Share

Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua
Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua
Author: N Lita S

01

Author: N Lita S
last update Last Updated: 2025-09-21 01:04:42

Ting…

Elena yang baru saja akan memejamkan mata mengerjap pelan ketika dering ponselnya terdengar, disertai getaran ringan di meja nakas. Hujan deras masih mengguyur malam itu. Siapa yang menghubunginya di waktu seperti ini? Mas Dito? Tidak mungkin—pria itu sedang liburan di Labuan Bajo bersama keluarganya yang kaya raya.

Dengan malas, Elena meraih ponsel. Sebuah pesan masuk dari Seline, sahabatnya.

Seline: El, tolong buka pintunya. Gue di depan apartemen lo.

Elena sontak bangkit. Tanpa sempat membalas, ia berlari menuju pintu.

Ceklek!

“Sel?” Elena terbelalak. Sahabatnya berdiri di ambang pintu dengan rambut basah, pakaian kusut, wajah sembab—dan yang paling mengejutkan, seorang ba Yi merah dalam dekapannya.

“Masuk, ayo!” Elena segera menyingkir, memberikan jalan.

Seline melangkah masuk ke apartemen studio yang sederhana tapi hangat. Ia langsung duduk di sofa, memeluk erat bayinya. Elena bergegas mengambil handuk dan segelas air.

“Minum dulu, baru cerita pelan-pelan,” ucap Elena, menyodorkan gelas.

Tangan Seline gemetar saat menerima air itu. Baru beberapa teguk, air matanya sudah kembali pecah. Tubuhnya bergetar hebat. Elena hanya bisa mengusap punggung sahabatnya, membiarkannya menangis.

“Ada apa, Sel? Ba yi siapa ini? Dan ke mana aja lo setahun ini?” Elena melontarkan pertanyaan bertubi-tubi.

Alih-alih menjawab, Seline justru menyerahkan bayi itu ke pelukan Elena. Suaranya lirih, penuh getir:

“El, gue nggak bisa jelasin sekarang. Gue titip Sheryl sama lo.”

Elena menatap bayi itu, bingung. “Sheryl?”

“Sheryl Adeline. Anak gue, El.”

“Apa?!” Elena hampir terjatuh saking terkejutnya. Bagaimana mungkin sahabatnya yang selalu terlihat tertutup, kini datang membawa bayi?

Seline menatapnya dengan mata penuh harap. “Gue tahu ini bikin lo kaget. Tapi gue janji bakal jelasin nanti. Sekarang, tolong jagain dia dulu, ya?”

“Tapi lo mau ke mana?” Elena masih kebingungan.

Seline menarik napas berat. “Gue harus nyusul Satrio, kembarannya Sheryl.”

“Kembar?” Elena makin syok.

Seline mengangguk. “Anak kembar. Cewek-cowok.” Senyum samar muncul di wajahnya, meski jelas ditutupi kesedihan. “Sheryl gue titip ke lo. Di luar hujan, dia nggak boleh kedinginan.”

Dengan berat hati, Elena mengangguk. “Baik… tapi lo harus balik cepat. Lo utang banyak cerita, Sel.”

Seline menurunkan ranselnya. “Isi baju Sheryl ada di sini. Kalau dia ngompol, tinggal ganti.”

Elena mendesah, mencoba sabar. “Gue antar lo sampai depan.”

Di depan pintu, Seline tiba-tiba berhenti. Ia berbalik, lalu memeluk Elena erat. “Lo sahabat terbaik gue, El. Gue sayang lo.” Suaranya bergetar.

Elena menutup mata, menahan air bening yang hampir jatuh. “Makanya jangan lama. Cepat balik. Ambil Satrio, jemput Sheryl. Jangan bikin gue bingung sendiri.”

Seline tersenyum kecil, mengangguk, lalu menatap Sheryl untuk terakhir kalinya sebelum pergi. “Sayang, mama tinggal sebentar ya. Mama jemput abang dulu…” bisiknya, mengecup kening bayi mungil itu.

“Sel, jangan drama. Lo kayak mau pergi jauh.” Elena menatapnya curiga, mencari kejujuran di matanya.

Namun Seline hanya mengulang lebih pelan: “Titip Sheryl, El.”

Elena tersenyum tipis. “Iya. Gue jagain dia baik-baik. Tapi jangan lupa jemput dia tepat waktu.”

Seline mengangguk, lalu melangkah pergi.

