Beranda / Young Adult / Bayang di Balik Kabut / BAB 17: Bayangan yang Menyatu

Share

BAB 17: Bayangan yang Menyatu

Penulis: khobir
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-10 16:15:26

Tiga hari setelah meninggalkan Varethas, langit mulai berubah warna. Tidak lagi biru atau kelabu, tapi keunguan pekat—seperti malam yang dipaksa tinggal lebih lama.

Laras menatap cakrawala dari tebing tinggi. Di bawahnya, hutan hitam membentang, dan di kejauhan terlihat siluet reruntuhan sebuah kota yang tertelan oleh akar dan kabut. Tempat itu… tidak ada di peta mana pun.

Senara, yang berdiri di sampingnya, berbisik, “Kau lihat itu?”

Alric mengangguk, matanya menyipit. “Itu bukan kota biasa. Itu *Thaalan*, kota yang hilang setelah perang darah pertama. Konon katanya… bayangan bisa hidup di sana.”

Laras menarik napas dalam. "Itu tujuan kita."

Mereka turun perlahan menuju Thaalan, memasuki kota mati yang setiap dindingnya tertutup simbol penahanan dan mantra pelindung. Tapi semuanya telah pecah. Runtuh. Seperti ada sesuatu—atau seseorang—yang melepaskan kutukan lama.

Langkah mereka bergema di jalanan batu. Tak ada suara burung. Tak ada hembusan angin.

Namun, saat Laras menyentuh sebuah
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 44 : Jejak Rahasia

    Hutan pagi kembali hening setelah pertarungan dengan bayangan besar. Namun bagi Ravien dan Laras, ketenangan itu terasa menyesakkan. Setiap langkah mereka penuh kewaspadaan, karena ancaman belum sepenuhnya hilang. Bayangan itu mungkin lenyap, tapi jejak mereka tetap tersisa. Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus menyapu ke sekeliling. “Kita harus menemukan jalur rahasia yang bisa membawa kita ke tempat Bayu,” ucapnya, suara rendah tapi tegas. Laras mengikuti di belakang, menatap sekeliling dengan cemas. “Aku takut… kalau kita terlambat, Bayu mungkin sudah menghadapi mereka sendirian.” Ravien menoleh sekilas, matanya merah menyala, tapi ada kehangatan di sorotnya. “Itulah kenapa kita harus segera. Dan kau… kau harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.” Laras menggenggam tangan Ravien. “Aku di sini. Selalu bersamamu.” Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang sempit, dipenuhi akar-akar pohon yang menjulur dan daun-d

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 43 : Bayangan yang Kembali

    Hutan pagi tampak tenang, meski udara masih terasa tegang. Setelah pertempuran dengan pemimpin Kultus Malam, Ravien dan Laras berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka berhati-hati. Setiap pohon, setiap bayangan, bisa saja menyimpan ancaman tersembunyi. Ravien menggenggam pedangnya erat, matanya terus menyapu sekeliling. “Kita harus segera menemukan jalur menuju Bayu,” ujarnya pelan. “Aku tak ingin meninggalkannya sendirian lagi.” Laras menatapnya, wajahnya pucat tapi penuh tekad. “Aku ikut. Jangan coba menahan aku. Aku bisa bertarung.” Ravien tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan rasa cemas. “Aku tidak menahanmu. Tapi kita harus cermat. Musuh kita bukan hanya dari dunia nyata, tapi juga dari bayangan masa lalu kita.” Mereka melanjutkan perjalanan, tapi kabut tiba-tiba menebal. Udara menjadi dingin dan lengket, membuat langkah mereka berat. Dari balik kabut, muncul siluet samar—bayangan yang bergerak cepat, menatap mereka dengan mata merah berkilau

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 42 : Jejak Yang Terlupakan

    Embun pagi menutupi daun-daun di hutan, menciptakan kilauan kecil seperti ribuan permata. Namun keindahan itu terasa palsu bagi Ravien dan Laras. Setelah pertarungan dengan Ravel, hati mereka masih bergejolak, dan luka-luka lama belum benar-benar tertutup.Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus mencari tanda-tanda bahaya. Laras mengikuti di belakang, langkahnya ringan namun waspada. Hatinya tak lepas dari rasa bersalah karena Bayu masih menghadapi kultus itu sendirian.“Ravien,” Laras memulai dengan suara lembut tapi tegas, “kita harus menemukan jalur balik ke dimensi itu. Bayu menunggu kita, dan kita tidak boleh membiarkannya sendirian.”Ravien menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalan. “Aku tahu. Tapi setiap langkah ke sana… aku bisa merasa bayangan masa lalu semakin mendekat. Ravel belum selesai denganku. Dan aku… belum siap menghadapi semuanya lagi.”Laras menggenggam lengan Ravien. “Kita akan hadapi semuanya bersama. Jangan coba menanggung sendiri.”Ra

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 41 : Luka yang Belum Sembuh

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, meski matahari telah naik malu-malu dari balik kabut tipis yang menyelimuti hutan. Suara burung pun tak terdengar—seolah alam pun ikut diam, menyimpan rahasia yang tak ingin dibagikan.Laras duduk di tepi sungai kecil, membasuh luka di tangannya dengan air yang mengalir pelan. Matanya sembab, masih menyisakan sisa tangis semalam. Di belakangnya, Ravien diam berdiri, menjaga jarak namun tak pernah benar-benar menjauh.“Aku… masih bisa mendengar suara Bayu saat dia berteriak memanggil kita,” ujar Laras pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemericik air.Ravien menunduk. “Aku juga.”Mereka belum bicara sejak lolos dari dunia bayangan. Tubuh mereka selamat, tapi jiwa mereka masih tertinggal di sana—di tempat Bayu berdiri sendirian menghadapi kegelapan demi mereka.“Kita harus kembali,” Laras akhirnya berkata. “Kita nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”Ravien mengangguk, walau dalam hatinya ia tahu itu bukan keputusan mudah. Dunia bayangan hanya t

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 40 : Jejak Dalam Kegelapan

    Kabut belum juga sirna saat pagi datang. Desa masih terdiam dalam ketakutan, dan tidak seorang pun berani keluar dari rumah mereka. Bayangan yang mulai menyebar dari hutan kini sudah mencapai tepi desa, membuat langit siang tampak seperti senja yang kelabu.Ravien duduk di teras rumah Bayu, tatapannya kosong, pikirannya terjebak pada Laras yang kini masih berada dalam dimensi ujian. Sudah semalaman penuh Laras tidak kembali, dan itu cukup untuk membuat gelisah merayapi hatinya.“Dia kuat,” ujar Bayu, datang dengan dua cangkir teh panas. “Kalau bukan Laras, mungkin kita semua sudah hancur dari awal.”Ravien menerima teh itu, tapi tak sempat menyeruputnya. “Aku tahu. Tapi tetap saja... dia di sana sendirian. Kalau ujian itu gagal, bukan hanya dia yang hilang.”Bayu menatap langit. “Aku mencoba melacak jejak energi si bayangan itu. Seolah-olah... dia bukan makhluk biasa. Dia terikat dengan Ravien, atau lebih tepatnya, dengan darah vampirmu yang belum sepenuhnya terikat pada dunia ini.”R

  • Bayang di Balik Kabut   BABA 39 : Bayangan di Balik Janji

    Malam telah berganti fajar, namun ketegangan yang mengendap sejak pertempuran semalam belum juga mereda. Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan, Laras duduk bersandar di ambang jendela, menatap matahari yang malu-malu muncul di balik pepohonan.Suasana tenang itu seolah palsu, karena pikirannya masih dipenuhi pertanyaan: siapa pria berjubah gelap itu? Apa maksudnya dengan kekuatan yang tersembunyi dalam darah Ravien?Ravien duduk tak jauh darinya, menatap secangkir teh yang mulai mendingin. Luka di lengannya telah dibalut, tapi luka di dalam hatinya jauh lebih sulit sembuh.“Kau tidak tidur semalaman,” ucap Laras pelan tanpa menoleh.Ravien menarik napas panjang. “Aku bermimpi. Tapi bukan mimpi biasa. Aku melihat seorang wanita… wajahnya mirip denganmu. Tapi dia menangis, berdiri di tengah api. Lalu terdengar suara, ‘Janji belum ditepati. Bayangan akan menuntut.’”Laras perlahan menoleh, ekspresi wajahnya berubah tegang. “Apa maksudnya, Ravien? Janji apa?”Sebelum Ravien bisa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status