Rina serba salah. Apakah membalas pesan Axel atau membiarkannya. Di lubuk hatinya paling dalam, Rina bersedih dan kecewa. Ternyata Axel tak menyimpan nomor kontaknya padahal waktu itu mereka sempat berbalas pesan. Tiba-tiba handphone Rina berdering. Keningnya mengkerut, Axel menelepon. Namun, ia tetap meragu. Tak diangkat, dibiarkannya berdering. Rina memilih keluar kamar, menyantap makan malam bersama ibunya. "Kamu kenapa, Rin? Cemberut begitu?" telisik Tina melihat mimik wajah putrinya yang berubah drastis. Sebelum masuk kamar, Rina masih sumringah. Sekarang tiba-tiba muram? "Enggak apa-apa, Bu."Tina tak pantas percaya akan jawaban gadis yang tengah menyendok nasi dan lauk pauk ke atas piring. "Kamu enggak bisa bohongi Ibu. Ya sudah kalau kamu enggak mau cerita," tutup Tina tak ingin memaksa anaknya untuk bercerita. Meski hatinya sangat yakin kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran Rina. Selesai makan malam, Rina kembali lagi ke kamar. Tina hanya menghela napas berat melihat
Axel menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Rina. "Oke aku minta maaf. Tadi tuh maksudnya bercanda. Emang kamu kata siapa, kalau cafe itu milik aku?" telisik Axel mengalihkan pembicaraan. Rina menghela napas berat. "Ayahku yang bilang." "Oh, om Ferry. Gimana ayahmu kerja di cafe? Betah enggak?" "Alhamdulillah betah." "Syukurlah. Kalau ada apa-apa, nanti kabarin aku aja. Oke?" "Iya, Xel. Terima kasih." "Assalamu'alaikum." "Waalaikumsalam." Panggilan telepon terputus. Senyum tipis terlihat jelas di wajah Rina. Kini hatinya lega ternyata Axel sudah menyimpan nomor kontaknya. Rina pikir, chat Axel tadi benar kalau Axel tidak tahu dirinya yang mengirim pesan. Hanya saja, harapan Rina yang ingin dijemput berangkat sekolah dengan Axel tidak terwujud. Padahal Rina sudah berharap Axel akan mengantar ke sekolahnya lagi. "Mikir apa sih aku? Kayaknya enggak mungkin juga Axel mau berangkat sekolah bareng aku lagi. Duh Rina ... Please jangan cinta duluan sama cowok ... Malu-m
"Mas, Mas Yuda, Mas kenapa, Mas?" Tiba-tiba dada Yuda terasa sesak. Shella panik melihat suaminya sesak napas secara mendadak. "Ya Allah, Mas! Mas kenapa?" jerit Shella tak kuasa melihat suaminya yang kesulitan bernapas. Shella mengambil handphone, menghubungi Cassandra yang baru saja membersihkan badan. "Sandra, cepat kamu panggil security. Suruh ke kamar sekarang! Papamu sesak napas!" "I-iya, Ma!" Tanpa banyak tanya, Cassandra keluar kamar. Menuruni anak tangga dengan cepat. Berlari keluar, memanggil dua security yang berjaga di dekat gerbang. "Pak Gugun! Pak!!" teriakan Cassandra membuat lelaki yang telah lama mengabdi di rumah Yuda menoleh. "Sini, Pak! Ajak Pak Heri!" Kedua security berlari menghampiri Cassandra yang tampak cemas. "Ada apa, Non?" "Ke kamar papa. Kata mama, papa sesak napas! Pak Heri, tolong siapin mobilnya!" "Baik, Non." Pak Gugun dan Cassandra masuk ke dalam rumah, berjalan cepat ke kamar kedua orang tuanya. Cassandra membuka pintu kama
Nida mengabaikan pesan yang dikirim Friska, tak ingin terpancing emosi. Saat ini, Nida ingin bertemu papanya. Ingin mengetahui kondisi Yuda. Nida berharap kondisi Yuda jauh lebih baik. Tiba di rumah sakit, terlihat Cassandra sedang mengelus punggung Shella. "Ma, Sandra!" panggil Nida pada kedua wanita itu. Mereka menoleh, berdiri. Nida langsung memeluk Shella. Dirinya benar-benar tak menyangka jika penyakit papanya yang sudah lama tidak dirasa sekarang kambuh lagi. "Gimana kondisi papa?" tanya Nida setelah melepaskan pelukan. Shella menyeka air mata. "Masih di ruangan ICU. Tadi enggak sadarkan diri. Enggak tau sekarang, huhuhu .... "Tangisan Shella kembali pecah. Nida menoleh ke ruangan ICU. Ia berjalan cepat, mendekati ruangan tersebut. Dari kaca jendela, Nida melihat beberapa dokter sedang memeriksa keadaan papanya. Dokter berjalan ke arah pintu. Nida secepatnya mendekati, pintu terbuka. "Keluarga pasien?""Saya, dok," jawab Nida cepat.Shella dan Cassandra yang melihat dokte
"Pa, jangan bilang seperti itu dulu. Papa enggak usah mencemaskanku. Aku baik-baik saja. Aku enggak akan trauma. Aku enggak akan terpuruk. Pa, aku mohon fokuslah pada kesehatan Papa. Papa harus sembuh," ujar Nida menggenggam sebelah telapak tangan Yuda. Air mata tak juga berhenti membasahi wajahnya."Iya. Papa akan sembuh."Setelah obrolan itu, Nida pamit keluar ruangan. Membiarkan papanya istirahat cukup. Shella dan Cassandra yang menunggu di bangku tunggu berdiri saat Nida keluar ruangan. "Nida, bagaimana Papamu?" tanya Shella menunjukkan raut wajah cemas. "Katanya papa mau istirahat dulu. Mama dan Sandra pulang saja. Biar aku yang di sini, nungguin papa." Dari pada Nida di rumah sendirian, lebih baik di rumah sakit, menemani sang papa. Shella menggelengkan kepala, menolak perintah Nida. "Mama di sini saja. Kalau pulang, Mama enggak bisa tenang."Nida mengerti. Seorang istri yang baik dan setia tidak mungkin meninggalkan suaminya yang sedang sakit di sini. "Ya sudah kalau begi
Cassandra langsung mematikan sambungan telepon. Merasa malu karena mengucapkan kata 'Sayang' pada Axel. Cassandra meletakkan handphone di atas nakas, lalu keluar kamar, hendak ke dapur. "Pagi, Kak," sapa Cassandra tiba di dapur melihat Nida tengah memanggang roti tawar. "Pagi. Kamu udah bangun? Aku pikir masih tidur," timpal Nida mengangkat roti tawar yang sudah matang. Meletakkan di atas piring. "Aku bangun dari jam setengah lima, Kak." "Masya Allah hebat sekali. Di LN juga kamu bangun jam segini, Sandra?" Nida berusaha mengakrabkan diri dengan adik sambungnya. "Iya, Kak. Udah kebiasaan. Kak, sebelum ke kantor, Kakak mau ke rumah dulu kan?" "Iya. Mau ambil laptop dan handphone papa dulu. Kerjaan kan ada di sana. Kenapa? Kamu mau di sini dulu?" "Enggak, Kak. Jam sepuluhan aku mau ke rumah sakit. Gantiin mama jagain papa." Andai saja Nida tak bekerja, mungkin dia yang akan menjaga papanya. "Maaf, Sandra, aku enggak jagain papa dulu." "Enggak apa-apa. Kakak kan
Hanif terkejut melihat riwayat chatnya dengan Friska di-print oleh Axel. Segera, ia remukkan kertas itu dan setengah berlari mengejar kembaran Alea. "Axel tunggu! Axel!" Panggilan Hanif sengaja diabaikan. Axel melenggang berjalan menuju kelas. "Axel!" Hanif mencekal lengan Axel membuat langkah kaki remaja itu terhenti. Dengan kasar, Axel menghempaskan. "Kenapa? Kaget? Takut? Oh tenang aja, selama kamu dan selingkuhanmu enggak nyakitin tante Nida, bukti itu enggak akan tersebar luas. Tapi kalau sebaliknya? Dalam hitungan detik, aku akan menyebarkannya. Dan perlu kamu tau, aku juga punya video menjijikanmu dengan jalang itu." Kalimat terakhir tentu saja bohong. Axel tak punya satu video asusila Hanif dengan Friska. Sekadar menakut-nakuti saja. "Eh, Axel! Kamu jangan kurang ajar!""Tenang dong. Seperti tadi yang aku bilang, kalau kamu dan si Friska enggak macam-macam ke tante Nida, kamu aman. Udah bel, aku mau masuk."Puas sekali Axel berkata demikian. Paling tidak, Hanif tidak akan