“Dada, mama!” Elena bersuara dengan nada dibuat-buat ceria, menirukan anak kecil. “Cepat balik ya, mama!”

Kata-kata itu membuat langkah Seline goyah. Ia menatap lantai lorong apartemen yang basah oleh hujan. Air matanya jatuh deras.

Maafin gue, El… Gue nggak akan bisa jemput Sheryl.

Dalam hati, ia berbisik lirih: El, gue percaya lo bakal sayangin Sheryl lebih dari siapa pun. Tolong jaga dia…

Dengan langkah berat, Seline meninggalkan Elena dan Sheryl di balik pintu lift yang kini tertutup rapat.

*

Beberapa jam kemudian.

Seline duduk di balik kemudi, menatap bayi merah di jok sebelahnya. Wajahnya dingin, tapi matanya penuh duka. Bayi itu tak lagi berna pas.

“Sayang… adik sudah sama yang tepat. Sekarang mama bisa temenin kamu, Satrio,” bisiknya, menyentuh tubuh mungil yang terbungkus selimut.

Mesin mobil menyala. Kendaraan melaju kencang menembus hujan malam, menuju tol arah Bandung. Jarum speedometer merayap naik.

Seline menggenggam setir erat-erat. Napasnya berat. Air matanya jatuh tanpa henti. Hingga akhirnya… ia membe ‘lokkan setir tajam.

Mobil itu menghan ‘tam pembatas, lalu ter jun bebas ke jur ang cu ram.

“Sheryl… mama lakukan ini demi kamu. Demi keselamatanmu. Semoga suatu hari, kamu nggak ben ci keputusan mama ini…” lirihnya, sebelum menu tup mata.

Dentuman keras memecah keheningan malam. Mobil itu hilang ditelan gelap, meninggalkan takdir yang ke lam.

TBC...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    07

    Elena memejamkan mata sejenak, merasakan kegelisahan mulai merayapi pikirannya. Ia tahu, setelah mengaku tentang Sheryl, hubungannya dengan Dito tak akan lagi sama. Namun, ia tak ingin ada kebohongan atau harapan kosong yang menggantung. Lebih baik jujur daripada harus memikul beban yang semakin berat.Diva meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan lembut.“Lo yakin nggak mau nunggu lebih lama? Pikirkan lagi baik-baik, El. Mungkin lo bisa pelan-pelan kasih dia waktu buat menerima semua ini.”Elena menggeleng, menatap Diva dengan mata yang menyiratkan tekad.“Nggak, Va. Gue nggak mau menggantung hubungan ini lebih lama. Kalau dia bisa terima, itu keajaiban buat gue. Tapi kalau nggak… gue akan berusaha ikhlas.”“Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” ucap Diva, nada khawatir terdengar jelas.Elena tersenyum tipis, meskipun ada rasa perih di baliknya.“Nyesel itu pasti ada, Va. Tapi, yang lebih gue takutkan adalah nyakitin dia lebih dalam karena gue nggak berani jujur dari awal.”Diva ter

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    06

    Elena bersimpuh di samping pusara Seline, baby Sheryl berada dalam pangkuannya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan senyum tipis yang berbalut duka.“Sel, pergilah dengan tenang. Gue janji, gue bakal melindungi Sheryl sepenuh hati. Gue bakal menyayangi dia kayak anak gue sendiri,” ujarnya dengan suara serak, menahan tangis.Elena menunduk, pandangannya jatuh pada Sheryl yang memandangnya dengan mata polos, bibir mungilnya melengkung seperti tersenyum.“Mulai sekarang, kamu anak mami, ya, Sayang. Kita akan jalani semuanya bareng,” bisiknya lembut, seolah berkomunikasi langsung dengan bayi mungil itu.Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Bayi mungil dalam pangkuannya, Sheryl, menggerakkan tangannya yang kecil seakan merespons kata-kata Elena.“Kamu anak mami, sayang,” ulang Elena dengan suara lebih lembut, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan yang benar.Diva yang berdiri di samping Elena ikut terenyuh, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    05

