Qarmita Alpha Cygni adalah seorang gadis berusia 18 tahun yang disukai oleh dua orang lelaki sekaligus. Yang satunya adalah teman satu sekolahnya. Sedangkan yang satunya lagi adalah mantan mahasiswa sang Papa. Attalah Barra Samudra merupakan seorang pria dewasa berusia 29 tahun yang berprofesi sebagai seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi di kota Bandung. Menyukai karakter Qarmita yang tampak bijaksana dan mandiri di luar. Namun begitu manja jika bersama keluarganya. Perkenalan pertama mereka diwarnai oleh kejadian kocak dan cukup berkesan bagi keduanya. Barra yang agresif, sedangkan Qarmita tetap diam di tempat. Tidak maju atau pun mundur dari tawaran yang Barra ajukan demi kepentingan masa depan mereka nantinya. Siap menjelajah bersama, untuk menemukan akhir dari cerita ini? Mari kita mulai.
View MoreYaampun, ini kereta besi jalannya seperti siput. Papa bilang sudah diperbaiki, tahunya masih lambat gini jalannya. Aku sudah bilang nggak usah dipakai lagi. Jual saja ke tukang besi. Tapi masih saja beliau ngeyel. Jadinya gini, kan.
Dugudugudug......boooooom, cusssss!
Astaga! Ini apa lagi masalahnya?
"Papaaa!" Sumpah, aku beneran kesel tingkat Miss Universe.
"Subhanallah! Bacot lo, ya. Sakit kuping gue." Pekik Bang Orion.
Bacot aku emang udah kayak mercon acara sunatan si Entong kalau lagi kesel gini. Ini Abang, bikin tambah kesel.
"Gue kesel, Baaang." Teriakku lagi.
"Ya ampun, dah. Punya adek pengen gue lempar ke Samudra Hindia aja. Stabil nih hidup gue, pasti." Astaga! Makin tambah kesel, aku tuh.
"Sudah, sudah. Sebaiknya kalian turun. Sementara Papa meriksa kerusakannnya, kalian nyari mobil yang lewat supaya bisa ditumpangi.
"Ya Allah, Pap. Hari gini mana ada orang yang mau ditumpangi? Kita bertiga, pula."
"Cerewet!"
Hell! Papa mah, kalau sudah muncul galaknya, gajah saja langsung kempes jadi tikus. Apa sih? Ga-Je.
"Bang! Cari sana. Gue males, nih." Aku menghindar dari tugas nggak berkesudahan itu. Beberapa pengendara hanya lewat, nggak ada yang bermurah hati untuk ngasih kita tumpangan. Mending aku ngadem dulu deh, di bawah pohon duren yang nggak terlalu jauh dari pinggir jalan.
"Eeeh, jangan berdiri di situ." Papa memperingatkan.
"Hah, kenapa emangnya Pap?" Tanyaku polos. Asli, aku lo-la.
"Sadar nggak itu pohon apa?"
Hah! Iya, aku sadar kok sepenuhnya. Pohon durian, kan? Emangnya kenapa? Belum sempat aku membalas ucapan Papa, tiba-tiba seperti ada benda jatuh di sebelah kiriku. Pas aku lihat, sekitar dua meter dari aku berdiri, tergeletaklah buah berkulit duri itu.
Allahuakbar! Dureeen, untung lu kagak mendarat di kepala gue.
"Papaaa." Aku langsung berlari memeluk punggung Papa yang tegap. Ya Allah, hampir aja aku metong.
"Makanya lain kali hati-hati dong. Kamu gimana, sih? Kamu mau bikin Papa jantungan, hah." Di sela lirih senduku, Papa memberi ultimatum berharganya. Maaf, Pap.
"Pa..." Aku melepas pelukan dari Papa, lalu berbalik badan saat mendengar suara Bang Orion memanggil Papa.
"Eh, Barra." Seru Papa.
Nggak tahu itu manusia datang dari mana. Sosok cowok tinggi tegap, berbadan altetis dengan jambang yang subur. Mengenakan setelan kemeja putih polos lengan panjang yang dipadu dengan celana bahan berwarna hitam semata kaki. Dia berdiri menjulang tepat di depanku. Lebih tepatnya di sebelah Bang Orion.
"Iya, Prof. Kata Orion kalian sedang butuh tumpangan, ya?" Tanya cowok itu, yang aku tebak usianya agak lebih matang dari Abangku. Kalau Bang Orion saat ini sedang berusia 25 tahun, kira-kira itu cowok di sebelahnya berusia hampir kepala tiga. Atau mungkin lebih? Ah, kepo banget deh, aku.
"Wah, bisa kemujuran ketemu di sini. Kamu mau ke Observatorium juga?" Papa bertanya dengan senyum yang tak lepas dari wajah rentanya.
"Iya, Prof. Jadi, bagaimana, apakah kita berangkat sekarang?" Si cowok mateng membalas dengan ucapan yang terdengar lebih ramah disertai senyum yang manis menawan.
MasyaAllah, the beautiful created. Aku belum pernah nemu Om-Om seganteng koyo ngene.
Ngomong-ngomong dia sadar nggak ya, akan kehadiranku di sini? Perasaan dari tadi dia nggak ada lirik ke arahku. Fokusnya cuma ke Papa doang. Sesekali beralih tatap ke arah Bang Orion. Asem!
Om, lirik gue, dong.
Bersambung....
