk di sudut yang lebih jauh, mencoba menikmati momen kecil itu, meskipun pikirannya terus bergelut. Setiap tegukan kopi terasa pahit, seolah tidak ada lagi rasa manis dalam hidupnya. Tidak ada lagi ruang untuk kebebasan atau rasa senang. Semuanya teredam dalam bayang-bayang masa lalu dan dunia yang ia coba tinggalkan, tapi nyatanya tetap mengikutinya.

Beberapa saat kemudian, pintu kafe terbuka, dan seorang pria masuk. Ia mengenakan jas rapi, dengan wajah yang tidak asing bagi Clara. Dia segera mengenali pria itu sebagai salah satu pengunjung malam sebelumnya—yang duduk bersamanya di meja saat pertama kali dia dipertemukan dengan dunia ini.

Pria itu melihat Clara dan menghampirinya dengan langkah mantap. “Hei,” sapanya, duduk di meja tanpa diminta. “Aku tidak menyangka akan bertemu lagi di sini.”

Clara merasa sedikit terkejut, namun mencoba untuk tetap tenang. “Aku… hanya sedang mencari sedikit ketenangan,” jawabnya, mencoba tersenyum, meskipun hatinya merasa berat.

Pria itu duduk dengan sikap santai, terlihat tidak tergesa-gesa. "Terkadang kita membutuhkan ketenangan, ya? Dunia ini bisa jadi sangat berisik dan kacau. Aku juga merasa sedikit terperangkap dalam rutinitasku." Ia tersenyum tipis, seolah menunjukkan pemahaman yang dalam.

Clara hanya mengangguk, merasa tidak ada yang bisa ia katakan lebih jauh. Dia tidak tahu apakah dia ingin berbicara lebih banyak dengan pria ini, atau apakah dia hanya ingin pergi dan melupakan percakapan ini begitu saja.

Namun, pria itu terus melanjutkan, "Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan, Clara. Ini bukan dunia yang mudah untuk diterima. Tapi jika kamu ingin bertahan, kamu harus tahu bahwa semua ini adalah bagian dari permainan. Dunia kita ini tidak peduli dengan siapa kamu atau apa yang kamu rasakan."

Clara menatapnya dengan pandangan tajam. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang terasa menyakitkan, tetapi juga nyata. "Apa maksudmu?" tanya Clara pelan.

Pria itu mengangkat bahu. "Maksudku, hidup itu pilihan. Kamu bisa memilih untuk menerima ini, atau kamu bisa memilih untuk melawan. Tapi kalau kamu memilih untuk melawan, kamu harus siap untuk kehilangan lebih banyak lagi."

Clara menunduk, mencerna kata-kata itu. Sebenarnya, ia tidak ingin memilih. Ia ingin keluar dari dunia ini, tetapi langkah-langkah mundur sudah terlalu jauh. Ia tidak tahu apakah ada jalan kembali.

Percakapan itu berakhir begitu saja, dan pria itu pergi setelah meninggalkan sedikit uang untuk tagihan. Clara duduk di meja itu lama setelah pria itu pergi. Ada kesunyian yang aneh dalam dirinya—sebuah kesunyian yang lebih dalam dari sebelumnya.

Saat dia melangkah keluar dari kafe itu dan kembali ke dunia yang tidak pernah berhenti berputar, Clara tahu satu hal dengan pasti. Dia harus memilih. Dunia ini tidak memberikan ruang untuk keraguan, dan setiap pilihan yang diambil akan membentuk siapa dia ke depannya.

Apakah dia bisa menemukan kembali dirinya di tengah kegelapan ini? Ataukah ia akan kehilangan dirinya selamanya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUT HER FLY   Bab 6: Datangnya Situasi Tak Terduga

    Keesokan harinya, Clara terbangun dengan perasaan cemas yang lebih mendalam daripada sebelumnya. Pagi itu terasa sangat berat, seolah setiap langkah yang ia ambil membawa beban yang lebih besar. Rasa gelisah yang semalam masih menghantui pikirannya, dan meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, perasaan itu terus mengganggunya. Hari-hari yang semula terasa seperti rutinitas kini dipenuhi dengan ketidakpastian.Lara, yang tampaknya mulai menyadari perubahan dalam diri Clara, menghampirinya pagi itu. Wajahnya lebih serius dari biasanya, dan ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Clara merasa bahwa ada yang akan berubah, sesuatu yang tak terduga."Kamu baik-baik saja?" Lara bertanya, matanya memeriksa Clara dengan seksama.Clara mengangguk, meski dalam hatinya ia merasakan perasaan sebaliknya. "Ya, hanya sedikit lelah," jawabnya pelan.Lara menyarankan agar Clara mengambil beberapa waktu untuk dirinya sendiri, berjalan-jalan atau sekadar duduk di luar, menikmati udara sega

  • BUT HER FLY   Bab 5: Di Ujung Ketegangan

    Malam itu, Clara kembali ke gedung dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Udara malam yang sejuk seolah tidak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang mengendap di dadanya. Semakin lama ia berada di tempat ini, semakin jelas bahwa dunia ini bukanlah tempat yang sederhana untuk bertahan hidup. Setiap malam, setiap percakapan, setiap langkah yang diambilnya semakin membawa dia pada ketegangan yang tidak bisa lagi ia abaikan.Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengambang di udara, sesuatu yang tak bisa ia tangkap sepenuhnya, tetapi terasa begitu nyata. Ketika ia melewati lorong sempit menuju ruang ganti, ia mendengar suara keras dari ruang utama. Suara percakapan yang tidak biasa, lebih tajam, lebih penuh dengan ketegangan.Clara melangkah lebih cepat, rasa penasaran dan kecemasannya semakin menggelisahkan. Begitu ia tiba di ruang belakang, ia melihat Lara sedang berbicara dengan seorang pria yang tampaknya cukup berkuasa di tempat itu—Pria itu mengenakan jas hitam yang rapi

  • BUT HER FLY   Bab 4: Di Antara Pilihan dan Kenyataan

    Pagi itu, Clara terbangun dengan rasa lelah yang luar biasa, meskipun tidur sepanjang malam. Matanya terpejam sejenak, mencoba menghilangkan bayangan-bayangan yang menempel di pikirannya. Kegiatan semalam—dunia yang baru, langkah pertama yang harus ia ambil—masih terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa ia lupakan. Namun, begitu ia membuka mata dan melihat kenyataan di sekitarnya, ia tahu bahwa ini bukan mimpi. Ini adalah hidupnya sekarang.Pagi itu, dia duduk di tepi ranjang, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Rasa bingung melanda, tetapi ada satu hal yang membuatnya tetap bangun. Ia tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang akan datang selanjutnya. Setiap pilihan yang ia buat sepertinya semakin membawanya jauh dari diri yang dulu dia kenal.Ada rasa malu yang mendalam yang selalu mengikuti langkahnya setiap kali ia berjalan melewati lorong-lorong gedung itu. Dunia baru ini memberikan banyak kejutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketika hari mulai terang, Clara merasa

  • BUT HER FLY   Bab 3: Memulai Langkah Baru

    Clara berdiri di depan cermin besar di ruang belakang, mengenakan gaun hitam ketat yang ditata dengan rapi di tubuhnya. Setiap inci dari penampilannya terasa asing—bukan karena gaunnya, tapi karena bagaimana ia melihat dirinya. Cermin itu memantulkan sosok wanita yang hampir tidak dikenalnya lagi. Sosok yang dulu penuh dengan harapan kini terlihat seperti seseorang yang terperangkap dalam dunia yang gelap dan penuh penilaian.Lara, yang berdiri di sampingnya, mengamati Clara dengan cermat. “Kamu terlihat hebat,” katanya dengan senyum yang tak begitu tulus, tapi cukup meyakinkan. “Jangan khawatir, mereka semua akan menyukaimu.”Clara hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa gelisah, tubuhnya kaku, seolah ada beban berat yang menghalangi setiap gerakannya. Di luar ruangan, suara musik yang keras terdengar memecah keheningan, menyatu dengan percakapan yang tak pernah berhenti dari para pengunjung yang datang dan pergi."Jangan berpikir terlalu keras," lanjut Lara, meliha

  • BUT HER FLY   Bab 2: Dunia yang Berbeda

    Clara berjalan menyusuri trotoar dengan langkah pelan dan hati yang bergejolak. Udara dingin kota malam itu membuatnya sedikit menggigil, namun itu bukanlah hal yang paling ia rasakan. Perasaan terperangkap, cemas, dan bingung jauh lebih menyiksa daripada dinginnya angin yang menerpa wajahnya. Setiap langkah yang ia ambil, semakin terasa berat. Jalanan yang ramai dengan lampu-lampu neon dan kendaraan yang lalu lalang kini terasa asing, seperti dunia yang bukan untuknya.Pikirannya kacau. Bagaimana bisa ia sampai di sini? Bagaimana ia bisa mengizinkan dirinya berada di persimpangan jalan seperti ini, tempat di mana setiap pilihan terasa mengerikan? Tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa ia tidak punya banyak pilihan. Dunia yang ia kenal sebelumnya telah menghilang, meninggalkan dirinya yang terombang-ambing tanpa arah. Setiap pekerjaan yang dia coba, setiap usaha yang dia lakukan untuk mencari sesuatu yang lebih baik, seolah selalu berakhir dengan kegagalan. Tidak ada yang tersisa sel

  • BUT HER FLY   Bab 1: Pilihan yang Tak Terelakkan

    Pagi itu, Clara duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Pandangannya kosong, melayang ke luar jendela yang menampilkan pemandangan kota yang sibuk. Namun, matanya tak benar-benar melihat apa pun di sana. Semua yang dia lihat adalah bayangan masa lalu yang terus menghantui pikirannya—perceraian yang menghancurkan, pekerjaan yang hilang, dan tekanan yang semakin menyesakkan dadanya.Dia sudah mencoba segalanya. Mengirimkan ratusan resume ke berbagai perusahaan, menghadiri wawancara yang satu per satu berakhir dengan penolakan. Tapi saat ini, Clara merasa lelah. Lelah berjuang melawan dunia yang seolah tak memberinya kesempatan lagi. Di usia yang sudah menginjak 30-an, dengan riwayat pekerjaan yang tak terlalu gemilang dan beban kehidupan yang semakin berat, harapannya semakin memudar.Hidupnya tak pernah seperti ini sebelumnya. Dulu, Clara pernah percaya bahwa hidup itu tentang memilih dan berjuang untuk impian. Namun, setelah perceraiannya yang menyakitkan, impian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status