Share

Bab 64

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-27 23:51:40

"Selamat pagi, Pak Hendro," sapa Nayla sopan sambil duduk.

"Selamat pagi, Nona Nayla," balas Pak Hendro dengan senyum ramah. "Senang melihat Anda kembali ke Bandung."

Nayla mengangguk kaku, lalu menatap ayahnya, menunggu penjelasan.

Pak Mahardika berdeham pelan, tatapannya tajam namun tidak menghakimi. "Nayla," mulainya dengan suara tenang, "apa yang kamu ketahui tentang Grup Mahardika saat ini?"

Pertanyaan itu mengejutkan Nayla. Selama dua tahun terakhir, ia sengaja menjauhkan diri dari segala hal yang berhubungan dengan bisnis keluarganya—bagian dari upayanya untuk membuktikan bahwa ia bisa sukses tanpa nama besar Mahardika.

"Tidak banyak," aku Nayla jujur. "Terakhir yang kutahu, Grup Mahardika sedang berekspansi ke sektor energi terbarukan dan teknologi finansial."

Pak Mahardika mengangguk. "Benar, dan sejak saat itu, kami telah mengakuisisi dua perusahaan teknologi, mendirikan yayasan pendidikan digital, dan meluncurkan platform investasi yang kini memiliki nilai valuasi tertinggi
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 75

    "Dia bukan laki-laki sembarangan. Dia—""Dia apa? Pemuda yang tidak punya masa depan jelas? Yang berharap bisa naik kelas sosial dengan mendekati anakku?""Galan tidak seperti itu!" Nayla berdiri, suaranya meninggi. "Dia tidak tahu aku anak siapa ketika pertama kali kita bertemu!""Nayla, kamu masih muda. Kamu tidak tahu bagaimana dunia ini bekerja. Laki-laki seperti dia hanya akan jadi beban dalam hidupmu.""Beban?" Nayla tertawa pahit. "Galan justru yang membuat hidup aku berarti. Dia yang membuat aku merasa berguna.""Berguna?" Bambang berdiri, wajahnya memerah. "Kamu sudah berguna sejak lahir. Kamu adalah pewaris Sutrisno Group. Kamu akan memimpin perusahaan ini suatu hari nanti.""Aku tidak mau!" teriak Nayla.Keheningan mencekam menguasai ruangan."Aku tidak mau jadi pewaris perusahaan. Aku tidak mau hidup yang sudah diatur sedemikian rupa. Aku mau hidup aku sendiri yang memilih!"Bambang duduk kembali, wajah

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 74

    Delapan bulan berlalu sejak pertemuan pertama mereka di gang sempit itu. Nayla kini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Yayasan Cahaya Harapan. Setiap akhir pekan, ia akan pergi ke Kampung Mekar dengan alasan ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok.Hubungannya dengan Galan berkembang perlahan, dimulai dari percakapan panjang tentang mimpi-mimpi mereka, berlanjut ke momen-momen kecil ketika mereka bekerja sama mengajar anak-anak, hingga akhirnya mereka sadar bahwa yang mereka rasakan sudah lebih dari sekadar kekaguman."Nayla, kamu tahu tidak, Pak Harman tadi bertanya tentang kamu lagi," kata Galan suatu sore ketika mereka sedang membereskan ruang belajar setelah mengajar.Pak Harman adalah ayah dari Rian, salah satu murid les gratis di yayasan. Anaknya yang tadinya kesulitan membaca kini sudah bisa mengeja dengan lancar berkat bantuan Nayla."Dia bilang apa?" tanya Nayla sambil melipat poster-poster yang mereka gunakan untuk mengajar."Dia bilang, 'Anak baik i