Evan tiba di rumah sakit langsung mengetuk pintu ruangan di mana papanya menerima perawatan medis. Shella terkejut melihat kedatangan Evan. Ia lantas berdiri, mempersilakan Evan duduk di kursi samping ranjang pasien. Shella pamit keluar ruangan, membiarkan Evan berdua dengan sang suami. "Pa, Papa kenapa? Kenapa Papa bisa jatuh sakit begini? Perasaan kemaren Papa sehat wal afiat," ucap Evan menunjukkan rasa cemas. Yuda yang mulutnya masih ditutupi masker oksigen hanya tersenyum tipis. "Sekarang juga Papa udah lebih baik."Jawaban Yuda tak membuat Evan percaya seratus persen. Ia yakin ada masalah yang mengganggu pikiran Papa kandungnya itu. "Pa, apakah penyebab Papa sakit karena masalah yang menimpa Nida?" telisik Evan menatap lekat Yuda. "Kasihan Nida, Van. Dia sendirian."Ternyata benar dugaan Evan. Lelaki itu menghela napas berat, menggenggam telapak tangan papanya. "Papa tenang saja. Nida enggak sendirian. Aku akan membantu masalahnya. Kalau emang Nida ingin mempertahankan ruma
"Dasar ceroboh nih anak! Makanya sebelum berangkat pastiin dulu, ada yang ketinggalan enggak?""Idih, malah dia yang marah. Lagian semalam Kakak enggak bilang suruh bawa itu. Kakak cuma suruh aku bawa seragam dan tas. Sepatu juga untung aku inget. Ya udah, kamu aja yang balik ke rumah. Ambil sana pakaian dalammu!" ucap Alea kesal pada kakaknya yang menyalahkan. Bukannya minta maaf, justru marah-marah tidak jelas. "Ck, adik nyebelin!" Axel menuju salah satu kamar yang ada di rumah Nida. Terpaksa, ia mengenakan pakaian dalam semalam. Tidak ganti. Paling juga, di jalan nanti kalau ada toko underware yang buka, ia akan beli. "Ada apa, Lea?" tanya Nida pada gadis yang duduk kembali di kursi semula. "Enggak ada apa-apa, Tante. Ah biasa, kak Axel kan emang rese! Enggak boleh banget aku menikmati sarapan di rumah Tante. Aku lanjut lagi sarapannya ya, Tan?" tanya Alea sembari menggigit roti tawar panggang yang diberi selai cokelat. "Habisin saja, Lea.""Siaaapp!"Di ruang makan, hanya ada
"Rina, tumben jam segini kamu udah di dapur?" sapa Tina pada anak semata wayangnya yang sedang memanggang roti tawar untuk Nida dan yang lainnya. "Kok tumben sih, Bu? Aku kan udah biasa bangun jam segini," timpal Rina cemberut. "Maksud Ibu, kamu ada di dapur tumben jam segini? Biasanya kan jam enam baru bantuin Ibu," jelas Tina sambil menyusun piring di atas meja makan. Rina tak menanggapi. Ia terdiam, fokus memanggang roti tawar yang sering dijadikan menu sarapan Nida. Tidak berselang lama, suara bel terdengar. Rina dan ibunya saling memandang satu sama lain. Mereka merasa aneh, ada orang yang datang bertamu di pagi buta. "Bu, Ibu saja yang bukain pintunya. Aku takut mas Rangga lagi yang datang," ucap Rina sebelum ibunya menyuruh. "Ya sudah, Ibu yang bukain pintu."Wanita yang tak lain istri sah Ferry itu berjalan cepat ke pintu depan. Suara bel kembali terdengar. Sebelum membuka pintu, Tina menghela napas panjang. Lalu ...."Assalamualikum, Ibu Tina."Tina bernapas lega karena
"Lea, benar enggak? Itu nomor baru Cassandra?" tanya Axel tak sabar. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Sangat berharap kalau Cassandra-lah yang menghubungi Alea. Alea bimbang, menjawab pertanyaan kakaknya. 'Ya Allah, gimana ini? Apa aku harus jujur atau harus ....?'Satu pesan singkat masuk lagi. Alea terkejut, langsung membacanya. "Alea, kok enggak dibalas? Apa kamu marah padaku?" Alea dengan cekatan membalas pesan Cassandra. "Sebentar, aku lagi teleponan sama kak Axel."Pesan sudah terkirim. "Alea! Eh, kamu denger aku enggak? Alea!""Iya, iya, aku denger! Bawel banget!" sungut Alea kesal. Alea jadi menyesal memberitahu pesan singkat dari nomor baru. "Habisnya dari tadi dipanggil diem aja. Tadi nomor baru siapa?""Temenku. Udah ya, Kak. Aku ngantuk. Besok pagi-pagi kan aku harus jemput Kakak di rumah tante Nida. Aku cuma bawa baju seragam dan tas Kakak aja 'kan?" Alea sengaja mengalihkan pembicaraan lain. Dia tak mau keceplosan kalau yang menghubunginya adalah Cassandr
Perkataan Rina membuat ibunya terdiam membisu. Tak lagi berkata-kata. Yang dikatakan Rina ada benarnya. Masalah jodoh seseorang hanya Allah yang tahu. Jika demikian, bagaimana kalau Rina ternyata jodohnya Axel? Mereka sepersekian menit terdiam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. "Bu, aku istirahat dulu. Ibu juga jangan tidur terlalu malam," ucap Rina beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih terpaku di ruang tamu. Di balik pintu kamar, air mata Rina tak mampu tertahankan. Ia menangis tersedu, tubuhnya luruh di atas lantai. Kedua lutut ditekuk, wajah ditenggelamkan antara kedua lututnya. Rina menangis, meratapi cinta pertamanya yang tak kunjung mendapat balasan dari lelaki yang dicintai. Mungkin itu yang terbaik ketimbang ketika mereka sudah saling mencintai justru harus terpisahkan. "Ya Allah, Engkau yang menitipkan perasaan ini padaku. Jika nantinya perasaan ini membuat jatuh ke lubang penyesalan, aku mohon hapuskan ya Allah. Hapuskan ... huhuhuhu ...." Sementar
Melihat Alea terpaku di tempat, Evan heran dan bertanya, "Kenapa kamu malah bengong, Lea?" Sikap Alea salah tingkah. Berdehem dan tersenyum kaku. Ia kembali duduk di tempat semula. Kepalanya melongok ke dalam. Memastikan tidak ada Bianca di sana. "Pa, hm ... maaf ya sebelumnya. Tapi, Papa jangan marah."Evan mengerutkan kening mendengar kalimat yang meluncur dari mulut gadis berusia belasan tahun itu. "Memangnya ada apa, Lea?" telisik Evan dengan intonasi suara rendah. Evan yakin ada yang disembunyikan oleh Alea. "Sebenarnya malam ini kak Axel enggak ada di rumah, Pa." Sangat pelan, Alea berucap. Namun, Evan masih bisa mendengarnya. Kepala Evan mundur sedikit karena terkejut. "Di mana dia? Di cafe?" cecar Evan. Alea terdiam. Walau hatinya percaya Evan tidak akan memberitahu Bianca, akan tetapi Alea sedikit ragu memberitahu. Sungguh, ia khawatir Evan keceplosan. Evan sangat mencintai Bianca. Jika Bianca mendesak, pasti Evan akan menjawab tentang keberadaan Axel yang sebenarnya. A
Hari ini Bianca pulang agak malam. Jam tujuh malam baru tiba di rumah. Nida yang biasanya membantu, kini bekerja di lokasi proyek. Nida ada di kantor hanya pagi sampai jam sebelas siang saja. Setelahnya di lokasi proyek. "Kalau Nida stand by di kantor, aku enggak akan pulang malam begini. Ada-ada aja tuh orang. Segala pengen kerja di lokasi padahal kerjaan itu lebih pusing. Kenapa pula enggak diserahin ke mandor saja?" gerutu Bianca ketika melepas sepatu di dalam kamar. Beruntung, Evan suami yang penyabar dan setia. Ia membantu Bianca menyelesaikan pekerjaannya. "Nida kan udah ngasih tau alasannya, aku juga tadi ngebantuin kamu nyelesain kerjaan. Yang dilakukan Nida juga untuk kepentingan perusahaan, Sayang," sanggah Evan pada istrinya yang selalu saja terkesan menyalahkan Nida. "Kamu emang bantuin aku tapi enggak secepat pekerjaan Nida. Udahlah, aku capek! Aku mau mandi dulu, habis itu tidur! Pusing kalau bicara sama kamu," ucap Bianca kesal. Intonasi suaranya sarat akan emosi. Ev
"Kamu enggak takut dimarahin kak Bianca kalau nginap di sini?" tanya Nida ketika Axel mengutarakan maksudnya ingin menginap di rumahnya. Mereka malam ini duduk di samping rumah dekat kolam ikan. Beraneka jenis ikan koi terlihat cantik di dalam kolam. "Enggak takut sama sekali. Biarin ajalah. Sekarang aku dan Lea udah biasa dimarahin mama," jawab Axel santai. Pandangannya tertuju ke depan. Pikirannya entah ada di mana. Nida menoleh, memerhatikan keponakannya dari samping. Nida mengubah posisi duduk, lebih menghadap Axel. "Kamu kenapa, Xel? Lagi ada masalah?" telisik Nida penasaran. Axel menoleh sejenak, lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Tampak berpikir, tidak langsung menjawab. Tiap hari Axel berusaha menutupi rasa rindu dan gelisah pada Cassandra, cinta pertamanya. Hampir satu Minggu mereka tak saling komunikasi. Bagi Axel, satu Minggu bagai sewindu. Sangat menyiksa. "Bukan masalah sama orang lain tapi masalah sama diri sendiri," ucap Axel. Setelahnya mengangkat secangkir
"Terima kasih, Xel. Tante mau ke kamar dulu." Semua orang tahu dari sorot mata Nida terdapat kesedihan. Axel menghela napas berat, pandangannya beralih pada Haifa yang tengah memeluk anak semata wayangnya. "Mbak Haifa?" Panggilan Axel membuat Haifa mendongak. "Iya, Axel." Haifa mengenal Axel hanya saja mereka tidak terlalu akrab. "Kenapa Mbak memilih tinggal di sini? Tante Nida dengan om Hanif udah cerai?" tanya Axel tanpa berbasa-basi. Ia tahu, mungkin Haifa agak tersinggung dengan pertanyaan. "Mbak Haifa maaf, sebaiknya Mbak istirahat dulu. Mbak Haifa pasti capek 'kan?"Terpaksa, Rina menyela obrolan antara Axel dan Haifa. Rina hanya tak mau Axel terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain. "Iya nih. Mbak capek banget. Mbak Tina, terima kasih banyak udah jagaian Rafa. Maaf ya, kalau Rafa nakal," ujar Haifa tak enak hati pada Tina yang seharian sudah menjaga anak semata wayangnya. "Alhamdulillah Rafa baik. Enggak nakal," timpal Tina tersenyum ramah. "Hm ... kal
"Siapa yang datang, Rin?"Pertanyaan Axel dari dalam rumah mengalihkan pandangan Rina. Ia menoleh ke belakang. "I-Ini ada orang yang namanya mas Rangga. Katanya pengen ketemu mbak Nida," jawab Rina agak kaku karena merasa risih dengan tatapan Rangga. Rina bernapas lega setelah Axel menghadapi lelaki yang baru dilihatnya. "Iya. Namaku Rangga. Mbak Nida udah pulang kan?""Belum. Tante Nida belum pulang."Rina bergegas masuk ke dalam. Membiarkan Axel yang menemui lelaki itu. Tiba di dapur, Rina langsung menghubungi Nida, membertahu tentang kedatangan Rangga. Hati Rina berfirasat jika lelaki itu bukan orang baik. "Kalau begitu, aku akan menunggunya.""Eh, Anda ini emangnya siapa?" tanya Axel datar. Rangga mendelik, mengulurkan sebelah tangan. "Aku Rangga, suaminya Haifa."Uluran tangan Rangga tidak disambut Axel. Kening Axel justru mengkerut. "Haifa? Haifa adik kandung om Hanif?" Dugaan Axel membuat Rangga tersenyum. "Betul sekali." Sangat antusias, Rangga menjawab dugaan bocah bela