Share

Bab 6. Difitnah

Kicauan burung yang saling bersahutan menggema di kediaman Nyonya Risma. Dedaunan meliuk-liuk mengikuti hembusan angin, gumpalan awan hitam mulai membentuk garis-garis di atas sana. Keadaan tampak gelap meski hari baru menunjukkan pukul 06.00, pagi.

Nyonya Risma beranjak dari tempat tidurnya, langkahnya ringan menapaki lantai. Ia menuju dapur untuk mencari keberadaan pembantunya.

"Lasmi!" Nyonya Risma berdiri di ambang pintu dengan gaya angkuh menatap Bik Lasmi.

"Iya, Nyonya. Ada yang bisa dibantu?" tanya Bik Lasmi membungkuk rendah.

"Cepat keluar dan belikan kebutuhan yang ada di catatan ini!" Nyonya Risma dengan tidak berperasaan melempar secarik kertas yang berisi daftar belanjaan yang harus di beli oleh Bik Lasmi. Kemudian melempar beberapa lembar uang merah itu.

"Baik, Nyonya," lirih Bik Lasmi seraya memunguti lembar demi lembar uang yang berserahkan di lantai.

Melihat cuaca yang tidak mendukung tentu Bik Lasmi siaga membawa payung sekadar berjaga-jaga. Entah mengapa perasaan Bik Lasmi begitu tidak enak ketika keluar rumah, keadaan benar-benar hening. Bik Lasmi sempat heran lantaran tidak melihat Bahar yang biasa berjaga di pos satpam. Namun, pikiran buruk itu ia tepis dan segera berjalan ke supermarket yang jaraknya cukup jauh, bahkan Bik Lasmi harus menaiki ojek agar cepat sampai tujuan.

"Saatnya menjalankan misi berikutnya." Tersungging senyum misterius di bibir Nyonya Risma, jemarinya dengan lincah menekan setiap kata yang ada di layar ponselnya.

[Ibu-ibu, tolong bantu saya. Saya sudah tidak sanggup melihat perbuatan memalukan yang dilakukan oleh satpam dan anak tiri saya. Apa kurangnya saya sebagai ibu tiri, mengapa Aletta tega menorehkan kotoran ke wajah saya. Mungkin almarhum kedua orang tuanya ikut sedih menyaksikan perbuatan hina ini]

Begitulah tulisan pesan yang Nyonya Risma kirimkan di grup sosialita, yang tak lain adalah ibu-ibu komplek sekitar tempat tinggalnya. Sedetik kemudian sederet balasan memenuhi obrolan di grup tersebut. Sengaja Nyonya Risma tidak membalas lagi dan justru mengundang mereka untuk datang ke rumahnya. Suara gaduh diiringi gedoran gerbang yang cukup keras menandakan jika sudah banyak yang berdatangan karena penasaran oleh berita Nyonya Risma.

Bukan Nyonya Risma namanya jika tidak pandai bersandiwara, ia mulai mengacak-acak rambutnya dan mengeluarkan air mata singa. Dengan penampilan yang menyedihkan ia menganyunkan kakinya.

"Ehh, Jeng, benar kalau anak tirimu sering berbuat maksiat sama satpam kamu sendiri?" Sederet pertanyaan mulai menyambutnya ketika gerbang sudah terbuka. Ada sekitar delapan ibu-ibu yang mendatangi kediaman Nyonya Risma. Demi berita hangat pagi ini mereka sampai rela menunda rutinitas paginya.

Bukannya menjawab, Nyonya Risma justru semakin keras mengeluarkan tangis palsunya. Beberapa dari mereka mencoba menghibur Nyonya Risma.

"Mari saya tunjukkan ke semua! Supaya tidak menjadi fitnah," lirih Nyonya Risma masih mempertahankan air mata di pipinya yang mulai bergaris keriput.

Mereka yang penasaran lantas bergegas mengikuti langkah Nyonya Risma memasuki rumahnya. Umpatan dan makian keluar dari mulut mereka seiring derap kakinya melangkah mendekati kamar Aletta. Senyum penuh kemenangan tersungging sekilas di bibir Nyonya Risma, merasa jika rencanakan akan berhasil.

Brakk!!

Mereka yang tidak sabaran langsung mendobrak paksa pintu kamar Aletta. Alangkah terkejutnya mereka semua mendapati pemandangan hina di depannya. Salah satu dari mereka meminta temannya untuk memanggil Pak RT.

Bahar dan Aletta terbangun saat mendengar suara makian serta sumpah serapah yang begitu menggelegar di gendang telinganya. Bahar langsung melompat dari tempat tidur dalam keadaan bertelanjang dada. Kepalanya masih berdenyut sakit, ia juga tampak bingung dengan situasi yang ada. Bahar benar-benar tidak ingat apapun.

Sedangkan Aletta berusaha bangun, namun tenaganya sangat lemah. Semua sekujur tubuhnya terasa sakit terutama di bagian perut, wajahnya benar-benar pucat.

"Ma, ini ada apa?" tanya Aletta dengan suara pelan dan hampir tidak terdengar, karena sangking kerasnya ibu-ibu yang menghujaninya dengan kata-kata kasar.

"Saya benar-benar malu, dosa apa yang pernah saya perbuat dahulu hingga mendapat aib seperti ini." Tubuh Nyonya Risma luruh ke lantai dan meraung sedih. Seolah menjadi manusia yang tersakiti di dunia.

"Ayo kita seret para pendosa ini dan arak keliling komplek!" Para ibu-ibu itu mulai berbuat sesuka hati mengadili Aletta dan Bahar. Mereka sangat geram dengan perzinaan yang merusak lingkungan setempat. Mereka menganggap perzinaan adalah sebuah aib dan kesialan jika tidak disingkirkan dengan segera.

Tidak peduli jerit kesakitan dari bibir Aletta, mereka tetap menyeretnya keluar. Nyonya Risma menyaksikan dengan seringai jahat, ia bagitu puas melihat rencananya berhasil untuk menyingkirkan Aletta dari hidupnya.

"Berhenti!" Pak RT yang baru datang bersama warga yang lain berusaha meredam emosi ibu-ibu.

"Tolong jangan main hakim sendiri, alangkah baiknya jika kita mendengarkan keterangan dari mereka."

"Pak RT, jangan membela pendosa ini. Kita semua sudah melihat dengan jelas perbuatan hina mereka. Sebaiknya usir mereka dari sini dan jika perlu kita arak keliling komplek." Sorakkan para ibu-ibu semakin berkobar.

"Ini fitnah, saya tidak melakukan apapun." Berderai air mata, Aletta berusaha membela diri. Tetapi sayang, tidak ada yang mempercayai perkataannya. Mereka lebih percaya dengan bukti yang nyata. Kepergok dalam keadaan bertelanjang di atas ranjang yang sama sudah memperkuat dugaan mereka jika Aletta dan Bahar memang telah berzina.

Amarah ibu-ibu semakin berapi-api. Tidak perduli akan nasehat dari ketua RT. Mereka kembali menyeret tubuh Aletta dengan kasar. Lebih parahnya sampai ada yang tega menarik paksa rambut Aletta, yang terus memohon untuk di lepaskan.

"CEPAT PERGI!! DASAR WANITA HINA."

Aletta semakin terisak dengan keadaan tersungkur di bahu jalan. Para warga seperti tertutup hati nuraninya, mereka tak memperdulikan Aletta yang benar-benar merintih kesakitan mengharapkan belas kasih.

Bersamaan itu, suara naungan petir yang mengerikan menggelegar cukup kuat, diiringi isak tangis yang deras dari atas sana. Seakan alam pun ikut bersedih menyaksikan penderitaan Aletta.

Sembari menahan sakit yang teramat sangat, Aletta mencoba berdiri secara perlahan. Menyeret langkah kakinya tanpa arah dan tujuan. Tubuh Aletta yang masih lemah membuatnya terjatuh berulang kali. Warga seakan tak memberi Aletta untuk berteduh barang sejenak sekali pun, mereka tak segan melempari Aletta ketika melihatnya berhenti di depan rumah warga.

"Non Aletta!" Bik Lasmi begitu terkejut ketika tidak sengaja berpapasan dengan Aletta di persimpangan.

"Kenapa, Non Aletta, di luar seperti ini? Ayo kita pulang, Non!" Wanita paruh baya itu semakin bingung karena Aletta terus menangis.

"Aku difitnah, Bik," lirih Aletta, dan seketika berhambur ke pelukan Bik Lasmi.

Setelah dirasa lebih tenang. Bik Lasmi mengajak Aletta untuk mencarikan tempat tinggal sementara, beruntung Bik Lasmi masih memiliki sisa uang, meski tidak seberapa.

"Non Aletta, hati-hati, jaga diri dengan baik. Bibi cuma bisa membantu seadanya." Terlihat ketulusan di mata keabuan wanita paruh baya itu. "Ini makanan dan obat pereda nyeri untuk, Non Aletta." Bik Lasmi menyerahkan bungkusan yang di belinya saat singgah tadi.

"Terima kasih, Bik." Aletta menerima bungkusan tersebut dengan perasaan terharu.

"Sekarang tutup pintunya! Bibi mau pulang," pamit Bik Lasmi.

Aletta bergegas masuk ke dalam kontrakan sederhana berukuran 3×5 meter tersebut. Tetapi, baru saja Aletta ingin merebahkan tubuhnya di kasur lantai itu, tiba-tiba pintunya diketuk dari luar. Aletta mengurungkan niatnya dan membuka pintu itu, mengira jika Bik Lasmi datang kembali. Barang kali ada sesuatu yang tertinggal.

Namun yang Aletta dapati adalah seorang lelaki bertubuh tambun, kepala botak sedang menatapnya dengan penuh nafsu. Tubuh Aletta menegang hebat, pikiran buruk kembali ia rasakan. Rasa sakit bercampur ketakutan melandanya saat ini.

"Ma ... mau apa kamu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status