    Selamat membaca, teman-teman…Follow IG: n.lita.s*Suasana pemakaman yang semula dipenuhi keheningan dan duka perlahan berubah riuh oleh bisik-bisik para tamu. Sebagian tidak mampu menahan kekaguman terhadap sosok Liam Dirgantara yang hadir dengan aura karismatiknya.“Itu Liam Dirgantara, kan? CEO muda Dirgantara Corp?” tanya seorang wanita penuh penasaran.“Seline kenal Pak Liam? Kok bisa?” sahut suara lain, sama terkejutnya.“Ya ampun, ganteng banget,” komentar berikut disertai tawa cekikikan.“Mahluk Tuhan paling memesona, beneran ini.”“Astaga, hatiku bergetar, Gusti.”“Aduh, andai bisa deket sama Pak Liam.”“Ganteng banget, sumpah.”Keharuan yang tadi menyelimuti pemakaman seketika berganti dengan riuh pujian. Bukan hanya para wanita, beberapa pria pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman mereka pada sosok tampan berwibawa itu.Namun, di tengah segala sanjungan, hanya ada satu orang yang merasa muak setiap kali nama Dirgantara disebut—Elena. Ia berdiri agak jauh, berusaha mengabai

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    04

    "Jadi, sekarang lo butuh gue bantu apa, El?" Suara Diva memecah keheningan. Elena menoleh, matanya membesar, sedikit terkejut mendengar nada Diva yang mulai melunak."Kenapa lo natap gue gitu? Terharu, ya?" cibiran khas Diva menyusul. Meski suaranya terdengar sarkastik, ada kehangatan samar di baliknya.Elena tersenyum kecil—senyum yang tidak muncul sejak kepergian Seline. "Gue tahu lo pasti dukung keputusan gue, Va," ucapnya lega.Diva mendengus, melipat tangan di dada sambil menyandarkan tubuh ke dinding. "Tapi gue nggak mau ikut-ikutan kalo lo diamuk Bapak sama Ibu gue, ya. Ngeri," katanya sambil menggeleng. Ekspresinya setengah bercanda, setengah serius.Elena tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, meski matanya masih sembap. "Budhe sama Pakdhe pasti nggak akan mudah terima keputusan gue, Va. Tapi gue percaya, kasih sayang mereka bakal meluluhkan rasa kecewa mereka."Diva mengangkat alis, skeptis, tapi tak tega meruntuhkan semangat sepupunya. "Ya... tetep aja lo b

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    03

    Keesokan harinya.Tragis. Kecelakaan tunggal di Tol Jakarta–Bandung m.e.n.e.w.a.s.k.a.n seorang ibu muda dan bayinya.”Pyar!Gelas di tangan Elena terjatuh, pecah berantakan di lantai. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita kecelakaan itu. Napasnya tercekat, tubuhnya membeku, sementara kalimat reporter terasa menghantam dadanya.“Seline… Satrio…” gumam Elena, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh, perlahan tapi pasti. Tangannya gemetar saat melihat gambar mobil yang rusak parah. Plat nomornya… itu plat mobil Seline.Tangisnya pecah. “Lo beneran ninggalin dunia ini, Sel. Ninggalin gue, ninggalin Sheryl…” suaranya bergetar, penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Bayangan wajah sahabatnya dan bayi mungil itu mengaburkan pandangannya.Drttt…Ponsel Elena berdering. Di layar, tertera nama yang akrab tapi terasa berat untuk dihadapi: Tante Erika.Dengan tangan gemetar, Elena mengangkat panggilan itu. “Ha…halo, Tante,” jawabnya, mencoba menahan tangis meski suarany

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    02

    Dua jam setelah Seline menitipkan Sheryl pada Elena, apartemen berubah senyap. Hingga tiba-tiba, tangis keras bayi itu memecah keheningan. Sheryl terbangun, suaranya mengguncang jiwa Elena yang baru saja memejamkan mata.“Utututu… Ayang kenapa nangis?” Elena berbisik lembut sambil mengangkat tubuh mungil Sheryl. Ia tersenyum tipis meski matanya berat menahan kantuk. “Oh, Sheyil ngompol, ya?” kekehnya pelan, meraba po pok basah bayi itu.Setelah meletakkan Sheryl kembali di tempat tidur, Elena meraih ponselnya. “Ini jam berapa, sih?” gumamnya lirih. Layar ponselnya kosong—tak ada pesan masuk, juga tak ada panggilan dari Seline.“Mama kamu kayaknya masih di jalan, Dek,” bisiknya pada Sheryl.Namun kegelisahan makin menekan dadanya. Ia akhirnya mengetik pesan:Elena: Lo di mana, Sel? Udah jalan ke apart gue belum? Sheryl nangis, nih. Po poknya penuh. Gue bingung gantiinnya.Pesan terkirim, tapi hanya centang satu. Elena mengernyit. “Kenapa cuma segini? Jaringan lo jelek, Sel?” gumamnya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status