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 73

    Hujan sore itu membasahi jalanan berlumpur di Kampung Mekar, sebuah pemukiman padat di pinggiran kota yang jarang dikunjungi anak-anak dari keluarga berada. Nayla menarik napas dalam-dalam ketika ia turun dari angkot yang sudah berkali-kali berhenti karena jalanan yang rusak. Sepatu boots mahalnya segera kotor oleh genangan air yang bercampur tanah."Kamu yakin alamatnya di sini?" tanya Sari, sahabatnya yang ikut mendampingi dengan wajah ragu.Nayla mengeluarkan kertas kecil dari saku jaketnya. "Yayasan Cahaya Harapan, Gang Mawar nomor 15." Ia mengangkat kepala, melihat papan nama gang yang cat birunya sudah memudar. "Ini dia."Mereka berjalan masuk ke gang sempit yang hanya bisa dilalui satu sepeda motor. Di kiri-kanan berjejer rumah-rumah kecil dengan dinding tembok yang sudah mengelupas. Anak-anak bermain di depan rumah meski hujan belum berhenti sepenuhnya, tertawa riang tanpa peduli dengan kondisi jalanan yang becek."Nayla..." Sari menyentuh lengan sahabatnya. "Ayahmu tahu kamu

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 72

    Sejak kecil, Nayla sudah dibesarkan dalam dunia penuh target dan jadwal: les piano, bahasa asing, coding, bahkan public speaking. Ibunya menginginkan Nayla jadi wanita sempurna, sementara ayahnya—seorang pria dingin tapi visioner—memimpikan pewaris tangguh yang bisa duduk di kursi utama Mahardika Corp.Tapi Nayla kecil… ia hanya ingin hidup bebas dan mencintai tanpa tekanan.Malam itu, setelah kembali dari Lombok, Nayla duduk di kamar masa kecilnya yang masih utuh seperti dulu. Dinding dipenuhi piala kompetisi piano, sertifikat bahasa, dan foto-foto keluarga yang terlihat sempurna tapi dingin. Di sudut ruangan, piano hitam mengkilap masih berdiri megah—saksi bisu dari tahun-tahun yang penuh tekanan.Nayla menyentuh tuts piano dengan jari yang sudah lama tak berlatih. Melodi yang keluar terdengar patah-patah, seperti kenangan masa kecil yang terfragmentasi."Nayla, duduk yang tegap! Kamu calon pemimpin, bukan anak biasa!""Nilai matematikamu turun? Bagaimana mau memimpin perusahaan kal

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 71

    Tiga hari setelah percakapan itu, Nayla sudah duduk di ruang rapat yang sama tempat ia dulu mendengar keputusan-keputusan penting keluarga sebagai penonton. Kini, ia duduk di kursi yang dulu kosong—kursi yang ditinggalkan ibunya ketika sakit mulai menggerogoti tubuhnya."Proyek pembangunan resort di Lombok mengalami hambatan," lapor Pak Hendro, manajer senior. "Izin lingkungan tertunda karena ada protes warga setempat."Nayla mendengarkan dengan seksama. Ayahnya tak langsung memberi jawaban, melainkan menatap Nayla. "Apa pendapatmu?"Semua mata tertuju padanya. Nayla merasakan jantungnya berdetak cepat, tapi ia ingat kata-kata ayahnya: bukan sebagai korban, tapi sebagai pewaris."Kita perlu turun langsung," kata Nayla pelan tapi tegas. "Bertemu warga, dengarkan kekhawatiran mereka. Mungkin ada solusi yang menguntungkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan lingkungan."Pak Hendro tampak ragu. "Tapi itu akan memakan waktu dan biaya tambahan, Nona.""Reputasi keluarga ini dibangun atas k

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 70

    Pukul sebelas malam, mobil sedan hitam Nayla memasuki garasi rumah keluarga Mahardika di Bandung. Perjalanan dari Jakarta terasa lebih panjang dari biasanya, bukan karena macet, tapi karena pikiran yang terus berputar menganalisis setiap detail dari acara bisnis tadi.Nayla duduk sejenak di dalam mobil setelah mematikan mesin, menatap pantulan dirinya di rearview mirror. Makeup yang tadi pagi perfect kini sedikit pudar, tapi aura confident yang ia bangun masih terpancar jelas. Namun ada sesuatu yang terasa... kosong.Kesuksesan networking tadi malam, cara para CEO mendengarkan ide-idenya dengan serius, bahkan moment ketika ia melihat shock di wajah Galan—semuanya terasa seperti victory. Tapi mengapa ada rasa hampa yang menggerogoti dadanya?Nayla keluar dari mobil dan melangkah pelan menuju pintu utama rumah. Heels Christian Louboutin yang ia kenakan berbunyi ritmis di lantai marmer, suara yang biasanya memberikan confidence kini terdengar seperti echoing di kesunyian malam.Rumah tam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status