Share

BAB 3.

Penulis: Rosshie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-24 14:09:27

Aku mematung, tubuhku seolah kehilangan tenaga. Kata-kata wanita itu masih menggema di telingaku.

“Raf, kamu ingat dengan janji kamu saat menikahi aku.”

Menikah? Apa maksudnya?

Jadi, Mas Raffi... suamiku... sudah menikahi wanita itu? Dunia di sekelilingku seperti berhenti berputar.

Kata-kata itu mengiris hatiku lebih dalam daripada pisau.

Cinta suci yang selama ini kupelihara dengan segenap jiwa, kini hancur berkeping-keping hanya dengan kalimat pendek itu.

Aku mencoba membaca wajahnya. Tidak ada tanda-tanda kebohongan, tidak ada usaha untuk menyangkal. Wanita itu berdiri tegak dengan penuh keyakinan, seolah ingin menunjukkan bahwa ia memiliki sesuatu yang lebih dariku.

Tapi aku tak boleh menangis. Tidak di sini. Tidak di depan wanita itu. Aku harus kuat.

“Mas, jelaskan semuanya sekarang!” desisku dengan suara bergetar. Tanganku menarik kerah jas Mas Raffi, memaksanya menatapku. Aku membutuhkan jawaban, penjelasan, apa pun itu.

“Apa benar yang dia katakan? Mas sudah menikah dengannya?” lanjutku dengan nada penuh tuntutan.

Mas Raffi terdiam. Wajahnya penuh kebimbangan. Sementara itu, aku berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Sekuat apa pun aku mencoba menenangkan diri, rasa sakit di dada ini semakin menjadi-jadi.

“Ra, aku bisa jelasin semuanya. Aku mohon, beri aku waktu,” jawabnya akhirnya, dengan suara yang lemah.

Waktu? Apa maksudnya waktu? Jawaban itu tidak membuatku lebih tenang, malah sebaliknya.

Aku memelototinya. “Jadi Mas membenarkan apa yang wanita ini katakan? Mas sudah menikah dengannya?”

Aku menahan diri agar tidak berteriak lebih keras. Tapi emosi yang membuncah di dalam dada membuat suaraku bergetar.

Tiba-tiba, wanita itu ikut campur. Ia menarik tanganku agar menjauh dari Mas Raffi.

“Hei! Berhenti menyalahkan Raffi! Kamu pikir kamu siapa, hah?!” teriaknya dengan nada sinis.

“Dasar pelakor!” bentaknya lagi sambil melayangkan tangan kanannya ke arahku. Aku refleks menahan tangannya. Tidak! Aku tidak akan membiarkan dia menyentuhku.

“Aku bukan pelakor!” teriakku, menghempaskan tangannya dengan kasar.

Tubuhku bergetar, mataku merah, tapi aku tahu aku harus tetap berdiri tegak.

“Aku istri sah Mas Raffi! Aku istri sah! Kamu dengar itu?!” tambahku, menunjuk tepat di wajahnya.

Wanita itu terkejut, langkahnya mundur setengah langkah. Melihat reaksinya, aku tahu satu hal: Mas Raffi tidak pernah jujur padanya. Ia menyembunyikan fakta bahwa dirinya sudah menikah. Tapi itu tidak membuatku merasa lebih baik.

Bagaimana mungkin suamiku yang selama ini begitu aku percayai bisa melakukan hal sekeji ini?

Tiba-tiba sebuah kemungkinan menyelinap di pikiranku. “Bukankah di KTP sudah jelas tercantum status pernikahan? Bagaimana dia bisa menikah lagi?” pikirku.

Atau jangan-jangan... apakah dia memakai cara yang tidak sah? Rasanya semakin sulit untuk bernapas.

“Brengsek! Aku tidak akan tinggal diam! Aku tidak terima!” wanita itu berteriak histeris, wajahnya merah padam. Tapi aku tidak peduli.

Aku hanya ingin jawaban dari Mas Raffi.

