Share

5. Menang Tender

Penulis: Chida
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-18 12:15:54

"Jadi ... ditinggal gitu aja, Mbak?" Bono menyeruput es jeruknya.

"Setelah dia mencicipi masakan kita," jawab Rubi.

"Hhmm ... tapi kayaknya kita menang, Mbak," kata Bono yakin.

"Seyakin itu kamu, Bon." Rubi kembali berkutat dengan catatannya.

"Mbak Rubi cerita kalo wajahnya kayak seneng gitu kan waktu nyobain sambal goreng ati." Bono menggeser sedikit gelas berisi es jeruk ke sisi kanannya.

"Iya sih."

"Nah ... masakan yang kita suguhkan kemarin itu aku rasa lebih merakyat. Ya Mbak Rubi tau lah, di sana banyak karyawan pabrik kan ... rata-rata penikmat masakan biasa, itu yang kita jual." Bono mengubah posisi duduknya.

"Iya, aku ngerti ... cuma aku gak suka bos nya. Sombong ... ih kamu kalo liat juga bakal gemes." Rubi meletakkan pulpennya. "Mukanya itu nyebelin, gayanya gini kalo ngomong," ujar Rubi memperagakan tangan Regantara yang di lipat di depan dada.

"Haha ... hati-hati Mbak, biasanya dari benci jadi cinta." Bono tertawa.

"Hush ... opo toh, kamu ada-ada aja. Eh iya, kamu hari ini nganter kue ke tempat Ibu Broto, kan? bilang sama Bu Broto tagihan minggu lalu di selesaikan dulu. Lumayan uangnya buat nambah stok bahan roti sama kue buat di toko."

Rubi beranjak dari tempat duduknya, mengamati etalase yang sudah tersusun kue dan roti di dalamnya.

"Kenapa sih, Mbak ... kamu selalu kasih tempo ke Bu Broto sedangkan untuk pelanggan lain nggak?"

"Bon ... Bon ...." Rubi mengulang ulang nama lelaki 25 tahun itu. "Kamu ikut aku sudah berapa taun sih, masih aja kamu tanya itu. Bu Broto itu awal aku mendirikan usaha ini ya modalnya dari dia, meski terseok-seok kita bayar ke dia tapi sampai detik ini akhirnya kita mampu berdiri. Setidaknya jasa dia untuk kita itu sudah sangat membantu, sekarang giliran kita yang membantu dia. Apalagi kondisi dia sekarang malah di bawah kita sekarang."

"Tapi kan itu akibat dia juga terlalu sombong, kadang karma itu sekarang ndak pake di cicil ya, Mbak ... langsung di bayar kontan," ujar Bono merapikan orderan kue di atas meja kasir.

"Hush ... biarin aja itu urusan dia dengan Tuhannya. Sana ... nanti keburu hujan."

"Nggih, Bu Bos." Bono menarik resleting jaketnya.

"Aamiin ... mudah-mudahan jadi Bu Bos beneran ya," kekeh Rubi.

*****

Sore itu hujan kembali mengguyur kota Semarang, beberapa kali petir saling sambar menyambar bersahutan. Toko roti Rubi yang berdiri sudah enam tahun itu mulai sepi pembeli.

Toko roti yang dia dirikan dengan segala upaya itu kini memiliki empat karyawan termasuk Bono, mereka masih saling bantu membantu dalam pembagian tugas. Begitu pula catering yang Rubi jalankan sekarang bersama ibunya dan pembantu rumah tangga yang sudah bersama mereka selama 10 tahun.

Berjuang sendiri selama enam tahun tanpa sosok seorang suami dan membesarkan anak semata wayangnya bagi Rubi berat hanya di awal saja selebihnya dia hanya menerima takdir yang sudah tertulis dan menjalaninya.

Dua minggu lalu, Rubi di hubungi oleh  Inggit. Inggit yang menginformasikan adanya tender kerjasama catering dengan sebuah perusahaan food and beverage ternama. Tanpa pikir panjang, Rubi mengiyakan ajakan itu dengan harapan jika dia memenangkan tender tersebut maka dia dapat mengembangkan usaha cateringnya lebih besar lagi.

"Halo," jawab Rubi.

"Ibu Rubi," sapa suara wanita di seberang sana.

"Iya benar, dengan siapa?" Rubi mengerutkan keningnya.

"Saya Winda dari PT. Anugerah Sentosa ...."

"Oh ya ... ya, Bu Winda. Bagaimana Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanya Rubi beranjak dari tempat duduknya.

"Saya hanya ingin menyampaikan kalau perusahaan catering Ibu memenangkan tender kerjasama denga perusahaan kami."

Rubi tercekat, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Seakan doa-doanya perlahan-lahan di kabulkan oleh Tuhannya.

"Halo ... Ibu Rubi?" Suara Winda membuyarkan perasaan bahagia Rubi.

"Ya ... ya Bu Winda, terimakasih banyak. Terimakasih atas kepercayaan perusahaan Anda sudah mau memberikan kesempatan bagi kami," ucap Rubi senang.

"Senin sudah bisa siap? Atau mungkin Ibu Rubi mau melihat ruangan kantin kami agar bisa menata terlebih dahulu?"

"Oh, boleh?"

"Boleh ... kenapa tidak?" Suara Winda begitu ramah.

"Baik, terimakasih Bu Winda. Saya usahakan besok saya akan lihat tempatnya dulu. Besok saya bertemu dengan siapa?" tanya Rubi yang masih belum percaya dengan apa yang terjadi.

"Bisa bertemu dengan saya, pukul 1 siang, bagaimana?"

"Baik Bu Winda, terimakasih ... terimakasih."

Percakapan itu berakhir pun Rubi seakan masih belum percaya. Catering yang dia bangun empat tahun ini membuahkan hasil, kerja kerasnya selama ini tidaklah sia-sia.

Hujan di luar sana sudah mulai mereda, dua karyawan Rubi yang sedari tadi memperhatikan pemilik toko roti itu berulang kali saling bertatapan.

"Kita menang ... kita menang tender, mulai Minggu kita harus bekerja lebih giat lagi," ujar Rubi bersemangat. "Siap bantu aku ya? Nanti aku buat pembagian tugas lagi, tenang saja gaji kalian akan naik," ucap Rubi tersenyum bahagia.

"Makasih, Mbak," ujar mereka bersamaan.

*****

"Bunda."

Suara Tama membuat Rubi menoleh ke arah pintu kamarnya. Anak lelakinya yang sudah berumur 10 tahun itu sudah mengenakan piyama berjalan ke arahnya.

"Tama," ujar Rubi sambil merentangkan kedua tangannya. "Mau tidur sama Bunda?"

"Tama sudah gede, Bun." Tama memeluk wanita tangguh di hadapannya itu lalu memberikan kecupan di pipi Rubi.

"Terus?"

"Dua hari lagi ada pertemuan orang tua murid," ujar Tama. "Bunda bisa ke sekolah?"

"Dua hari lagi?"

"Iya, hari Senin. Bisa kan?"

"Hhmm ... hari Senin itu Bunda launching catering kita di kawasan industri," jelas Rubi.

"Terus gimana dong, Bun."

"Maafin Bunda ya, Tama. Itu hari pertama kerjasama catering kita dan Bunda harus di sana. Sama Itu, ya." Rubi membelai rambut tebal milik Tama.

"Iya, enggak apa-apa. Mau gimana lagi kalo Bunda nggak bisa," ujar Tama tersenyum dengan terpaksa.

"Sini." Rubi merangkul putra kesayangannya itu. "Bunda janji, setelah semuanya normal dan berjalan dengan baik. Bunda akan selalu ada waktu untuk Tama."

"Janji?" Tama menatap kedua mata Rubi.

"Janji, setelah semuanya berjalan sempurnai. Bunda janji nggak akan terlalu sibuk ...." Rubi mengeratkan pelukannya.

"Terimakasih Bunda." Tama membalas pelukan Rubi sama eratnya. "Tama pergi tidur, ya." Tama mengecup pipi Rubi lalu beranjak meninggalkan kamar itu setelah mendapatkan balasan kecupan dari Rubi.

Rubi mematut dirinya di depan cermin, tersenyum bahagia. Enam tahun dia berjuang sendiri dan bersyukurnya dikelilingi orang-orang baik, membawanya hingga bisa seperti sekarang ini setelah keterpurukan selama bertahun-tahun lamanya.

Rubi meraih ponselnya, mengabari Bono untuk bersiap esok hari menemaninya mengunjungi perusahaan Anugerah Sentosa.

"Siap-siap besok, Bon ... kamu benar, kita menang tender." Isi pesan Rubi untuk Bono di akhiri emoticon haru.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
selamat calon bu bos wkwkwk tama sabar ya bunda lagi berjuang buat kamu nak .........
goodnovel comment avatar
Nury
kata2 bang bono terkabul euy..yeayy
goodnovel comment avatar
Patia Al Adawiyah
kenapa bab 5 dan bab 6 sama ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Balada Duda - Janda   Extra Part 15 : Takdir Cinta

    Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men

  • Balada Duda - Janda   Extra Part 14 : Menutup Masa Lalu

    "Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren

  • Balada Duda - Janda   Extra Part 13 : Pertanyaan Di Hati

    Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu

  • Balada Duda - Janda   Extra Part 12 : Kangen Rumah

    Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?

  • Balada Duda - Janda   Extra Part 11 : Pilihan Aku Jatuh Di Kamu

    "Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti

  • Balada Duda - Janda   Extra Part 10 : Masih Ingat Dia

    Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status