"Kita harus memastikan bahwa kerja sama dengan mitra dari luar negeri berjalan dengan lancar. Aku sudah berbicara dengan beberapa pihak, dan mereka tampak tertarik," kata Julia dengan mata menatap Mike dengan keyakinan seorang pemimpin yang tahu arah langkahnya.
Mike mengangguk, ekspresinya menunjukkan penghargaan terhadap ketajaman wanita di hadapannya. "Itu langkah yang bagus. Dengan reputasi The Gold Company, aku yakin mereka tidak akan menolak."
Namun, sebelum Julia sempat menanggapi, suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, memecah harmoni pertemuan bisnis itu.
Pintu ruangan terbuka dengan kasar, dan sosok yang dulu pernah menguasai hatinya kini berdiri di ambang pintu dengan ekspresi murka. Kevin.
Matanya yang gelap menyala dengan amarah yang tak terkendali, seolah api cemburu dan keterkejutan membakar dirinya dari dalam.
"Apa maksud dari ini semua, Julia?" suaranya menggema, memecah keheningan dan menarik perhatian beberapa pengunjung yang masih berada di sekitar.
Julia menghela napas panjang, seakan enggan meladeni pertunjukan yang tengah dimainkan mantan suaminya. Dengan gerakan anggun, ia menyesap kopinya sebelum menatap Kevin dengan dingin, tatapannya lebih tajam dari ujung belati.
"Apa yang kau maksud?" jawabnya dengan nada malas, seolah keberadaan pria itu hanyalah gangguan kecil dalam harinya yang sempurna.
Kevin melangkah maju dengan penuh agresi, tangannya menghantam meja dengan keras. Benturan itu membuat cangkir kopi di hadapan Julia bergetar, tetapi wanita itu tetap bergeming, seolah ledakan emosi pria itu bukanlah sesuatu yang layak diperhatikan.
"Kenapa kau tidak pernah memberitahuku bahwa kau adalah putri tunggal pemilik The Gold Company?" Kevin menuntut, suaranya sarat dengan tuduhan dan ketidakpercayaan.
"Selama dua tahun kita menikah, kau tak pernah membahas ini sedikit pun. Apa kau takut aku akan merampas hartamu?"
Julia menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan—sebuah perpaduan antara kejengkelan dan rasa jijik yang samar.
Sudut bibirnya melengkung dalam senyum tipis, namun matanya tetap dingin, bagaikan ratu yang tengah mengamati bidaknya yang gagal dalam permainan catur.
"Apa itu penting bagimu sekarang?" tanyanya dengan suara yang cukup tenang.
"Dan lihatlah dirimu, Kevin. Kau mengira aku takut kau akan merampas hartaku?"
Julia menggelengkan kepalanya perlahan, tawanya hampir keluar, tapi ia menahannya. "Aku bahkan tidak pernah menganggapmu cukup cerdas untuk bisa melakukannya."
Tangan Kevin terkepal kuat di sisinya, buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras, seperti hendak menggiling amarah yang meluap dalam dirinya.
"Aku hanya ingin tahu kenapa kau menyembunyikan identitas aslimu dariku selama ini!" suaranya terdengar geram, lalu seperti biasa, bibirnya tak bisa menahan racun penghinaan yang selalu menyertai setiap ucapannya.
"Dan jujur saja, Julia. Kau tidak pantas menjadi putri tunggal The Gold Company."
Julia berdiri perlahan, gerakannya begitu anggun, penuh kewibawaan yang selama ini tidak pernah dilihat Kevin darinya.
Kedua tangannya terlipat di dada, dan matanya yang tajam menatap pria yang dulu pernah ia cintai dengan sorot penuh kemenangan.
"Kenapa tidak pantas?" Julia mengangkat satu alisnya, suaranya tajam bagai belati yang siap menancap di ego pria itu.
"Kau benar-benar tidak menyadarinya? Bisnis yang kau bangun sampai bisa sebesar ini, kau pikir dari mana semua itu berasal?"
Kevin membeku sesaat, tetapi Julia tidak memberinya ruang untuk berpikir.
"Aku yang berperan penting dalam semua kerja sama dengan relasi The Gold Company. Aku yang membuka pintu untukmu, memperkenalkanmu kepada orang-orang yang kau butuhkan untuk sukses.
“Aku yang membiarkanmu berdiri di atas panggung, sementara aku sendiri bersembunyi di balik bayangan. Tapi lihatlah dirimu sekarang, berani berdiri di hadapanku dan mengatakan aku tidak pantas?"
Ruangan terasa semakin sunyi, seolah seluruh dunia sedang menanti jawaban Kevin. Pria itu menatap Julia dengan rahang yang masih mengeras, tetapi di matanya ada sesuatu yang lain—sebuah pengakuan yang enggan ia terima.
Namun, alih-alih menyerah, Kevin tetap berusaha menggenggam harga dirinya yang semakin rapuh.
"Aku yang meyakinkan investor, klien, dan semua mitra bisnis untuk bekerja sama denganku, Julia!" serunya dengan suara yang hampir seperti teriakan.
"Aku berhasil karena kemampuanku sendiri, bukan karena peranmu yang tidak ada apa-apanya itu!"
Julia mendengus pelan, sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya. Ia menatap Kevin dengan tatapan yang tidak lagi menyiratkan amarah atau sakit hati—hanya rasa kasihan yang menyayat.
"Benarkah?" Julia menyandarkan tubuhnya sedikit ke meja, jemarinya yang ramping menelusuri permukaan kayu dengan santai, seolah momen ini hanyalah hiburan baginya.
"Kau tidak pernah berpikir kenapa klien yang baru kau kenal bisa langsung menyetujui kerja sama denganmu? Kau tidak pernah curiga bagaimana mungkin perusahaan sebesar itu percaya pada seorang pria yang bahkan tidak punya rekam jejak bisnis yang cukup kuat? Kau memang bodoh, Kevin."
Warna merah mulai merayap ke wajah Kevin, entah karena amarah yang siap meledak atau rasa malu yang tak mampu ia akui.
Dadanya naik turun, mencoba menahan gejolak yang berkecamuk di dalam dirinya. Namun, seperti biasa, egonya terlalu besar untuk tunduk.
"Aku tetap berhasil menjalankan bisnis ini. Itu karena kemampuanku!" katanya dengan suara serak, seolah meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun.
Julia menatapnya sejenak, lalu tawa kecil lolos dari bibirnya. "Sungguh menggelikan," katanya dengan nada mencemooh.
"Kau masih juga bersikeras. Baiklah, percaya saja pada kebohonganmu sendiri. Tapi itu tak akan mengubah kenyataan."
Ia menyilangkan tangan di dada, matanya menatap Kevin dengan penuh kejijikan. "Sekarang, pergilah dari hadapanku. Aku sudah muak melihat wajahmu."
Kevin mengepalkan tangannya semakin erat, urat-uratnya menegang, hampir seolah hendak meledak.
Sorot matanya menyala, tetapi bukan karena rasa bersalah—melainkan karena harga dirinya yang baru saja diinjak-injak oleh wanita yang dulu pernah ia remehkan.
"Kau pikir aku akan menyesal karena sudah berpisah denganmu?" desisnya, suaranya bergetar karena kemarahan yang terpendam.
"Tentu saja tidak! Cindy jauh lebih kaya darimu, dan aku tidak perlu bantuanmu lagi!"
Julia mendengus, kepalanya sedikit dimiringkan saat ia menatap Kevin dengan tatapan penuh kebencian yang dingin dan menusuk.
"Aku tidak peduli, Kevin. Pergilah dan bahagialah bersama istri barumu itu!" ucapnya, nada suaranya mengandung racun halus yang membakar harga diri pria itu.
"Kau pikir aku akan menangis sesenggukan lagi setelah kau mengkhianatiku? Tentu saja tidak!"
Dalam cahaya lampu yang temaram, mata Julia berkilat seperti permata—indah, tetapi berbahaya.
Ada sesuatu dalam dirinya yang telah berubah, sesuatu yang tak akan bisa lagi dijinakkan oleh siapapun, apalagi oleh pria yang telah menghancurkannya.
Kevin masih menatapnya tajam, seolah mencari celah untuk kembali menancapkan luka dalam hatinya. Namun, ia tahu, wanita di hadapannya bukanlah Julia yang dulu.
Tatapan Kevin beralih, dan akhirnya mendarat pada sosok yang berdiri tenang di sisi Julia. Seorang pria yang sedari tadi hanya menyaksikan mereka dengan ekspresi datar, tak terganggu oleh ledakan emosi di sekelilingnya.
"Siapa dia?" suara Kevin terdengar lebih dalam, penuh kecurigaan.
Julia melirik Mike sekilas, seolah memberikan waktu sejenak bagi Kevin untuk menebak sendiri jawabannya.
Lalu, dengan senyum tipis yang lebih menyakitkan daripada seribu kata, ia menatap mantan suaminya dengan sorot penuh kemenangan.
"Perkenalkan," katanya, suaranya halus namun menghantam Kevin seperti tamparan keras. "Dia adalah calon tunanganku."
"Hi, Bu," sapa Julia ramah.Amelia, sang ibu, tersenyum hangat. Ia berjalan menghampiri lalu duduk di samping putri semata wayangnya itu."Bagaimana? Kau nyaman dengan pekerjaan di kantor?" tanyanya, menatap Julia dengan penuh perhatian.Julia menghela napas panjang sebelum menjawab. "Mengurus berkas dan laporan perusahaan memang cukup membuatku pusing, Bu. Tapi..." Ia tersenyum tipis. "Setidaknya harga diriku tidak jatuh."Amelia tertawa kecil mendengar jawaban anaknya. Ia merasa bangga melihat Julia yang kini telah kembali menjadi wanita tegas dan mandiri, bukan lagi sosok yang terjebak dalam cinta buta."Ini baru anakku," puji Amelia, membelai lengan Julia dengan penuh kasih sayang."Kau tegas, berani, dan mandiri. Andai kau sadar sejak lama, mungkin sekarang kau sudah menikah dengan pria kaya raya yang derajatnya sesuai denganmu."Julia sontak tertawa mendengar ucapan ibunya. Tawa yang penuh kelegaan sekaligus sedikit rasa malu."Anggap saja tiga tahun ini aku bereksperimen, Ibu,"
“Kau masih marah?” tanya Mike hati-hati, memperhatikan ekspresi Julia yang tampak murung.Julia menoleh perlahan, lalu tersenyum tipis ke arah lelaki itu. Senyumnya tidak benar-benar sampai ke matanya. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” sahutnya, nadanya ringan tapi mengandung kelelahan.Mike menyandarkan punggungnya di kursi, menatap Julia dengan cermat. “Wajahmu tampak tidak bersahabat, Julia. Dan aku masih ingat pertemuanmu dengan Cindy juga Kevin di restoran—yang membuatmu sangat marah,” jelas Mike, mencoba mengingatkan.Julia terkekeh pelan, suara tawanya terdengar getir. “Sudah tidak terlalu marah, Mike. Aku malah sudah sedikit lega. Karena aku sudah membuat Kevin marah tadi siang.”Mike mengangkat alisnya, penasaran. “Aku tidak bisa membayangkan betapa marahnya Kevin saat kau membatalkan kontrak kerja itu, Julia.”Julia menyunggingkan senyum tipis, matanya berbinar nakal. “Andai kau melihat wajahnya, Mike... Aku yakin kau pasti ingin tertawa. Dia tampak seperti bocah yang maina
Di sore yang tenang, cahaya matahari mengalir lembut lewat jendela besar ruang tengah rumah mereka.Cindy duduk santai di atas sofa, mengenakan gaun santai berwarna biru muda, sebuah majalah di pangkuannya.Saat mendengar langkah kaki yang mendekat, ia mendongak dan mendapati Kevin, suaminya, berjalan ke arahnya. Senyum sumringah langsung menghiasi wajah Cindy."Hey, kau pulang lebih cepat hari ini," sapa Cindy ceria, meletakkan majalah di meja.Kevin tersenyum tipis, tetapi sorot matanya mengisyaratkan kegelisahan. Ia duduk di samping Cindy, tanpa basa-basi, langsung menatapnya dalam-dalam."Cindy, aku butuh bantuanmu," kata Kevin, suaranya berat.Cindy mengerutkan keningnya mendengarnya. “Bantuan? Bantuan apa, Kevin?” tanyanya dengan nada ingin tahu."Aku ingin kau membantuku membuat Julia menyesal... karena dia telah membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaanku."Cindy membelalak. Bola matanya membulat seketika. Ia memiringkan tubuhnya, menatap Kevin dengan ekspresi tidak per
Kevin bersandar di kursinya, mengusap permukaan meja kayu mahoni yang mengilap dengan ujung jarinya, seolah merasakan denyut kemenangan yang bergetar di setiap seratnya.Senyum tipis bertengger di sudut bibirnya saat tinta emas pena menggoreskan tanda tangannya di atas kontrak yang menjanjikan masa depan gemilang bagi perusahaannya.Ini bukan sekadar kesepakatan biasa, melainkan puncak dari perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Sebuah mahakarya diplomasi bisnis yang akhirnya terwujud dalam lembaran perjanjian resmi.Namun, euforia itu buyar dalam sekejap. Seperti kaca kristal yang terlepas dari genggaman, jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai realitas yang kejam.Notifikasi email menyala di sudut layar laptopnya, seperti pertanda kehancuran yang menanti. Alisnya mengernyit, jemarinya bergerak membuka pesan dengan perasaan yang tiba-tiba diliputi firasat buruk.Begitu matanya menyapu isi surat elektronik itu, denyut nadinya melonjak, dan perutnya seakan dihantam gelombang ding
Mike melirik arlojinya sejenak sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Waktu sudah berlalu lebih cepat dari yang ia kira.Dengan langkah mantap, ia menuju restoran kecil yang terletak tak jauh dari kantor The Gold Company.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman roti panggang yang baru keluar dari oven menyambutnya begitu ia mendorong pintu kaca restoran.Di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan, Julia sudah menunggu. Cahaya matahari yang menembus kaca membingkai wajahnya dengan kilauan keemasan, menciptakan siluet yang hampir tak nyata.Ia tampak anggun dalam setelan formalnya, meskipun ada sedikit kelelahan yang tersembunyi dalam sorot matanya."Maaf menunggu lama, Julia," ujar Mike dengan senyum tipis, nada suaranya penuh kehangatan.Julia mengangkat wajahnya, tersenyum samar. "Tidak apa-apa, aku juga baru saja datang. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk makan siang bersamaku."Mike menarik kursinya dan duduk, kedua sikunya bertumpu ringan
Kevin mengerutkan keningnya saat sosok anggun itu melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan. Cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit memantulkan kilauan halus di atas setelan jas navy yang membalut tubuh Julia dengan sempurna.Matanya menyipit, mengamati wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya—sekarang berdiri di hadapannya dengan aura yang jauh lebih mengintimidasi.“Untuk apa kau kemari? Ada urusan apa?” suaranya terdengar tajam, sarat dengan ketidaksenangan yang tak berusaha ia sembunyikan.Julia tetap melangkah maju dengan percaya diri, langkahnya mantap seperti seorang ratu yang memasuki medan pertempuran yang telah dikuasainya.Ia menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati ketidaknyamanan yang jelas terlihat di wajah Kevin.“Kolegamu adalah kolegaku juga, Kevin,” ucapnya ringan, suaranya lembut namun menusuk. “Aku hanya penasaran… apa yang akan terjadi dengan perusahaanmu jika tidak ada aku yang membantumu!”Kevin terkekeh sinis, melipat kedua tang