Share

5. Menang Tender

"Jadi ... ditinggal gitu aja, Mbak?" Bono menyeruput es jeruknya.

"Setelah dia mencicipi masakan kita," jawab Rubi.

"Hhmm ... tapi kayaknya kita menang, Mbak," kata Bono yakin.

"Seyakin itu kamu, Bon." Rubi kembali berkutat dengan catatannya.

"Mbak Rubi cerita kalo wajahnya kayak seneng gitu kan waktu nyobain sambal goreng ati." Bono menggeser sedikit gelas berisi es jeruk ke sisi kanannya.

"Iya sih."

"Nah ... masakan yang kita suguhkan kemarin itu aku rasa lebih merakyat. Ya Mbak Rubi tau lah, di sana banyak karyawan pabrik kan ... rata-rata penikmat masakan biasa, itu yang kita jual." Bono mengubah posisi duduknya.

"Iya, aku ngerti ... cuma aku gak suka bos nya. Sombong ... ih kamu kalo liat juga bakal gemes." Rubi meletakkan pulpennya. "Mukanya itu nyebelin, gayanya gini kalo ngomong," ujar Rubi memperagakan tangan Regantara yang di lipat di depan dada.

"Haha ... hati-hati Mbak, biasanya dari benci jadi cinta." Bono tertawa.

"Hush ... opo toh, kamu ada-ada aja. Eh iya, kamu hari ini nganter kue ke tempat Ibu Broto, kan? bilang sama Bu Broto tagihan minggu lalu di selesaikan dulu. Lumayan uangnya buat nambah stok bahan roti sama kue buat di toko."

Rubi beranjak dari tempat duduknya, mengamati etalase yang sudah tersusun kue dan roti di dalamnya.

"Kenapa sih, Mbak ... kamu selalu kasih tempo ke Bu Broto sedangkan untuk pelanggan lain nggak?"

"Bon ... Bon ...." Rubi mengulang ulang nama lelaki 25 tahun itu. "Kamu ikut aku sudah berapa taun sih, masih aja kamu tanya itu. Bu Broto itu awal aku mendirikan usaha ini ya modalnya dari dia, meski terseok-seok kita bayar ke dia tapi sampai detik ini akhirnya kita mampu berdiri. Setidaknya jasa dia untuk kita itu sudah sangat membantu, sekarang giliran kita yang membantu dia. Apalagi kondisi dia sekarang malah di bawah kita sekarang."

"Tapi kan itu akibat dia juga terlalu sombong, kadang karma itu sekarang ndak pake di cicil ya, Mbak ... langsung di bayar kontan," ujar Bono merapikan orderan kue di atas meja kasir.

"Hush ... biarin aja itu urusan dia dengan Tuhannya. Sana ... nanti keburu hujan."

"Nggih, Bu Bos." Bono menarik resleting jaketnya.

"Aamiin ... mudah-mudahan jadi Bu Bos beneran ya," kekeh Rubi.

*****

Sore itu hujan kembali mengguyur kota Semarang, beberapa kali petir saling sambar menyambar bersahutan. Toko roti Rubi yang berdiri sudah enam tahun itu mulai sepi pembeli.

Toko roti yang dia dirikan dengan segala upaya itu kini memiliki empat karyawan termasuk Bono, mereka masih saling bantu membantu dalam pembagian tugas. Begitu pula catering yang Rubi jalankan sekarang bersama ibunya dan pembantu rumah tangga yang sudah bersama mereka selama 10 tahun.

Berjuang sendiri selama enam tahun tanpa sosok seorang suami dan membesarkan anak semata wayangnya bagi Rubi berat hanya di awal saja selebihnya dia hanya menerima takdir yang sudah tertulis dan menjalaninya.

Dua minggu lalu, Rubi di hubungi oleh  Inggit. Inggit yang menginformasikan adanya tender kerjasama catering dengan sebuah perusahaan food and beverage ternama. Tanpa pikir panjang, Rubi mengiyakan ajakan itu dengan harapan jika dia memenangkan tender tersebut maka dia dapat mengembangkan usaha cateringnya lebih besar lagi.

"Halo," jawab Rubi.

"Ibu Rubi," sapa suara wanita di seberang sana.

"Iya benar, dengan siapa?" Rubi mengerutkan keningnya.

"Saya Winda dari PT. Anugerah Sentosa ...."

"Oh ya ... ya, Bu Winda. Bagaimana Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanya Rubi beranjak dari tempat duduknya.

