Suara televisi terdengar di ruang keluarga rumah Bima dan Nindya. Lampu putih pucat menerangi Nindya dan Ijah yang tengah melihat ke depan. Sesekali suara mereka bersahutan mengomentari tayangan di layar datar 27 inch itu.
Nindya jarang sekali menonton televisi. Televisi ruang tengah hanya hidup kalau acara kesayangan Ijah diputar. Selebihnya, barang itu hanya hiasan di sana, sama dengan patung-patung dari negara asing yang biasa dia bawa pulang ketika habis bepergian.Berada di ruang tengah bersama Ijah adalah cara Nindya menghindari Bima. Bima tak akan mengajaknya bicara ketika ada Bi Ijah.Bukan tak ingin bicara, Nindya tahu mereka harus segera membicarakan masalah ini secepatnya. Akan tetapi, Nindya masih marah. Ia tak terima, Bima memilih pulang untuk menjenguk Nico.Sebenarnya Nindya tak perlu menggunakan Ijah sebagai tameng. Sejak pulang dari rumah sakit, Bima lebih sering mengurung diri di dalam kamar kedua. Hanya waktu makan saja dia keluSuara televisi terdengar di ruang keluarga rumah Bima dan Nindya. Lampu putih pucat menerangi Nindya dan Ijah yang tengah melihat ke depan. Sesekali suara mereka bersahutan mengomentari tayangan di layar datar 27 inch itu.Nindya jarang sekali menonton televisi. Televisi ruang tengah hanya hidup kalau acara kesayangan Ijah diputar. Selebihnya, barang itu hanya hiasan di sana, sama dengan patung-patung dari negara asing yang biasa dia bawa pulang ketika habis bepergian.Berada di ruang tengah bersama Ijah adalah cara Nindya menghindari Bima. Bima tak akan mengajaknya bicara ketika ada Bi Ijah.Bukan tak ingin bicara, Nindya tahu mereka harus segera membicarakan masalah ini secepatnya. Akan tetapi, Nindya masih marah. Ia tak terima, Bima memilih pulang untuk menjenguk Nico.Sebenarnya Nindya tak perlu menggunakan Ijah sebagai tameng. Sejak pulang dari rumah sakit, Bima lebih sering mengurung diri di dalam kamar kedua. Hanya waktu makan saja dia kelu
Lorong bangsal anak terasa semakin sempit bagi Dewi dan Dimas. Keduanya berdiri di balik dinding. Dimas menunduk, jelas gelisah, sementara Dewi menatap sela pintu kamar. Wajahnya tegang, jari-jarinya semakin kuat menekan dinding di sampingnya.Setelah terdengar suara Bima mengakhiri percakapan dengan Laras, Dimas mundur setapak, wajahnya pucat. “Aku pamit, Bu Dewi. Ini… aku tak seharusnya mendengar.”Dewi hanya mengangguk, dan sebelum Dimas melangkah cukup jauh, Dewi sudah meraih gagang pintu. Rasa marahnya tak lagi bisa ditahan, dadanya berdegup cepat. Ia membuka pintu kamar dengan hentakan. Tatapannya langsung menusuk ke arah Laras dan Bima.“Cukup sudah sandiwara kalian.” Ingin rasanya ia menambah tinggi suaranya kalau saja tak diingatnya Nico yang sedang lemah tertidur. Tangannya mencengkeram besi ranjang untuk mencegah ia terlihat gemetar karena emosi.“Ma,” Laras berdiri dari duduknya dengan tatapan terkejut, begitu juga dengan Bima.
Lorong bangsal anak itu terasa dingin meski pendingin ruangan tak begitu kuat. Aroma khas antiseptik bercampur bau obat sirop yang manis memenuhi udara. Sesekali terdengar tangisan anak kecil yang baru saja disuntik atau minum obat, bersahut-sahutan dengan suara perawat yang mencoba menenangkan.Dindingnya dipenuhi gambar kartun warna-warni, berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa di balik pintu-pintu kamar, ada tubuh mungil yang sedang berjuang melawan sakit. Bima melangkah pelan, dadanya terasa berat.Di depan pintu bercat putih dengan nomor kamar 214, ia berhenti. Nama Nico tertulis di papan kecil di samping pintu. Saat pintu itu dibuka, udara lebih lembap menyergap.Laras yang sedari tadi memegang tangan Nico segera melihat ke arah pintu. “Bim,”Bima tak memedulikan Laras. Dilihatnya Nico terbaring di ranjang khusus bayi, tubuhnya tampak begitu kecil di antara seprei putih rumah sakit. Selang oksigen menempel di hidungnya, menyalurkan udara ag
Matahari masih terik saat Nindya sampai di Jakarta. Dari dalam taksi bandara, dilihatnya kembali udara ibukota yang pekat. Asap-asap knalpot terlihat mengepul ketika ia melewati jalanan padat.Masih hari Jum’at, seharusnya dia dan Bima baru kembali hari Minggu atau Senin besok. Tapi siapa yang bisa tahan dengan situasi yang sudah terjadi. Dia bahkan tak yakin bisa melihat wajah Bima saat ini.Bukan Nindya tak tahu kalau Bima sering melihat foto Nico dalam unggahan Laras, namun dia selalu mencoba untuk memahami. Bagaimana pun Bima adalah ayahnya. Dan jika diposisikan sebagai Om pun, hal itu masih wajar.Lain halnya dengan masalah ini. Bukan hanya Bima meminta mereka segera pulang, namun juga Bima telah menuduhnya, menyalahkannya sebagai penyebab dinginnya rumah tangga mereka. Nindya tak terima.Meski selalu dikuatkannya dirinya untuk tidak melihat Nico sebagai bukti perselingkuhan Bima, tetapi otak manusia diciptakan untuk mengingat, bukan melupaka
Sinar matahari masuk melalui tirai jendela yang dibuka sebagian oleh Nindya. Cuaca di luar cukup cerah untuk menikmati wisata pantai yang akan mereka lakukan hari ini.Nindya tersenyum sambil melihat Bima yang masih terlelap di tempat tidur. Semalam mereka pulang cukup larut dan sepertinya Bima tidur lebih lambat dibandingkan dirinya. Nindya ingat, badannya sudah lelah dan matanya lengket begitu sampai di hotel.Dilihatnya penanda waktu di ponselnya, pukul enam pagi. Mereka harus segera sarapan dan berangkat jika tak ingin sampai di pantai terlalu siang.Diciumnya kening Bima, hal yang dulu selalu dia lakukan untuk membangunkan suaminya itu. “Bim... bangun. Kita harus sarapan,” bisiknya pelan.Bima menggeliat. Matanya masih akan terpejam kalau tidak diingatnya satu hal. Bima melihat Nindya duduk di sampingnya. Dia mengangguk.Nindya berlalu ke kamar mandi, membiarkan Bima mengumpulkan kesadarannya. Namun kesadaran Bima sebenarnya sudah pu
Bima dan Nindya berjalan bergandengan menyibak kerumunan pengunjung jalan Malioboro. Meski bukan weekend, Malioboro tak pernah betul-betul sepi. Kanan kirinya masih ramai pertokoan yang memamerkan pakaian, tas, buah tangan khas Yogyakarta.Sesekali mereka duduk di kursi yang disediakan, menghilangkan penat kaki dan melihat kereta kuda yang terparkir menunggu penumpang. Meski para kusir harus bersaing dengan ojek dan bentor, namun mengendarai kereta kuda selalu menjadi pilihan menarik khususnya bagi para turis asing.Bima menyodorkan air mineral yang dibelinya tadi. Berjalan dari ujung ke ujung membuat Nindya langsung menghabiskan sepertiga isinya. Untungnya, awan masih menutupi matahari sore sehingga cuaca tidak terlalu panas.“Kau tidak mau berbelanja sesuatu?” tanya Bima.Nindya menggeleng. “Tidak. Kita sudah beli oleh-oleh untuk Bi Ijah.” Ada tusukan kecil yang mengenai hati Nindya. Jika saja keadaannya seperti biasa, pasti dia akan mencari ole