"Udah, Pak. Tadi Nida yang mengabarkan. Pak Daniel, saya turut prihatin atas yang menimpa Non Namira.""Iya, Yuda. Terima kasih. Saya hanya ingin mendengar apa saja yang dibicarakan pak Wijayanto. Apakah dia komplain masalah harga atau lainnya?" selidik Daniel yang tak mau mengecewakan klien apalagi pak Wijayanto klien mereka sejak lama. "Alhamdulillah enggak, Pak. Justru Pak Wijayanto ingin kerja sama lagi. Dia bulan ini langsung menangani dua proyek dan semua itu ingin dihandle perusahaan kita, Pak Daniel," ungkap Yuda pada bos-nya. Daniel menganggukkan kepala, hatinya senang jika klien yang bekerja sama dengan perusahaannya mendapat keuntungan besar dan mau kerja sama lagi di lain waktu. "Jangan dulu, Yuda. Kita selesaikan proyek yang ada. Masalahnya sekarang saya jarang ke kantor. Takutnya enggak kepegang. Sekarang kamu kasih tau pak Wijayanto kalau kita belum bisa menerima proyek lain. Kalau proyek yang ada udah beres, barulah menerima proyek baru atau proyek lanjutan." Keputu
"Sayang, hei ...." Daniel menangkupkan kedua tangan pada wajah Namira. Menyuruh wanita itu jangan memandangi perutnya. "A-nak kita, Mas ... anak kitaaaa ...." Tangisan Namira pecah. Daniel berdiri, memeluk tubuh istrinya sangat hati-hati. Namira menangis dalam pelukan lelaki yang amat dicintainya. Mereka menangis tersedu-sedu. Begitu pula Bianca. Memang, Bianca yang menyampaikan kabar itu. Dia tidak ingin Namira mendengar dari orang lain, lebih baik darinya. Meski kabar tersebut sangat menyedihkan dan menyakitkan akan tetapi, Namira harus tahu kebenarannya walau pahit sekalipun. "Enggak apa-apa, Sayang. Bagiku, yang penting kamu selamat. Gak apa-apa, Sayang," hibur Daniel sembari menyeka lelehan air mata Namira, mengecup kening isrtrinya cukup lama. Sungguh, kejadian ini membuat Daniel dan Namira terpukul. Ia terlalu mengabaikan firasat yang Tuhan berikan. Daniel menangis tersedu-sedu. Begitu pula Namira. Bianca tak sanggup melihat Daniel dan Namira diselimuti kesedihan. Ia keluar
Bianca menendang pintu kamar Mutiara. Sepasang manusia tanpa ikatan suami istri sedang melakukan perbuatan yang amat menj1jikan. "Ibl111ssssss ... berani sekali berfantasi papahkuuuuu ...." Bianca menarik tubuh Mutiara yang sedang berada di atas tubuh lelaki yang tidak kenalinya. Rambut Mutiara dij4mbak keras Bianca, lalu men4mpar sangat keras. Lelaki yang mel4yani Mutiara berlari pergi setelah memunguti pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Mutiara tanpa tahu malu, tubuhnya berdiri tegak. Tidak merasa malu sedikit pun pad Bianca. "Kamu wanita g1la! B3jat! Ibl1s! aku udah tau, kalau kamu yang menvsuk perut Mamihku! B1adab!" Penuh luapan emosi, Bianca menarik lagi rambut Mutiara yang tergerai. Wanita itu bukannya kesakitan justru tertawa terbahak-bahak. Bianca mendorong tubuh keriput itu ke atas tempat tidur. Melemparkan daster pada Mutiara. Wanita tidak w4ras itu mengenakan daster tanpa pakaian d4lam. Lalu, tanpa Bianca duga, Mutiara berlari keluar kamar sambil tertawa lepas
"Oh itu. Emang Papah udah gak mau ke kantor lagi, Mih?" telisik Bianca sambil membuka bungkus biskuit, lalu menyodorkan pada Namira. "Katanya enggak. Dia gak mau ninggalin aku di rumah lagi. Papahmu trauma."Kesedihan kembali terlihat dari raut wajah cantik alami itu. Bianca meraih telapak tangan Namira. "Insya Allah, kejadian itu enggak akan terulang lagi," kata Bianca yakin. Kening Namira mengkerut, mendengar ucapan Bianca yang terdengar sangat meyakinkan."Kamu kok bisa yakin gitu?"Hem, Bianca keceplosan lagi. Sikapnya langsung berubah salah tingkah. Baru saja hendak menjawab, suara dering handphone terdengar. "Sebentar, Mih. Ada telepon."Namira hanya menganggukkan kepala. Bianca merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, terlihat nama Pak Joko. "Hallo, Pak Joko?""Non Bianca di mana sekarang?" suara Pak Joko terdengar cemas. "Saya di rumah sakit. Temenin Mamih. Kenapa, Pak?"Namira memerhatikan anak sambungnya yang tengah menerima telepon dari Pak Joko yang tak lain supir
Evan tak menyangka Daniel menyuruhnya kerja di perusahaan. Tidak tanggung-tanggung, Daniel langsung memberikan posisi cukup tinggi di perusahaan itu. Dia pikir, jika nanti bergabung dengan perusahaan Bragastara, posisi yang dia dapatnya hanya menjadi bagian dari divisi. Tapi, ternyata ... Harusnya Evan senang tapi dia merasa tak enak hati karena Daniel sangat baik padanya sedangkan Gita bersikap buruk pada Nida. Evan membuka pintu ruangan Gita. Terlihat wanita itu melirik, mulutnya masih menyon, seperti sedang berusaha berbicara. "Aku habis dari kantin. Perutku lapar," kata Evan meletakkan cemilan yang dia beli dari kantin. Setelah berbincang dengan Daniel, Evan berinisiatif ke kantin supaya mamahnya tak curiga. Gita mulai tenang. Kedua matanya terpejam. Evan memerhatikan Gita yang tak kunjung mengubah sikapnya menjadi lebih baik. Gita kembali membuka kedua mata, memberi isyarat bertanya, ada apa?Evan menghela napas panjang. Merunduk sebentar, lalu kembali menatap mamahnya."Mah,
Yuda terkekeh, menggelengkan kepala mendengar cerita yang disampaikan Shella. "Makanya, Shella ... kamu nikah lagi. Supaya gak timbul fitnah. Tuh si Bondan udah lama suka sama kamu. Kamunya aja enggak mau membuka hati lagi," kata Yuda yang tahu tentang gelagat Bondan yang diam-diam sering memerhatikan Shella. Namun, tampaknya Shella acuh tak acuh. Sekarang dalam benak Shella, ingin fokus meniti karier dan membesarkan anaknya. Tidak dapat dipungkiri, sebetulnya dalam hati Shella ada pria yang disukainya hanya saja dia merasa tak pantas. "Enggak tau nih, Pak. Saya masih ingat almarhum terus. Gimana ya? Kalau saya memaksakan diri buat nikah lagi sedangkan dalam hati hati masih ada nama suami, saya merasa berdosa dan tak enak pada suami yang baru. Saya cuma ingin, Pak ... ingin punya suami yang membuat saya jatuh cinta lagi. yang mau terima anak kandung saya, Pak," timpal Shella memandang keluar jendela mobil. Tak terasa, sebulir air mata menetes. Shella teringat kembali wajah suaminya.
"Ada apa, Pak Zo?" tanya Yuda ketika masuk ruangan. Sebelumnya Yuda telah mengenalkan Zovan dengan Shella. Dia berharap kalau mereka berjodoh. Mengingat Zovan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Zovan juga seorang pengacara yang memilih kasus yang tidak bertentangan dengan kej4hatan. Ia lebih senang membela yang benar. "Masalah kasus Bu Hesti besok sidang putusannya. Saya mau membicarakan masalah ini pada Pak Daniel gak enak, Pak. Katanya istri Pak Daniel sedang terkena musibah," ujar Zovan mengawali pembicaraan. Yuda menganggukkan kepala. "Iya. Pak Zo harus tetap memberitahu Pak Daniel. Setelah diberitahu, tunggu saja tanggapannya."Zovan menganggukkan kepala. Dia hanya khawatir nantinya akan dianggap tidak melihat waktu ketika orang lain terkena musibah, ia justru menceritakan masalah lain. "Enggak masalah saya kasih tau sekarang, Pak?""Enggak apa-apa. Pak Zo datang aja ke rumah sakit. Tadi kami bertemu di pemakaman salah satu karyawan kami yang meninggal dunia. Pak Daniel
Daniel membuka pintu ruangan, terlihat Namira dan Bianca yang tengah berbicara dengan serius."Papah," pekik Bianca ketika menyadari Daniel masuk ke dalam ruangan. Bianca berdiri, mempersilakan Daniel duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati. "Bian, sebaiknya kamu pulang ke rumah. Udah sore, Nak. Kasihan Nida juga. Dia di rumah sendirian, gak ada temannya," ujar Daniel pada anak gadisnya. Bianca tampak ragu mengiyakan perintah Daniel. "Bi, Mamih kamu udah ada Papah. Dia pasti aman. Sudah sana, pulang dulu."Bianca mengangukkan kepala, mengambil tas selempang, mengenakannya. "Oke deh. Aku mau pulang dulu. Mih, aku pulang, ya? Mamih juga cepet sembuh biar dibolehin pulang," ucap Bianca pada ibu sambungnya. "Iya, Bi. Makasih ya, kamu udah perhatian banget sama aku." Namira menanggapi, membiarkan Bianca pulang ke rumah, meninggalkan mereka berdua. Usai kepergian Bianca, Daniel mengajak istrinya berbincang. Kedua telapak tangan Namira diraih Daniel. Menggenggam penuh cinta. "Aku ka
"Terima kasih, Xel. Tante mau ke kamar dulu." Semua orang tahu dari sorot mata Nida terdapat kesedihan. Axel menghela napas berat, pandangannya beralih pada Haifa yang tengah memeluk anak semata wayangnya. "Mbak Haifa?" Panggilan Axel membuat Haifa mendongak. "Iya, Axel." Haifa mengenal Axel hanya saja mereka tidak terlalu akrab. "Kenapa Mbak memilih tinggal di sini? Tante Nida dengan om Hanif udah cerai?" tanya Axel tanpa berbasa-basi. Ia tahu, mungkin Haifa agak tersinggung dengan pertanyaan. "Mbak Haifa maaf, sebaiknya Mbak istirahat dulu. Mbak Haifa pasti capek 'kan?"Terpaksa, Rina menyela obrolan antara Axel dan Haifa. Rina hanya tak mau Axel terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain. "Iya nih. Mbak capek banget. Mbak Tina, terima kasih banyak udah jagaian Rafa. Maaf ya, kalau Rafa nakal," ujar Haifa tak enak hati pada Tina yang seharian sudah menjaga anak semata wayangnya. "Alhamdulillah Rafa baik. Enggak nakal," timpal Tina tersenyum ramah. "Hm ... kal
"Siapa yang datang, Rin?"Pertanyaan Axel dari dalam rumah mengalihkan pandangan Rina. Ia menoleh ke belakang. "I-Ini ada orang yang namanya mas Rangga. Katanya pengen ketemu mbak Nida," jawab Rina agak kaku karena merasa risih dengan tatapan Rangga. Rina bernapas lega setelah Axel menghadapi lelaki yang baru dilihatnya. "Iya. Namaku Rangga. Mbak Nida udah pulang kan?""Belum. Tante Nida belum pulang."Rina bergegas masuk ke dalam. Membiarkan Axel yang menemui lelaki itu. Tiba di dapur, Rina langsung menghubungi Nida, membertahu tentang kedatangan Rangga. Hati Rina berfirasat jika lelaki itu bukan orang baik. "Kalau begitu, aku akan menunggunya.""Eh, Anda ini emangnya siapa?" tanya Axel datar. Rangga mendelik, mengulurkan sebelah tangan. "Aku Rangga, suaminya Haifa."Uluran tangan Rangga tidak disambut Axel. Kening Axel justru mengkerut. "Haifa? Haifa adik kandung om Hanif?" Dugaan Axel membuat Rangga tersenyum. "Betul sekali." Sangat antusias, Rangga menjawab dugaan bocah bela
Tiba di rumah setelah mengganti seragam sekolah, Alea keluar kamar, mengetuk pintu kamar kembarannya. "Ada apa?" tanya Axel dingin. "Kita berangkat ke rumah tante Nida sekarang aja, Kak. Kalau nanti malam, pasti dilarang sama mama. Gimana?" ujar Alea berbinar. Senyum tampak di raut wajah. "Tunggu sebentar. Aku mau ambil kunci mobil dan surat pengadilan.""Siap! Aku nunggu di depan ya, Kak?""Iya."Alea menuruni anak tangga. Hatinya sangat bahagia diajak Axel ke rumah Nida. Di sana dia bisa bercerita banyak hal. Nida adalah pendengar setia. Ia juga sering kali menenangkan hati Alea dan Axel ketika mereka dihadapkan masalah.Tak berselang lama, Axel keluar rumah mengenakan hoodie. Masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi. Alea duduk di samping Axel. Mereka memutuskan menginap di rumah Nida tanpa izin lebih dulu pada Bianca. Jika meminta izin, pastilah dilarang. "Kak, sambil nungguin tante Nida pulang dari kantor, kita jalan-jalan dulu, yuk! Aku pengen beli skin care di Mall. Mau
Usai mandi, Hanifa bergegas keluar rumah membeli pakaian untuk sang suami. Saat hendak menuju pintu depan, langkah kaki Hanifa terhenti mendengar panggilan dari kakak iparnya. "Kamu mau kemana?" tanya Friska memandang penampilan Hanifa dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Aku mau ke pasar dulu. Mau beli pakaian buat mas Tedi. Pakaiannya ketinggalan di rumah lama. Tadi kata mas Tedi, rumah itu udah enggak boleh dimasukin lagi," jawab Hanifa, menjelaskan tujuannya. "Oh ya udah. Jangan lama-lama!""Iya, Mbak."Hanifa pergi ke pasar naik ojek online, hemat biaya dan lebih cepat. Tidak berselang lama, Hanifa telah kembali ke rumah. Setengah berlari menuju kamarnya. Tedi pasti sedang menunggu. Membuka pintu kamar, terlihat Tedi sedang duduk di kursi yang menghadap ke jendela luar. "Mas, ini pakaiannya! Kamu cepat ganti pakaian, ya?" ucap Hanifa menyodorkan plastik hitam yang ada di tangan. Tedi tak langsung menerima, ia memerhatikan pakaian yang ada di dalam plastik. "Kamu beli pakai
Hanifa mengendus diri sendiri. Ternyata benar yang dikatakan Tedi. Tubuhnya sangat bau keringat. Hanifa meringis, menunjukkan raut wajah mengenaskan. "Maaf, Mas. Sebenarnya aku udah mandi tapi tadi aku disuruh nyapu, ngepel sama mbak Friska. Kamu bayangin saja, aku harus nyapu dan ngepel rumah sebesar itu. Makanya ... badanku bau keringat. Tapi, aku mau mandi lagi. Sekarang Mas masuk dulu, yuk! Mas belum makan kan?" jelas Hanifa tersenyum manis di depan sang suami. Tedi menganggukkan kepala. "Kamu buka gerbangnya. Aku mau masukin mobil.""Siap, Mas."Hanifa mendorong gerbang rumah Friska yang menjulang tinggi. Melihat penampilan sang istri, Tedi sangat merasa malu. Hanifa hari ini benar-benar seperti pembantu. Wajah kucel, pakaian kumal. Kendaraan yang ditumpangi Tedi sudah memasuki halaman luas rumah Friska. Lelaki itu turun, berjalan agak menjauh dari istrinya. "Siapa yang datang, Nifa?" tanya Friska saat terdengar suara langkah kaki. "Suami aku, Mbak. Mas Tedi udah datang," ja
Setelah mengambil pakaian di rumah ibu Ros, Rangga dipaksa segera pergi dari area itu oleh orang-orang utusan Bank. Mulai hari ini, tidak ada lagi yang boleh memasuki rumah tersebut. Rencananya Minggu yang akan datang, rumah Ibu Ros akan dilelang. "Argh, sialan! Pake disita segala lagi! Semua ini gara-gara mbak Hanifa dan mas Tedi. Dua manusia bodoh! Bisa-bisanya dia enggak setor ke Bank sampe enam bulan. Enggak ada otak! Padahal tiap bulan, aku tau banget mbak Nida selalu kirim uang buat nyetorin pinjamannya. Eh malah enggak disetorin. Kemanain duitnya?" gerutu Rangga di luar gerbang. Baru saja ia hendak pergi, mobil yang ditumpangi Tedi datang. "Rangga!" Panggilan Tedi membuat Rangga menghela napas berat. Rangga langsung menunjukan raut wajah merengut. Hatinya sangat marah pada kakak iparnya itu. Kalau sudah begini, mau tinggal di mana? Di rumah si Yati sangat sempit. Yati adalah selingkuhan Rangga yang paling disayang. Wanita penghibur di salah satu tempat karaoke. Wanita yang se
"Astghfirullah, Kak. Kok malah mikir gitu? Aku enggak ada niat sedikitpun balikan lagi ke mas Hanif lagipula dia udah mendaftarkan proses perceraian kami di pengadilan Agama. Tinggal menunggu jadwal sidangnya saja," elak Nida tegas. Bianca belum tahu cerita yang menimpa keluarga Hanif. Rumah yang ditempati ibu Ros dan kedua anak gadisnya telah disita oleh pihak Bank. Mendengar jawaban Nida, Bianca tersenyum miring. Meletakkan kedua lengan di atas meja. Menatap lekat Nida. "Baguslah kalau kamu enggak ada niat balikan lagi sama dia. Aku muak lihat Hanif dan keluarganya. Termasuk si Haifa itu. Mau ngapain dia kerja di sini?" Bianca masih tak terima akan kehadiran anak bungsu Ibu Ros di perusahaannya. "Tempat tinggalnya disita Bank gara-gara Hanifa enggak bayar pinjaman selama enam bulan." Akhirnya alasan Nida menerima Haifa bekerja jadi asistennya terungkap. Bianca terkejut. Kedua alis Bianca terangkat, matanya membeliak. "Owh, jadi sekarang mereka jatuh miskin?" Bianca bertanya ant
Tiba di kantor, Haifa tampak ragu turun dari mobil. Ia takut jika bertemu dengan Bianca dan Evan. Haifa tahu pemilik perusahaan ini adalah Bianca. Wanita yang kerap kali ketus pada keluarganya. Nida menoleh pada Haifa."Fa, kenapa bengong? Ayok turun!" tegur Nida pada wanita yang duduk di sampingnya. Haifa tergagap, menelan saliva. "Aku takut, Mbak. Takut Mbak Bianca marah lihat aku kerja," jawab Haifa apa adanya. Senyum Nida terlihat, mengusap bahu mantan adik iparnya. "Kamu tenang aja. Dia enggak akan marah. Orang kami emang lagi butuh karyawan baru soalnya aku merangkap kerjaan mama Shella. Udah kamu tenang aja. Ayok turun!" ajak Nida membuka setbealt. Mereka berjalan beriringan. Namun, Haifa berjalan agak belakang dari Nida. Dia malu jika mensejajarkan diri di samping Nida. Baru saja hendak masuk lift, mereka berpapasan dengan Bianca. Sontak, Bianca menelisik Haifa dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Dia Haifa, Kak. Mantan adik iparku," ujar Nida tanpa menunggu ditanya Bianc
"Bacot!" sentak Rangga tak terima akan ucapan kakak iparnya. Kedua pundak Hanifa terangkat kaget disentak Rangga. "Mbak jangan bilang aku benalu! Meskipun aku sering selingkuh tapi aku masih suka kasih uang pada Haifa," tandas Rangga percaya diri. Hanifa mencebik, seolah mencibir ucapan Rangga. "Suka kasih uang? Ya emang suka kasih uang tapi kasihnya suka-suka kamu. Emang kamu pikir aku enggak tau, kamu kasih uang berapa ke Haifa? Ck, cuma kasih seratus ribu seminggu aja bangga! Hahaha ...," ejek Hanifa tertawa lepas. Tentu saja Rangga geram dengan sikap Hanifa. "Apa Mbak lupa kalau kita pernah melakukan hubungan suami istri saat Haifa dirawat di rumah sakit? Ingat, Mbak. Aku punya video kita waktu bercinta. Hahahaha ...."Sontak, gelak tawa Hanifa terhenti. Kedua mata Hanifa membeliak, sangat terkejut karena Rangga mengungkit kesalahannya. Saat itu, Hanifa sangat kesepian. Tedi tak juga pulang. Ia hanya sendirian bersama anak-anak. Tiba-tiba saja Rangga pulang dengan keadaan basah