“Emmm...Kris,sorry. Gue mau diskusi dulu sama Ayi.” Aku langsung menyeret Ayi keluar dari kafe. Ini masalah serius. Aku harus bicarakan masalah ini dulu dengan cewek Larva ini. Sebelum Mulut Toaknya makin berkoar. “Gue nggak bisa, Yi. Mau besok atau kapan pun gue nggak bisa nerima ajakan Krisan. Gue minta lo ngertiin gue.Please, yang satu ini aja. Kalau gue bilang nggak, itu artinya nggak. Lo bisa lihat dari ekspresi gue. Lo kenal baik sama gue. Benar?” Ayi mengangguk, tanpa menyela ocehanku. “Okay!” Aku putuskan untuk berterus terang akan keadaanku saat ini pada Krisan. Tidak termasuk soal aku yang sudah bertunangan. Yang pasti aku berusaha meyakinkan cowok ini untuk tidak terlalu berusaha dalam proses pendekatannya padaku. Tapi, tentunya deng
"Nggak juga sih, Yi. Kedua belah pihak sepakat, kalau aku harus nyelesain pendidikan pilot dulu sebelum kami menikah. Seenggaknya setelah aku resmi menjadi pilot profesional dengan pengalaman kerja satu tahun. Itu pun sudah diusahakan sekali buat diskon. Agar Om Barra tidak terlalu lama menunggu. Walau bagaimana pun, setelah lulus pendidikan, pilot muda belum dibolehkan menikah dulu. Kecuali nanti ada perubahan rencana. Kalau pun aku harus menikah dengan Om Barra setelah lulus pendidikan, aku mesti rahasiakan dulu sampai surat ijin aku kantongi."Kau yakin itu tidak akan mempengaruhi hubunganmu dengan Om Barra? Jam terbangnya pilot kan, padat sekali. Aku tak yakin, aku bisa setangguh kamu, kalau berada di posisi itu. Dan lagi, memangnya Om Barra sanggup pisah sama kau selama beberapa waktu? Minimal kalian tidak ketemu itu tiga hari, Mi."
Dan aku? Hanya bisa melongo. Sumpah, Om Barra memang sungguh misterius. Penuh dengan kejutan. "Eh, kalau setahun yang lalu Barra sudah naksir Tata, kenapa kalian baru dekat sejak satu setengah bulan yang lalu?" Kali ini pertanyaan yang lain terlontar dari bibir Mas Gebyar, sepupu dari pihak Tante Izma-Maminya Om Barra. "Karena kami baru bertemu lagi tepat satu setengah bulan yang lalu. Sebenarnya kurang tepat kalau saya sudah menyukai Tata sejak setahun yang lalu. Waktu itu saya hanya sebatas mengaguminya. Sebagai orang yang berakal sehat, pasti akan merasa takjub dengan sesuatu yang menurut kita luar biasa. Dan menurut saya, apa yang dilakukan Qarmita waktu itu adalah hal yang luar biasa." Dududuh, so sweet-nya calon suamiku.Fix, habis ini aku kardusin saja
Baru saja aku keluar dari pintu kafe, Om Barra sudah muncul saja di depanku dengan senyumnya yang menawan. MasyaAllah, bagaimana aku bisa menolak pesonanya kalau dianya suka sekali bikin hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Rencana pembatalan pertunangan pasti tidak akan pernah terealisasikan. Untung Ayi sudah pulang lebih dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa awkwarddi depan dia.“Mau pulang?” Aku mengangguk, sembari menebar senyum paling manis yang aku punya.“Senyumnya tidak usah semanis itu lah, kalau sedang di tempat umum. Simpan itu untuk saya, nanti saja setelah kita menikah.”“Hell!” Tiba-tiba satu kata terlarang meluncur begitu saja dari mulutku sambil memutar kedua bola mata, malas.
“Nikah sama saya.” Hah!Guys, aku tidak salah dengar kah, ini? Barusan Om Barra bilang apa? “Nikah sama saya, Qarmita Alpha Cygni. Kamu mau kan? Saya menagih janji kamu waktu itu, loh. Tidak boleh menolak. Janji harus ditepati, kan.”What the hell?Jadi, ini permintaan yang dia maskud waktu itu? Menikah dengan dia? Aku dengan seorang pria dewasa, yang lebih pantas aku panggil Paman? Apa dosaku hingga diberi ujian sekonyol ini.Aku masih bocah kecil, woy. Ada apa dengannya, otaknya sudah konslet sepertinya.“Mimi! Ikut aku sekarang.” Hah, eh. Apa lagi ini? Woy, tanganku kenapa langsung ditarik? Mau kamu bawa kemana? Itu cowok siapa sih? Tiba-tiba langsung ngegiring aku keluar d
Beruntungnya pintu rumah udah terbuka lebar. Itu artinya orang-orang rumah sudah pulang. “Assalamu’alaikum.” Salam Om Barra. Terdengar sahutan dari dalam. Suara dari Mama dan Papa. “Wa’alaikumussalam. Loh, Dedek kenapa?” Tanya Mama terdengar khawatir. “Sakit perut, Mam. Mens hari pertama.” Jawabku lirih. “Ya Allah. Ya udah, bawa ke Kamar kita saja Pap.” Ujar Mama. Papa pun bersiap ingin mengambil alih tubuhku dari gendongan Om Barra. Tapi dia menolak. Dan memilih membawa sendiri tubuhku sampai kamar Papa dan Mama yang ada di lantai dasar. “Maaf ya, Barra. Jadi merepotkanmu. Badan Qarmita memang berat. Saya kadang juga ku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments