"Bonoooo ...."
Suara nyaring Rubi membuat Bono harus berlari tergopoh-gopoh menghampiri pemilik catering tempat dia bekerja.
"Ini sudah selesai semua," kata Rubi menyodorkan dua paper box berisi sambal ati kentang dan ikan pesmol yang akan dia bawa ke sebuah perusahaan food and beverage.
"Mudah-mudahan tendernya, kita menangkan ya, Mbak," ucap Bono merapikan perlengkapan yang akan mereka bawa.
"Iya, mudah-mudahan ... habis antar aku, nanti jemput Tama ya. Takutnya hujan ... banjir." Rubi meraih tas tangannya.
"Terus, Mbak Rubi nanti naik apa?"
"Aku bisa pake ojek online, sekalian mau ke toko Bu Ratih beli perlengkapan roti, sudah mulai sedikit."
"Oke ...."
"Cepet ya, Bon. 15 menit kita sudah harus berada di sana," ujar Rubi meraih helm dari tangan Bono.
"Iya, Mbak ...."
Nyatanya, 15 menit berubah menjadi 30 menit lantaran mereka harus terjebak macet di Simpang Lima.
"Demo, Mbak," ujar Bono membuka kaca helmnya.
"Demo apalagi?"
"BBM, Mbak."
"Ya ampun." Rubi mendegus kesal.
"Mau demo kayak apa juga ndak bakalan turun," sungut Bono.
"Imbasnya juga kemana-mana, Bon. Kita saja yang masih pakai harga lama untuk jualan demi apa coba? biar pelanggan kita nggak lari."
"Ya itu, Mbak. Rakyat kecil kayak kita ini ya cuma bisa merasakan imbasnya, mau di lawan yo ora iso toh."
Bono kembali menjalankan motornya di antara kepadatan lalu lintas. Sementara para pendemo masih terus berteriak menyuarakan aspirasi rakyat dengan harapan Pemerintah sedikit saja lebih peduli dengan keputusan yang sudah di tetapkan yang berakibat kesusahan bagi rakyat.
"Aduh, telat ini Bon."
Rubi turun dari motor Bono dan merapikan pakaiannya.
"Cuma 15 menit telatnya, Mbak. Buruan, Mbak."
"Iya ... kamu jangan lupa ya, langsung jemput Tama." Rubi buru-buru melangkah.
"Mbak ...."
"Apalagi, Bon?!"
"Helm-nya," tunjuk Bono ke arah kepala Rubi.
"Astaga ... kamu kok nggak ngingetin."
"Ini udah, Mbak." Bono tertawa kecil. "Semangat, Mbak. Kita pasti menang." Bono mengangkat lengannya.
"Aamin ... semangat," ujar wanita berusia 36 tahun itu meninggalkan Bono sambil berlari kecil memasuki gedung kantor.
Setelah bertanya pada resepsionis, Rubi dipersilahkan untuk langsung menuju ruangan direktur utama di lantai lima gedung itu.
Pintu lift terbuka, matanya memandang kubikel- kubikel yang tersusun rapih di tiap ruangan. Sesekali wanita itu menundukkan kepalanya jika berpapasan dengan beberapa karyawan di sana hingga langkah kakinya terhenti di pojok ruangan dengan pintu yabg sedikit terbuka.
Rubi memberanikan diri mengetuk pintu itu, membukanya sedikit lagi lebih lebar hingga dia menjumpai dua orang asing di dalam ruangan itu.
"Selamat siang, maaf Saya terlambat ...."
Mata tajam itu menatapnya lama, bahkan senyum dari lelaki yang di duduk di hadapan laptop itu pun tak nampak.
"Ada yang bisa di bantu?" tanya Winda menghampiri Rubi.
"Saya Rubi ... Rubiandini, perwakilan dari catering Nyah Rubi," ujar Rubi mengulurkan tangannya pada Winda.
"Oh ... ya ya ... silahkan," ujar Winda ramah dan membalas uluran tangan Rubi. "Pak, ini pihak catering yang kedua," kata Winda lagi pada Regantara. "Silahkan, Mbak."
Rubi melangkah menuju meja kerja Regantara, lelaki itu masih sibuk menandatangani berkas yang Winda berikan tadi.
"Siapkan semuanya, setengah jam lagi kita berangkat," ujar Regantara.
"Baik, Pak." Winda melangkah meninggalkan ruangan itu.
Rubi masih tertunduk tanpa berani menatap lelaki yang duduk di hadapannya.
"Ehem ... Anda dari?"
Rubi mengangkat wajahnya memberanikan diri menatap lelaki tampan dengan mata tajam itu dengan percaya diri.
"Perkenalkan saya Rubi ... Rubiandini, pemilik catering Nyah Rubi. Saya di undang karena masuk dalam seleksi tender kerjasama catering dengan perusahaan Bapak," ujar Rubi.
"Nyah Rubi?"
Rubi menarik sudut bibirnya, tersenyum malu. Ya, nama itu baru saja tersematkan beberapa bulan belakangan ketika dia akan mengukuhkan nama usahanya yang sudah dia geluti kurang lebih empat tahun.
"Biar gampang diingat, Pak."
"Hhmm ... begitu." Regantara menggigit bibirnya, dia membolak-balik lembar demi lembar profil perusahaan Rubi.
"Sudah empat tahun mendirikan catering ini?"
"Iya, Pak," jawab Rubi tegas.
"Jadi gini," ucap Regantara menutup lembaran profit perusahaan itu. "Perusahaan saya memiliki lebih dari 150 karyawan yang nantinya akan menikmati masakan Anda. Kalau yang saya baca dari company profil Anda, Anda belum pernah sama sekali bekerjasama dengan sebuah perusahaan bahkan wedding organizer sekalipun."
"Iya ... tapi saya berusaha sebisa mungkin—"
"150 kepala setiap harinya," kata Regantara melipat tangannya di depan dada. "Sanggup? bahkan saya percaya karyawan yang bekerja dengan Anda pun ... ya paling hanya dua sampai tiga orang." Regantara mengangkat satu alisnya.
"Begini, Pak ... usaha saya memang masih terbilang baru, pengalaman kami pun mungkin belum banyak seperti perusahaan catering lainnya. Untuk bekerjasama dengan wedding organizer pun kami juga belum memulainya, tapi jika saya, Bapak berikan kesempatan maka saya akan semaksimal mungkin memberikan yang terbaik seperti yang Bapak mau," uajr Rubi membalas tatapan mata Regantara.
"Harga?" tanya Regantara.
"Harga sudah yang terbaik yang kami berikan. Silahkan ...," ujar Rubi menyodorkan dua paper box kehadapan Regantara. "Mungkin dengan mencicipi masakan kami, Bapak bisa membandingkan dengan kompetitor yang lain." Rubi memberikan sendok plastik kepada Regantara.
"Pesmol," ujar Regantara membuka paper box pertama lalu mencicipinya. "Oh ... sambal ati," ujar Regantara lagi saat membuka paper box kedua.
Rubi tahu betul sepertinya lelaki yang mengenakan kemeja berwarna biru tua itu menyukai masakan yang dia masak, terlihat dari wajah Regantara yang nampak senang saat paper box berisi sambal ati itu terbuka.
"Winda ...," ucap Regantara melalui telepon pararelnya.
Tak lama Winda pun datang memasuki ruangan itu.
"Ini kamu bereskan," titah Regantara menunjuk paper box yang tadi dia cicipi lalu berdiri meraih ponselnya. "Saya tunggu kamu di lobby," ujar Regantara lagi.
"Hah?" Tanpa sadar Rubi bersuara. "Jadi bagaimana, Pak?" tanya Rubi ikut berdiri dari tempat duduknya.
"Nanti saya kabari ya, Mbak. Kebetulan kami ada meeting setengah jam lagi," ujar Winda.
"Oh.' Rubi tercekat sementara Regantara sudah melenggang keluar dari ruang kantornya.
"Secepatnya saya hubungi," ujar Winda yabg merasa tak enak hati pada Rubi.
"Oh, baiklah." Rubi menjawab lesu lalu melangkah pergi dengan wajah tertunduk.
"Apa semua bos begitu, ya?" gumam Rubi sambil keluar dari lift kantor Regantara. "Sok, sombong ... ish." Rubi meraih ponselnya sambil berjalan melewati lobby.
"Makanan enak-enak di suruh beresin, kan kasian ... mubazir. Pasti di buang ... huh." Rubi masih berdiri di dekat pintu kaca besar kantor itu menunggu ojek online yang dia pesan.
"Aku tau kok dia suka sama sambel ati aku. Dari wajahnya aja udah keliatan dia suka ... dasar sombong. Makanan orang kampung itu ya pasti ngangenin, harga aja udah di kasih paling bagus, paling murah. Mana ada di Semarang kasih harga semurah Nyah Rubi. Mentang-mentang usaha aku nggak pernah kerjasama dengan WO atau perusahaan apa lah itu, jadi di anggap enteng. Gini-gini, nikahan di kampung-kampung juga banyak yang pake," sungut Rubi.
"Halo." Rubi menjawab telepon dari Bono. "Enggak tau, Bon. Ditinggal pergi gitu aja, udah lah jangan berharap kita menang," sahut Rubi. "Udah dulu ya, ojek aku udah dateng ... Tama udah kamu jemput? Ya ... ya sudah. Ketemu di rumah aja." Rubi mengakhiri pembicaraannya.
Rubi menghela napasnya, menerima helm dari supir ojek yang sudah berada di hadapannya.
"Sesuai aplikasi ya, Mbak."
"Nggih, Mas." Motor itu melesat meninggalkan gedung kantor Regantara.
"Pak ...." Winda sudah berdiri di samping mobil Regantara menunggu lelaki itu menatap kepergian Rubi.
"By the way, Win. Sepertinya saya cocok dengan makanan yang di bawa oleh wanita tadi. Dari segi harga juga jauh di bawah harga kompetitor sebelumnya. Besok kamu hubungi wanita tadi, kata kan padanya perusahaan kita memakai jasanya untuk catering karyawan di kantor," ujar Regantara lalu masuk ke dalam mobilnya.
"Baik, Pak."
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea