Share

Rahasia Keramat

Author: Alexa Rd
last update Last Updated: 2025-05-28 23:22:03

“Ah, untung kau sudah pulang, Ras.” Seru Dewi melihat Laras masuk dari pintu utama.

Laras menoleh ke arah Mamanya. “Ada apa, Ma?”

“Bima tadi telepon. Dia mau ke sini nanti malam. Mungkin karena kemarin hanya kamu dan Nindya saja yang hadir.” Dewi tersenyum.

“Ah...” Langkah Laras terhenti sebentar lalu dia hanya mengangguk pada Mamanya. “Laras ke kamar dulu ya, Ma,” lanjutnya.

“Iya. Tumben juga kamu hari Minggu ke galeri,” imbuh Dewi sambil melihat Laras menuju arah kamar. “Suti!” Dewi memanggil asisten rumah tangga mereka.

Wanita paruh baya yang sudah ikut Dewi sejak Nindya masih kecil itu tergopoh ke ruang tamu.

“Nanti malam Bima sama Nindya mau datang. Ada makanan kan? Atau kamu masak lagi saja. Bahan makanan masih ada kan?” tanya Dewi sembari mengingat-ingat isi dapurnya.

“Masih, Bu,” jawab Suti. Dia merasa aneh karena kemarin Nindya dan Laras tidak menyentuh makanan sama sekali setelah Laras pingsan. Lebih aneh lagi, Laras berpesan agar hal itu tidak diceritakan pada Dewi.

=  =  =  =

Bima mengancingkan kemejanya sambil melihat tampilan wajahnya di cermin kamar tamu. Di sinilah sejak kemarin dia tidur. Sebulan ini sepertinya dia sudah bertambah tua beberapa tahun.

Setelah siap, dia keluar. Di ruang tamu sudah ada Nindya yang menunggu. Sejak pembicaraan semalam, Nindya tidak mengajaknya berkomunikasi lebih lanjut. Hari ini mereka akan ke rumah Dewi berdua.

“Terima kasih kau mau ikut,” kata Bima pada istrinya sambil mengambil tangan Nindya.

“Ini soal aku juga,” jawab Nindya singkat lalu menarik tangannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nindya mendahului Bima ke arah halaman di mana mobil mereka terparkir.

Di sepanjang perjalanan, Bima dan Nindya sama sekali tidak berbicara satu sama lain.

= = = = = = =

Pukul tujuh kurang, Bima dan Nindya sudah tiba di rumah Dewi. Dewi memeluk anak dan menantunya satu per satu. Karena kesibukan mereka, acara makan malam keluarga biasanya menjadi satu-satunya momen mereka bertemu sebulan sekali dan kemarin Dewi harus absen.

“Maaf ya, Mama kemarin betul-betul tidak bisa mengelak,” katanya sambil menuju ruang keluarga. Di sana sudah ada Laras yang duduk di ujung sofa.

“Tidak apa-apa, Ma,” sahut Bima. Biasanya mereka langsung duduk lalu bercengkerama. Malam ini semua terasa canggung.

“Kenapa berdiri saja? ayo duduk,” perintah Dewi yang belum membaca situasi.

Bima tersenyum pada mertuanya lalu memilih duduk di dekat Dewi. Di ujung sofa, Laras melirik pada Nindya yang sedari tadi hanya diam. Nindya sendiri memilih duduk di ujung yang lain.

“Ada yang ingin Bima bicarakan dengan Mama,” kata Bima setelah mengambil napas panjang. Namun sepertinya udara malam itu tak berpihak padanya, dadanya tetap sesak.

Kening Dewi mengerut. “Ada apa? Tampaknya serius sekali.” Dia menoleh ke arah Nindya tapi Nindya seolah sibuk memandangi lantai. “Ada apa?”

Meski sedari siang Bima sudah menyiapkan kalimat apa yang akan dia sampaikan pada Dewi, namun di depan mertuanya langsung seperti ini, lidahnya menjadi kelu.

“Bim?” Dewi memegang lengan menantunya. “Ada apa?”

“Laras hamil, Ma.” Tiba-tiba terdengar suara Laras menyela dari belakang.

Dewi sontak membalikkan tubuhnya ke arah Laras. “Apa Ras?” tanyanya. Sepertinya telinganya sedang bermasalah.

“Laras hamil, Ma. Empat minggu. Bima, ayah anak dalam kandungan Laras.” Cepat, tanpa jeda Laras mengatakan apa yang tak bisa dikatakan Bima.

Meski dia benci menyakiti hati Mamanya, namun tak ada gunanya mengulur-ulur omongan. Semakin ditunda, akan semakin membingungkan untuk semuanya.

Mata Dewi membesar, otaknya yang sudah tua mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Dia bergantian memandang Laras, Bima dan juga Nindya yang berkaca-kaca.

“Bima menyesal, Ma,” kata Bima di depannya.

Kini, Dewi tak perlu bertanya apakah Laras hanya bercanda. Dewi mengentak tangan Bima yang memegang tangannya.

“Apa ini benar, Nin?” tanya Dewi pada Nindya. “Kau tahu?”

Nindya menghapus air matanya. Malam ini bukan tentang dirinya. “Nindya baru tahu kemarin, Ma.”

Tertegun sesaat, lalu air mata mulai terlihat di wajah Dewi. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.

Melihat Mamanya mulai menangis, Laras bergegas menghampiri dan memeluk kaki Mamanya.

“Ma... Laras tak akan membela diri, Laras salah. Maafkan Laras, Ma,” kata Laras dibalik tangisnya.

“Jelaskan pada Mama.” Dewi melihat tubuh Laras yang tersungkur di kakinya. Tak sabar, dia menoleh ke arah Bima. “Bima!” Meski wajahnya basah akan air mata, namun suaranya tetap tegas.

“Ini sebuah kekhilafan sesaat, Ma.” Bima mengubah posisi duduknya agar langsung berhadapan dengan Dewi. “Waktu acara di vila bulan lalu. Bima dan Laras... ah... Bima mabuk, Ma. Sungguh hanya sekali itu saja, Ma, dan kami sangat menyesal.”

Tangan Dewi mencengkeram sofa yang ia duduki. Matanya tertuju pada Laras. “Lalu kamu, Ras. Apa kamu juga mabuk sampai membiarkan semua ini terjadi?”

Tangis Laras semakin pecah. “Maaf, Ma. Laras yang salah. Laras yang masuk ke kamar Bima.”

Tanpa ia sadari, tangan Dewi sudah mendorong tubuh Laras hingga ia terjatuh ke belakang. Bima dan Nindya sama-sama terkejut namun hanya Bima yang mendekati Laras untuk menolongnya duduk kembali di sofa.

Hati Dewi seperti diikat lalu ditarik oleh tali dengan kencang. Diliriknya Nindya yang sedari tadi tak bersuara, sibuk meredam tangisnya. Melihat itu, Dewi semakin pedih.

“Ma... Laras sudah mencintai Bima sejak lama. Maafkan Laras, Ma, Nin.” Laras berhenti sebentar untuk membersihkan tenggorokannya. “Laras tahu ini bukan pembelaan, Laras salah.”

“Kamu...mencintai Bima, Ras? Mama tidak salah dengar? Bima itu kakak iparmu! Dimana akal sehatmu?” suara Dewi meninggi. Kembali lagi otak tuanya harus mencerna informasi yang mengejutkan. Inikah sebabnya Laras sampai saat ini tidak pernah mengenalkan laki-laki padanya?

Tak ingin membuat Laras menanggung semuanya, Bima membuka suara. “Bima juga menyesal, Ma. Tak ada keinginan Bima untuk menghianati kepercayaan Nindya dan Mama,” timpal Bima. “Bima hanya mencintai Nindya, Ma.”

Ruang keluarga yang biasanya cukup ramai dengan hadirnya keempat anggota keluarga itu menjadi hening cukup lama. Hanya ada suara isak tangis yang terdengar hingga Dewi kembali bersuara.

“Lalu setelah semuanya menjadi seperti ini, apa yang akan kalian lakukan?” suara Dewi terdengar serak dan basah.

“Laras akan melahirkan bayi ini, Ma. Laras menginginkannya,” jawab Laras.

“Bima akan bertanggung jawab secara finansial, Ma. Kalau diperlukan, Bima juga akan membantu mengasuhnya,” sambung Bima.

Dahi Dewi berkerut. “Sudah kau rundingkan dengan Nindya?” Dewi menoleh pada Nindya yang menatap tajam pada Bima. “Nin, ada yang ingin kau katakan?” tanya Dewi dengan nada suara yang lebih lunak pada putri sulungnya.

Nindya menatap Mamanya, air matanya sudah kering. “Nindya tidak ingin ikut campur urusan anak Laras, Ma. Biar Bima dan Laras yang memutuskan,” jawabnya.

Dari nada suara Nindya, Dewi tahu betul, anaknya tidak rela. Siapa yang rela mengasuh anak hasil perselingkuhan suaminya?

“Kalian benar-benar membuatku kecewa. Bima, kau sudah aku anggap anak laki-lakiku sendiri. Betapa Mama bangga Nindya memilihmu. Aku kira kau bisa menjaga kepercayaan kami.” Air mata Dewi turun lagi.

“Dan kamu Laras, teganya kau menghianati kakakmu, Mama. Tidakkah kau memikirkan kakakmu? Atau bahkan memikirkan dirimu sendiri?” Dewi menutup mulutnya menahan tangis.

Nindya menutup mata sambil mengatur nafas mendengar namanya disebut. Sejak kemarin dia sudah bertekad untuk lebih tenang demi Mamanya.

“Baiklah. Nasi sudah menjadi bubur,” lanjut Dewi lalu membersihkan tenggorokannya. “Laras! Kau harus bertanggung jawab terhadap anakmu.”

Pandangan Dewi beralih pada Bima. “Dan kamu, Bima. Kamu tidak perlu bertanggung jawab apa pun. Kalian bukan pasangan suami istri.”

Dewi terdiam sejenak, dia lalu memandang Laras kembali. “Anak dalam kandungan Laras adalah anak Laras. Hanya anak Laras.” Dewi memberi penekanan pada kalimat terakhirnya sebelum menambahkan. “Bima adalah Om-nya, tak lebih dari itu.”

Laras terperanjat mendengar Mamanya, dia memang tak mengharapkan Dewi akan bersimpati padanya, namun tidak seperti ini. Kenapa Mamanya selalu berat pada Nindya?

“Kamu dengar, Ras? Anak di luar pernikahan yang sah adalah anak ibu. Dan nama Bima tidak boleh disebut sebagai ayah anak itu, sampai kapan pun.” Dewi menatap tajam ke arah Laras.

“Tak akan aku biarkan kalian merusak ketentraman keluarga kita lebih dalam. Kau juga Bima,” Dewi menatap Bima kini “Kau adalah suami Nindya. Seharusnya kamu lebih menjaga perasaannya, jangan sampai kau melakukan kesalahan yang lain.”

Tiba-tiba Dewi menegakkan tubuhnya. “Ingat kata Mama tadi. Anak ini adalah anak Laras. Tak ada yang boleh tahu kalau Bima adalah ayahnya. Mama harap kalian tidak kembali berbuat kesalahan.”

Tak ada yang berani membantah, termasuk Laras. Dewi melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Tak ada yang merasa lapar malam itu. makanan buatan Suti sama sekali tak tersentuh.

“Aku ingin pulang,” kata Nindya setelah Dewi menghilang ke kamarnya. Tubuh Laras masih terdiam di sofa.

Bima mengangguk. Sudah jelas sekali keputusan yang harus mereka jalani. “Kami pulang, Ras.”

Baru dua langkah, Bima berhenti dan menoleh lagi pada Laras. “Meski Mama berkata demikian, tolong katakan padaku kalau kau butuh sesuatu untuk anakmu, Ras.” Tak menunggu jawaban Laras, Bima kembali melangkah menyusul istrinya.

= = = =

Nindya lebih dahulu masuk ke dalam rumah sementara Bima baru turun dari mobilnya. Tanpa menunggu suaminya, Nindya langsung masuk ke dalam kamarnya.

Bima yang melihat pintu kamar tertutup, mengetuk dari luar. “Nin... kita perlu bicara. Jangan diamkan aku terus menerus,” ibanya.

Bima mengetuk lagi dan lagi. Di mobil tadi, Bima pun tak berhasil membuat Nindya bicara apa-apa meski dia sudah mencoba bertanya.

Tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Nindya keluar sambil membawa koper besar.

“Mau ke mana kau, Nin?” tanya Bima.

“Aku tidak bisa seatap denganmu, Bim. Aku ingin menenangkan diri,” jawab Nindya.

“Ke mana? Aku tak mengganggumu lagi. Kau bisa menenangkan diri di rumah.” Bima memegang tangan istrinya.

“Tidak. Aku tidak bisa melihatmu saat ini, entah sampai kapan. Aku sudah meminta Risa mencarikanku apartemen untuk sementara waktu.”

Bima ingat Risa, dia adalah asisten Nindya di kantornya. “Di mana? Sampai kapan?” tanya Bima panik.

“Nanti Risa akan memberimu alamatnya. Bagaimanapun juga aku masih istrimu. Kau berhak tahu. Sampai kapan, aku belum bisa menjawabnya,” jawab Nindya sambil melangkah keluar.

Bima menghentikan langkah Nindya. “Nin... apa harus seperti ini? Aku sungguh menyesal.” Iba Bima kembali.

“Andai semudah itu, Bim.” Air mata Nindya menetes.

Tanpa memedulikan suaminya lagi, Nindya berjalan menuju mobilnya lalu memasukkan kopernya di kabin belakang.

“Izinkan aku mengantar,” pinta Bima lagi.

“Tidak perlu,” jawab Nindya singkat. Dia masuk ke dalam mobilnya lalu perlahan mengemudikannya keluar rumah.

Tanpa bisa berbuat banyak, Bima melihat mobil istrinya menjauh.

Ketakutan kembali menghinggapinya. Bagaimana kalau semua berakhir dengan perpisahan? Dia tak bisa membayangkan hidup tanpa Nindya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 20

    Ruangan steril bernuansa putih biru itu hanya mengeluarkan bunyi statis dari dua monitor organ vital yang masing-masing terhubung pada dua pasien pria. Saat Bima perlahan membuka matanya, dia mengenali pemandangan di sekelilingnya.Rumah sakit, pasti kamar ICU, pikirnya setelah melihat ada satu lagi pasien di sebelahnya. Temannya itu sepertinya belum sadar.Tenggorokannya terasa sangat kering. Pikirannya masih berkabut. Ingatannya terhenti pada saat dia mengerang kesakitan di kamar tamu. Dia ingat ada Nindya yang menangis dan menggenggam tangannya.Di manakah Nindya?Seorang perawat masuk lalu melakukan pemeriksaan singkat.“Sebutkan nama Bapak?” tanyanya sambil memegang senter untuk menerangi kedua pupilnya bergantian.“Dirgantara Bima,” jawabnya sambil menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya. “Di mana istri saya?”“Saya akan panggilkan dokter terlebih dahulu, ya Pak,” kata perawat itu lalu berlalu keluar.

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 19

    Nindya terbangun dari tidur malamnya ketika telinganya sayup-sayup mendengar raungan tertahan. Dibukanya kedua matanya. Ditajamkannya telinganya.Suara dari kamar sebelah. Bima!. Segera Nindya bangun lalu keluar dari kamar. Diketuknya pintu Bima namun tak ada jawaban sementara suara raungan itu semakin terdengar.Nindya membuka pintu dan pemandangan yang pertama dilihatnya adalah tubuh Bima meringkuk di lantai. Tangannya memegang perut, keringatnya bercucuran.Dengan cepat Nindya berjongkok dan memeriksa Bima. Tak ada luka, jelas rasa sakit ini dari dalam. Diambilnya ponsel dari kamarnya lalu dengan tangan bergetar diteleponnya ambulans.“Bim ....” Nindya terus menerus memegang tangan suaminya.Bi Ijah sudah dibangunkan, tapi tak ada apa pun yang bisa mereka lakukan selain menunggu ambulans datang.“Sakit, Nin ....” Hanya itu kalimat yang terus diulang-ulang Bima sambil memegang perutnya. Keringatnya tak berhenti, badannya dingin

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 18

    “Bim ....” Nindya mengerjap-ngerjapkan matanya. Nyenyak sekali tidurnya kali ini. “Kau baru pulang?” tanyanya melihat Bima masih memakai baju kerja.Bima mengangguk sambil tersenyum padahal kakinya sudah mati rasa karena berjongkok dari tadi. Melihat Nindya bangun lalu duduk di tempat tidur, Bima ikut berdiri. Dia ingin duduk di samping Nindya, melepas rindu, tapi Bima tahu Nindya akan melarangnya.“Gantilah pakaianmu dulu. Aku akan menunggu di sini.” Nindya tersenyum sambil suaminya yang mematung.Bima menganggukkan kepalanya. “Tunggu ...,” katanya, seakan takut Nindya akan menghilang saat dia kembali.Nindya memandang tubuh suaminya yang menghilang ke kamar mandi. Lalu, dia melangkahkan kakinya ke dapur. Sebuah cangkir diisi teh hangat. Entah kapan terakhir kali dia membuatkan minuman untuk Bima.Setelah masuk ke dalam kamarnya, Bima sudah duduk di tepi ranjang. Wajahnya lebih segar meski rambut-rambut halus di dagunya juga semakin terl