"Saya hanya ingin menyampaikan kalau perusahaan catering Ibu memenangkan tender kerjasama denga perusahaan kami."

Rubi tercekat, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Seakan doa-doanya perlahan-lahan di kabulkan oleh Tuhannya.

"Halo ... Ibu Rubi?" Suara Winda membuyarkan perasaan bahagia Rubi.

"Ya ... ya Bu Winda, terimakasih banyak. Terimakasih atas kepercayaan perusahaan Anda sudah mau memberikan kesempatan bagi kami," ucap Rubi senang.

"Senin sudah bisa siap? Atau mungkin Ibu Rubi mau melihat ruangan kantin kami agar bisa menata terlebih dahulu?"

"Oh, boleh?"

"Boleh ... kenapa tidak?" Suara Winda begitu ramah.

"Baik, terimakasih Bu Winda. Saya usahakan besok saya akan lihat tempatnya dulu. Besok saya bertemu dengan siapa?" tanya Rubi yang masih belum percaya dengan apa yang terjadi.

"Bisa bertemu dengan saya, pukul 1 siang, bagaimana?"

"Baik Bu Winda, terimakasih ... terimakasih."

Percakapan itu berakhir pun Rubi seakan masih belum percaya. Catering yang dia bangun empat tahun ini membuahkan hasil, kerja kerasnya selama ini tidaklah sia-sia.

Hujan di luar sana sudah mulai mereda, dua karyawan Rubi yang sedari tadi memperhatikan pemilik toko roti itu berulang kali saling bertatapan.

"Kita menang ... kita menang tender, mulai Minggu kita harus bekerja lebih giat lagi," ujar Rubi bersemangat. "Siap bantu aku ya? Nanti aku buat pembagian tugas lagi, tenang saja gaji kalian akan naik," ucap Rubi tersenyum bahagia.

"Makasih, Mbak," ujar mereka bersamaan.

*****

"Bunda."

Suara Tama membuat Rubi menoleh ke arah pintu kamarnya. Anak lelakinya yang sudah berumur 10 tahun itu sudah mengenakan piyama berjalan ke arahnya.

"Tama," ujar Rubi sambil merentangkan kedua tangannya. "Mau tidur sama Bunda?"

"Tama sudah gede, Bun." Tama memeluk wanita tangguh di hadapannya itu lalu memberikan kecupan di pipi Rubi.

"Terus?"

"Dua hari lagi ada pertemuan orang tua murid," ujar Tama. "Bunda bisa ke sekolah?"

"Dua hari lagi?"

"Iya, hari Senin. Bisa kan?"

"Hhmm ... hari Senin itu Bunda launching catering kita di kawasan industri," jelas Rubi.

"Terus gimana dong, Bun."

"Maafin Bunda ya, Tama. Itu hari pertama kerjasama catering kita dan Bunda harus di sana. Sama Itu, ya." Rubi membelai rambut tebal milik Tama.

"Iya, enggak apa-apa. Mau gimana lagi kalo Bunda nggak bisa," ujar Tama tersenyum dengan terpaksa.

"Sini." Rubi merangkul putra kesayangannya itu. "Bunda janji, setelah semuanya normal dan berjalan dengan baik. Bunda akan selalu ada waktu untuk Tama."

"Janji?" Tama menatap kedua mata Rubi.

"Janji, setelah semuanya berjalan sempurnai. Bunda janji nggak akan terlalu sibuk ...." Rubi mengeratkan pelukannya.

"Terimakasih Bunda." Tama membalas pelukan Rubi sama eratnya. "Tama pergi tidur, ya." Tama mengecup pipi Rubi lalu beranjak meninggalkan kamar itu setelah mendapatkan balasan kecupan dari Rubi.

Rubi mematut dirinya di depan cermin, tersenyum bahagia. Enam tahun dia berjuang sendiri dan bersyukurnya dikelilingi orang-orang baik, membawanya hingga bisa seperti sekarang ini setelah keterpurukan selama bertahun-tahun lamanya.

Rubi meraih ponselnya, mengabari Bono untuk bersiap esok hari menemaninya mengunjungi perusahaan Anugerah Sentosa.

"Siap-siap besok, Bon ... kamu benar, kita menang tender." Isi pesan Rubi untuk Bono di akhiri emoticon haru.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
selamat calon bu bos wkwkwk tama sabar ya bunda lagi berjuang buat kamu nak .........
goodnovel comment avatar
Nury
kata2 bang bono terkabul euy..yeayy
goodnovel comment avatar
Patia Al Adawiyah
kenapa bab 5 dan bab 6 sama ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status