Mas Raffi mendekati wanita itu, mencoba menenangkannya. Ia memeluk wanita itu, seolah menunjukkan bahwa wanita itu lebih penting daripada aku.

Hatiku hancur. Suamiku, pria yang kupercaya dengan seluruh hidupku, kini memeluk wanita lain di hadapanku.

“Kamu bohongin aku, Raf! Kamu bohongin aku!” wanita itu memukul-mukul dada Mas Raffi dengan tangan gemetar.

Mas Raffi mengangkat wajahnya, lalu memaksanya masuk ke dalam mobil.

Aku berdiri mematung. Tanganku mengepal, tubuhku gemetar. Aku ingin berteriak, ingin meluapkan semua rasa sakit ini. Tapi suaraku tercekat di tenggorokan.

Aku hanya bisa menyaksikan mereka pergi meninggalkanku di tengah jalan. Mobil mereka melaju, membawa serta kebahagiaan yang dulu kumiliki.

Tubuhku akhirnya menyerah. Aku jatuh bersimpuh di jalanan basah, tak peduli tatapan orang-orang yang lewat.

Hujan mulai turun, membasahi tubuhku yang sudah hancur berkeping-keping.

Aku menangis, tapi air mataku tersamarkan oleh hujan. Mungkin Tuhan memang mengirimkan hujan agar tak ada yang tahu betapa lemahnya aku saat ini.

“Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini?” jeritku dalam hati.

Aku memukul-mukul dadaku, berharap rasa sakit ini akan berkurang. Tapi sia-sia. Yang ada, dadaku justru terasa semakin sesak.

Aku tidak bisa tetap di sini. Aku harus pulang. Dengan langkah gontai, aku mencoba melangkah, meskipun air hujan masih terus mengguyur tubuhku.

Pikiranku penuh dengan bayangan Mas Raffi dan wanita itu. Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi semua ini.

Ketika sampai di depan rumah Nenek Halimah, aku melihat beliau berdiri di teras dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Ara, darimana saja kamu? Kenapa kamu basah kuyup seperti ini?” tanyanya dengan nada cemas.

Aku mencoba tersenyum, meskipun rasanya hampir mustahil.

“Ara kehujanan, Nek,” jawabku singkat, berusaha menyembunyikan perasaan.

Nenek Halimah tidak berkata apa-apa lagi. Beliau hanya menarik tanganku, membawaku masuk ke dalam rumah. Tangannya yang hangat menggenggam tanganku yang dingin.

“Ayo mandi dulu. Nenek siapkan air hangat untuk kamu. Jangan sampai kamu sakit nanti,” katanya dengan penuh perhatian.

Aku mengangguk pelan, tidak mampu mengucapkan apa-apa. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku duduk di samping Nenek Halimah yang memandangku dengan penuh kasih sayang.

“Ara, sekarang cerita sama Nenek. Apa kamu sudah bertemu dengan suamimu?” tanyanya lembut.

Aku menunduk, tak mampu menjawab. Air mataku mulai menggenang di pelupuk mata. Aku tidak bisa menahannya lagi. Tangisanku pecah, tubuhku bergetar karena isak tangis yang tak tertahan.

“Nenek, Mas Raffi... Mas Raffi ternyata sudah menikah lagi,” lirihku di sela-sela tangis.

Nenek Halimah mengusap punggungku dengan lembut. “Menangislah, Nak. Jika itu bisa membuat hatimu lebih tenang. Tapi ingatlah, Tuhan tidak pernah tidur. Semua ini pasti ada hikmahnya,” ucapnya dengan suara penuh kebijaksanaan.

Aku menangis di pelukannya, mencurahkan semua rasa sakit yang menghimpit dadaku.

Setelah cukup tenang, aku mengambil napas panjang dan menghapus air mata yang masih mengalir di pipiku.

Ponselku tiba-tiba berdering. Nama Mas Raffi muncul di layar. Aku ragu untuk menjawab, tapi Nenek Halimah menyemangatiku. “Jawab saja, Nak. Mungkin itu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di hatimu,” katanya.

Aku mengangguk pelan, lalu mengangkat panggilan itu. “Assalamualaikum,” sapaku dengan suara yang bergetar.

“Waalaikumsalam, Sayang. Maafkan aku atas sikapku tadi. Aku janji akan menjelaskan semuanya. Aku mohon kamu jangan salah paham,” suara Mas Raffi terdengar penuh penyesalan di seberang sana.

“Mas, jawab dengan jujur. Apa benar wanita itu sudah Mas nikahi?” tanyaku langsung, tanpa basa-basi. Hatiku menunggu jawaban yang sudah bisa ku duga, tapi masih tetap berharap keajaiban.

“Hmm... maafkan aku,” jawabnya lirih.

Hatiku hancur mendengar pengakuannya. Aku tidak mampu berkata-kata lagi.

“Mas, aku mau kita cerai.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 58. ENDING

    Suara tangis bayi menggema di ruang operasi, menandai kehadiran seorang malaikat kecil di dunia.Zahra baru saja melahirkan secara caesar, seperti saat melahirkan anak pertamanya, Ramadhan.Proses yang penuh perjuangan itu kini tergantikan oleh perasaan lega dan bahagia yang meliputi seluruh ruangan.Elang berdiri di sisi Zahra. Dia tak henti-hentinya mengecup kening istrinya yang masih terbaring lemah di atas ranjang operasi. Air matanya mengalir, membasahi wajahnya yang penuh kebahagiaan.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih untuk hadiah terindah yang kamu berikan padaku,” ucap Elang dengan nada bergetar. Tangannya menggenggam erat tangan Zahra, seolah ingin memastikan bahwa kebahagiaan ini nyata.Zahra tersenyum lembut meski tubuhnya masih lemah. “Semua ini juga karena kamu, Mas. Terima kasih sudah selalu ada di sisiku,” balasnya dengan suara pelan namun penuh cinta.Tak lama, seorang perawat menghampiri mereka sambil menggendong bayi mungil yang masih merah. “Pak, ini putri Anda,”

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 57.

    Di koridor yang sunyi, suara langkah kaki Zahra dan Elang menggema. Mereka baru saja selesai mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Raffi.Dokter itu, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan wajah penuh empati, menjelaskan bahwa tidak ada perubahan berarti pada Raffi sejak pertama kali dirawat di rumah sakit jiwa itu.“Dia sering menjerit ketakutan saat malam hari,” kata dokter dengan nada berat. “Dia terus mengulang bahwa dia bukan pembunuh, seolah dihantui rasa bersalah kepada Sarah dan Nessa. Namun, saat siang hari, dia terlihat berbeda. Raffi tersenyum, bicara sendiri, dan selalu menyebut nama Anda, Bu Zahra. Dia sering menceritakan bahwa istrinya, Zahra, adalah wanita yang cantik, baik, dan sangat mencintainya.”Kata-kata itu bergema di kepala Zahra, meskipun dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan emosi.Kini, Zahra dan Elang berdiri di taman rumah sakit, mengamati Raffi dari kejauhan. Pria itu duduk di kursi roda, wajahnya yang dulu tampan kini terlihat le

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 56.

    Empat tahun sudah berlalu. Zahra dan Elang, yang selama ini tinggal di Kanada setelah menikah, akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta.Selama pernikahan mereka, Elang sering bolak-balik Jakarta–Kanada karena pekerjaannya. Namun, demi kebersamaan, mereka akhirnya sepakat untuk kembali ke Jakarta setelah Zahra menyelesaikan studinya.Di Bandara Soekarno-Hatta, suasana hangat menyambut kedatangan mereka. Seorang bocah kecil bermata bulat berlari dengan semangat ke arah sepasang paruh baya yang sudah menunggu.“Kakek! Nenek!” seru bocah itu dengan suara riang, membuat suasana bandara terasa lebih hidup.“Cucu Kakek yang ganteng,” ucap Burhan dengan penuh kasih, sambil berjongkok untuk menyambut pelukan cucunya.Ramadhan Luthfi Bagaskara, atau yang akrab dipanggil Rama, langsung memeluk erat kakeknya. “Kakek!”Burhan menggendong Rama sambil tersenyum lebar.“Rama kangen sama Kakek,” ujar Rama sambil mengecup pipi kakeknya.Reina, nenek Rama, tertawa kecil. “Sama Nenek nggak kangen ni

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 55.

    Pemakaman Sarah dan Nessa baru saja usai. Suasana penuh duka menyelimuti keluarga yang ditinggalkan.Tangis Alina pecah di tengah pelayat yang mulai membubarkan diri. Dia tak menyangka nasib anak tirinya dan cucunya akan berakhir dengan begitu tragis. Rasa kehilangan begitu besar, seakan mengguncang dunia kecilnya.“Kenapa semua ini harus terjadi?” ucapnya lirih sambil menatap nisan Sarah dan Nessa.Tak hanya Alina yang terguncang. Seluruh keluarga Zahra ikut terkejut ketika mengetahui pelaku pembunuhan Sarah dan Nessa adalah Raffi dan ibunya.Raffi, yang dulu dikenal sebagai pria yang baik dan penuh kasih, kini berubah menjadi pelaku kejahatan keji.Zahra sendiri tak bisa menyembunyikan rasa prihatinnya. Dia menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dalam dadanya.Setelah pemakaman selesai, mereka kembali ke rumah nenek Halimah. Suasana di rumah terasa berat, seolah bayang-bayang tragedi tadi masih membekap mereka.Alina memilih mengurung diri di kamar, ditemani oleh putrany

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 54.

    Elang yang tengah bersiap menemui kliennya di sebuah hotel berbintang dikejutkan oleh berita mendadak dari seorang staf hotel.Seorang wanita ditemukan tewas di salah satu kamar hotel. Rasa ingin tahunya langsung membuncah, dan tanpa berpikir panjang, Elang memutuskan untuk memeriksa ke lokasi yang disebutkan.“Maaf, Pak Elang, saya harus memastikan Anda tahu apa yang terjadi,” ujar resepsionis hotel dengan nada gemetar. “Itu terjadi di kamar 304, lantai tiga.”Elang, yang sebelumnya fokus pada pertemuan bisnisnya, bahkan sampai melupakan Raffi, yang sudah menghilang entah ke mana.Bersama beberapa staf hotel, dia segera menuju lantai tiga. Di depan kamar 304, dia mendapati suasana tegang.Beberapa orang terlihat berdiri dengan wajah cemas, termasuk seorang pria yang sangat dia kenal.“Pak Derik? Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Elang dengan nada terkejut.Derik, klien yang sudah berjanji untuk bertemu dengannya, tampak pucat pasi. Wajahnya menggambarkan keterkejutan dan kesediha

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 53.

    Raffi terlihat panik, begitu juga dengan Sonia yang matanya langsung membelalak saat melihat Sarah yang tak sadarkan diri dengan kepala yang ber-lumu-ran da-rah.“Raf, apa yang sudah kamu lakukan!” teriak Sonia, suaranya melengking penuh kepanikan.Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Pemandangan itu terlalu mengerikan.Raffi berdiri terpaku. Dia memegang botol wine yang pecah di ujungnya, da-rah Sarah menetes dari pecahan kaca tersebut.Seketika, dia melempar botol itu jauh, seolah benda itu panas membakar tangannya.“Aku gak sengaja melakukannya. Aku hanya ingin membela diri dan kamu tahu itu!” teriak Raffi, suaranya bergetar, matanya memandang Sarah yang tergeletak tak bergerak di lantai.Da-rah terus mengalir dari kepala Sarah, membasahi lantai marmer yang mengkilap. Pemandangan itu membuat Sonia semakin panik.Sonia menoleh ke arah Raffi dengan tatapan tajam. “Raf, kita harus bawa Sarah ke rumah sakit. Dia bisa mening

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status