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 17

    Dua koper berukuran sedang kini sudah berada di ruang tamu. Hanya itu yang Nindya bawa dari rumahnya empat bulan lalu, pakaian dan beberapa barang pribadi lainnya.Saat tinggal di apartemen pun Nindya tak banyak membeli barang lain. Kini baru disadarinya, sejak awal, dia memang pergi untuk kembali.Nindya sudah meminta ijin libur hari ini. Dari pagi, sudah dikepaknya barang. Dikosongkannya meja kerja, dibuangnya isi dapur dan lemari es. Dia tak suka meninggalkan sampah. Siang ini, dia sudah siap untuk pulang.Nindya duduk di ruang tamu, dilihatnya dua koper yang nanti akan dibawanya kembali pulang. Matanya menerawang ke penjuru apartemennya. Dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan di sini yaitu waktu dan tempat untuk berpikir.Dia mengingat cerita Dewi kemarin. Dipanggilnya kembali memori tentang Papanya. Prasetyo selalu hangat padanya. Memeluknya, memamerkan dirinya pada rekan bisnisnya kadang.Dirinya masih terlalu kecil untuk memah

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 16

    Mobil Nindya berhenti di jalanan yang sudah dihafalnya dengan baik. Daun-daun kering yang beterbangan menyambutnya. Bi Ijah pasti belum sempat menyapu halaman.Dibukanya pintu pagar yang jarang dikunci jika siang. Dipandanginya rumahnya sesaat, tak banyak berbeda dari saat mereka membelinya dulu. Nindya bahkan hafal berapa langkah dari pagar menuju pintu utama.Diketuknya pintu. Ada bel di pagar namun sengaja tak dipencetnya, khawatir Bi Ijah sedang tidur siang. Diketuknya lagi pintu rumahnya sendiri.“Nduk...” sapa Bi Ijah setelah membuka pintu. Tubuhnya langsung memeluk Nindya.Dengan rasa bersalah dan rindu, dipeluknya kembali Bi Ijah yang sudah lama mengenalnya. Bi Ijah adalah pelayan Mama yang sejak dulu ditugaskan untuk menjaga Nindya. Nindya membawa Bi Ijah setelah dia dan Bima menikah.Saat Nindya memutuskan untuk pergi dari rumah, ia hanya pamit tanpa mengatakan alasannya pada Bi Ijah. “Bi... Maaf ya, Bi, Nindya tidak pernah menjenguk Bi Ijah.” Seharusnya disempatkannya walau

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 15

    Nindya mematikan api kompor lalu mulai menata makanan matang di atas piring saji. Dia jarang sekali memasak. Hanya sesekali saat Bima ingin makan sesuatu yang Bi Ijah tidak bisa lakukan.Malam ini Dewi akan datang ke apartemennya. Nindya ingin menjamu Mamanya. Sejak prahara rumah tangganya, acara makan malam keluarga sudah 3 kali tidak diadakan.Ditatanya makanan di meja makan sederhana. Tak semewah hidangan dari Bi Suti tapi Nindya merasa cukup bangga akan masakannya. Dia pun merindukan Dewi.Ingin Nindya pergi ke Mamanya untuk bercerita, atau sekadar agar dia tak merasa sendirian. Namun, dia tahu posisi Mamanya juga tidak mudah. Ada Laras di sana.Kenapa harus Laras, Bim? Pikir Nindya.Pukul setengah tujuh malam, pintu apartemen Nindya diketuk dari luar. Buru-buru dibukanya pintu tersebut. Wajah Dewi yang selalu memancarkan kesan damai muncul di baliknya.“Ma...” sambut Nindya sambil memeluk Dewi.“Nin.” Dewi memeluk putrinya kembali. Dahsyat sekali prahara keluarga ini hingga mampu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status