Aku melangkah bersama Bimo, menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar perawatan Delia. Hatiku mungkin masih berat, tapi juga perlahan aku mulai menemukan titik damai. Setidaknya, aku tahu arah langkahku sekarang.
Aku ingin melakukan hal yang bisa menebus rasa bersalahku pada Delia. Dan Saka, aku tak ingin membebaninya dengan pilihan-pilihan yang sulit. Aku akan mendukungnya, apapun itu, meski aku harus kembali merasakan sakit.Mas Danar dan Saka memang sama-sama mendua. Sama-sama membuatku sakit tapi sekali lagi, kondisi kali ini berbeda. Pintu kamar terbuka pelan. Delia sedang duduk di atas ranjang dengan bantal bertumpuk di belakang punggungnya. Wajahnya terlihat lebih segar dan bahagia. Aku tersenyum menatapnya. Mengabaikan semua hal buruk yang telah Delia lakukan.Saka duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan Delia, sementara Delia menyandarkan kepala di bahunya dengan manja.Sakit juga ternyata melihat mereka bermesraan seperti itu. Aku menghelaDenting jam dinding di lobi rumah sakit seakan mengukir setiap detik kesunyian yang mencekam. Suara klakson yang memekakkan telinga dan deru mesin yang tak henti-hentinya bersahutan di luar, kini tak lagi kuhiraukan. Fokusku hanya satu: Rumah Sakit. Sebuah kekalutan yang tiba-tiba merayapi diriku, menyelimuti segala emosi yang sebelumnya kurasakan. Delia. Ada apa dengannya? Kenapa Saka terdengar begitu panik? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di benakku, memicu detak jantungku berpacu tak karuan. Kedatangan di Rumah Sakit Setibanya di rumah sakit, aku memarkirkan mobil dengan tergesa-gesa, bahkan tak peduli apakah posisinya sudah sempurna atau belum. Lobi rumah sakit terasa begitu dingin, kontras dengan suhu tubuhku yang justru terasa panas-dingin, campuran antara cemas dan takut. Aku melangkah cepat, kaki-kakiku seakan memiliki dorongan sendiri, menuju area UGD, tempat keramaian sudah terlihat dari jauh, samar-samar terdengar suara isak tangis dan bisikan-bisikan khawatir. Begi
Tak berapa lama ponsel Saka berdering. Ia tak langsung mengangkat. Pandangannya hanya menatap layar sesaat, lalu mendesah pelan. “Delia,” gumamnya. Aku menarik napas. “Angkat saja. Siapa tahu penting.” Saka mengangguk lalu menekan tombol hijau. Aku tahu jika Saka tak ingin menyakitiku jika mengangkat ponselnya dan menjauh. Akhirnya, aku yang berdiri, mencoba memberi ruang pada Saka agar lebih leluasa berbicara dengan Delia. Kutemui beberapa staf yang masih berjaga agar tak menerima pasien lagi setelah istirahat siang. Mereka mengangguk lalu bersiap untuk pulang. Aku kembali menghampiri Saka yang kini telah bersiap. "Delia memintaku datang!" Aku mengangguk mengijinkan. ""Kamu, gak papa?" Aku menggeleng sambil tersenyum. Kugamit lengannya lalu berjalan keluar klinik. Sampai hari ini, Saka tak pernah tahu jika Delia telah mengetahui pernikahan ini. Akupun masih tak berniat untuk mengatakannya. "Hati-hati di jalan. Salam untuk Delia, ya?" Saka mengangguk lalu mencium dahi
Mentari pagi menembus tirai jendela kamarku, menyapa dengan sinar hangat yang mengundang semangat. Setelah sekian hari berkubang dalam emosi dan luka batin, aku merasa lebih kuat hari ini. Luka di hati memang belum sepenuhnya sembuh, tapi aku sudah cukup dewasa untuk tidak membiarkannya menghentikan langkahku. Aku kembali menikmati rutinitas pagi. Mandi dan sarapan seperti biasa, setelahnya aku berpamitan pada Mbok Nah dan mengirim pesan singkat untuk ibu. Sesaat aku menatap kontak Saka. Dengan membuang rasa sungkan, aku kembali mengirim pesan . Mengucap selamat pagi dan tak lama, Saka membalas pesanku. Lebih romantis timbang pesanku. Aku tersenyum. Kupacu mobilku menuju toko material yang selama ini jarang kulihat lagi. Begitu aku tiba, suasana sibuk langsung menyambut. Suara deru mesin pemotong, desisan cat, hingga tawa para pekerja terdengar bersahut-sahutan. Di balik meja kasir, Fitri sedang mencatat pesanan sambil menjawab telepon. “Mbak Nada!” serunya begitu melihatku. “Ad
Aku melangkah bersama Bimo, menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar perawatan Delia. Hatiku mungkin masih berat, tapi juga perlahan aku mulai menemukan titik damai. Setidaknya, aku tahu arah langkahku sekarang. Aku ingin melakukan hal yang bisa menebus rasa bersalahku pada Delia. Dan Saka, aku tak ingin membebaninya dengan pilihan-pilihan yang sulit. Aku akan mendukungnya, apapun itu, meski aku harus kembali merasakan sakit. Mas Danar dan Saka memang sama-sama mendua. Sama-sama membuatku sakit tapi sekali lagi, kondisi kali ini berbeda. Pintu kamar terbuka pelan. Delia sedang duduk di atas ranjang dengan bantal bertumpuk di belakang punggungnya. Wajahnya terlihat lebih segar dan bahagia. Aku tersenyum menatapnya. Mengabaikan semua hal buruk yang telah Delia lakukan. Saka duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan Delia, sementara Delia menyandarkan kepala di bahunya dengan manja.Sakit juga ternyata melihat mereka bermesraan seperti itu. Aku menghela
Aku terpaku, kata-kata Bimo menggantung di udara, memutar-mutar di benakku seperti gema yang tak berkesudahan. Delia tahu? Pertanyaan itu berkelebat, meninju ulu hatiku. Jika Delia tahu, mengapa ia tetap bersikeras? Mengapa ia tetap memaksakan pernikahan ini, yang jelas-jelas akan menghancurkan hatiku? Apakah Delia memang sengaja melakukannya? Sebuah strategi licik di balik topeng kepasrahan seorang yang sakit? Tanganku mengepal.Rasa perih karena pengkhianatan seolah menyelimuti. Namun, lebih dari itu, ada keraguan yang merayap. Bimo menatapku, sorot matanya yang biasanya tenang kini memancarkan keseriusan yang dalam. Seolah ia sedang mempersiapkan diri untuk membongkar kebenaran pahit lainnya. Aku menggenggam jemariku erat, mencoba menahan gejolak dalam dada.“Bagaimana… bagaimana Delia tetap memaksakan pernikahan ini, meksipun ia tahu Saka mencintaiku sejak dulu?” tanyaku, suaraku serak, nyaris tak terdengar.Bimo menghela napas panjang, tatapannya menerawang ke depan, seolah seda
Aku melangkah keluar dari kamar perawatan Delia, menyisakan Saka dan keluarga barunya di dalam. Setiap langkahku terasa berat, seperti menyeret beban.Kuhela nafasku berkali-kali, sementara udara rumah sakit yang dingin kini terasa membakar paru-paruku, dengan bau antiseptik yang tadi mual kini menusuk hingga ke ulu hati. Aku adalah istri yang baru saja mengizinkan suaminya menikah lagi, demi sebuah harapan yang bahkan tidak bisa kupegang.Setidaknya, Delia sekarang sudah menikah dengan Saka. Semoga itu memberinya kekuatan untuk bertahan. Harapanku begitu, di tengah keretakan hatiku sendiri.Aku mencari sudut yang tenang di lorong rumah sakit, duduk di kursi tunggu yang dingin, dan membiarkan air mata yang kutahan sejak tadi tumpah tanpa suara. Rasanya seperti sebuah topeng yang selama ini kukenakan akhirnya pecah, memperlihatkan semua kerapuhan di baliknya. Aku tahu ini adalah hal yang benar, tindakan yang manusiawi. Tapi, kebenaran seringkali terasa begitu menyakitkan.Pikiranku ber