Suara gaduh di ruangan itu mendadak sunyi kala Ketua Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Wajah Shesa terlihat datar sedangkan Chandra masih dengan keangkuhannya. Tidak terlihat lagi Soraya dan ibunya mendampingi sang Ayah.
Pak Gunawan, Alvin dan Pandu duduk di deretan kursi terdepan. Jika diingat tadi, pengawalan yang diberikan Budiman pada Gunawan benar-benar ketat, tak sedikitpun ada celah bagi siapapun menyalip rombongan mobil mereka.
Setelah berdiri dan memberi hormat kepada Majelis Hakim dan mengikuti beberapa tahapan pengadilan mengulang berita acara sebelumnya. Maka tiba saatnya mendengarkan saksi kunci dari pihak korban.
Gunawan duduk di tengah-tengah ruang sidang itu, bidikan kamera semua mengarah padanya, kilatan lampu kamera menerpa wajahnya yang kian menua. Pandangannya mengarah pada Shesa, rasa bersalahnya luar biasa mengepul seakan ingin membuncah keluar.
"Silahkan saksi," ujar Ketua Majelis Hakim.
"Pertama-tama saya ingin mengu
Enjoy reading 😘
"Gimana, Dok?" tanya Alvin pada seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi kekasihnya itu."Asam lambung naik, pemicunya pikiran," ujar dokter itu. "Harus banyak istirahat, sebisa mungkin kalau belum bisa makan yang banyak usahakan untuk sering-sering mengemil. Dan, hindari pikiran yang terlalu berat."Shesa masih meringkuk di dalam selimutnya, Wulan yang sedari tadi menemani Shesa masih membelai rambut putrinya itu."Mama bikinin bubur, ya?" tanya Wulan.Shesa hanya menggeleng, lambungnya masih begitu perih untuk menerima makanan."Kamu harus isi perutmu supaya nggak kembali muntah lagi, Sha," kata Wulan. "Mama bikinin roti dulu, harus di makan, pelan-pelan aja." Kali ini Wulan beranjak dari duduknya, keluar dari kamar itu meninggalkan Anggi dan Shesa di sana."Minum teh hangatnya, Kak." Anggi menyodorkan satu cangkir teh pada Shesa."Makasih, Nggi."Alvin masuk ke kamar itu, wajah Shesa yabg terlihat
Suara tembakan dua kali itu terdengar hanya sekitar lima meter dari jarak Alvin, Shesa, keluarganya, serta tim kuasa hukum berada. Semua orang bergerak dan berlarian ke arah suara, termasuk Shesa dan Alvin. Betapa terkejutnya Shesa saat melihat sosok Chandra Adhiyaksa sudah berlumuran darah tergeletak tak berdaya di sisi mobil tahanan. Pandangan Shesa beralih pada seorang gadis berwajah manis terlihat pucat, masih dengan menggenggam erat pistol di tangannya. Seorang petugas mengamankan senjata serta gadis yang memandang kejadian itu dengan mata yang nanar, pandangnya kosong, tidak ada lagi yang dia harapkan dalam hidup. Sementara beberapa petugas memeriksa keadaan Chandra dengan luka tembak di dada dan tangannya. "Masih ada denyut," ucap salah satu petugas. Istri Chandra Adhiyaksa sudah terduduk lemas berlumur darah memeluk suaminya. "Minggir-minggir, kasih jalan." Kilatan lampu kamera serta banyaknya or
"Lo dimana?" tanya Shesa pada seorang wanita di seberang sana. "Sebentar lagi gue sampe, tunggu ya," jawab Nina sahabat Shesa yang sudah hampir setengah tahun ini berada di Belanda karena Andre mendapatkan promosi meneruskan S2 nya di sana. "Sha ...," seru Nina melambaikan satu tangannya sementara satu tangan lagi menggandeng tangan mungil Keanu. "Nina ... ya ampun, kangen banget gue," ucap Shesa menautkan kedua pipinya pada Nina. "Keanu udah gede, kiss Tante dong," ujar Shesa mencubiti pipi gembil Keanu. "Kapan sampe?" tanya Shesa kembali duduk di kursi restoran tempat mereka bertemu siang ini. "Udah dia hari lalu, cuma mau hubungin lo, lo lagi sibuk sama sidang," ujar Nina. "Iya, Nin ... menyita waktu dan menguras pikiran," sahut Shesa "Tapi yang penting sekarang sudah selesai, ya. Lo udah tenang dan aman sekarang, Sha. Keluarga lo udah balik lagi kayak dulu, meski bokap harus menjalani hukumannya." "Iya, setela
Kita tidak pernah tahu kehidupan apa yang akan kita jalani, masalah apa yang akan kita hadapi, serta bagaimana caranya kita bisa melalui semua itu. Shesa melaluinya dengan kesendirian hingga akhirnya Alvin datang bagaikan malaikat tanpa sayap di dalam kehidupannya. Menerima seutuhnya kelebihan bahkan kekurangan Shesa, begitu pun Shesa menerima semua masa lalu Alvin. Dan, disinilah mereka di sebuah taman yang di dekorasi begitu cantiknya ... Alvin berdiri tegak, lelaki dengan postur tubuh ideal itu menggunakan jas berwarna hitam, dia terlihat gagah menanti kedatangan kekasihnya. Dia berdiri tepat di ujung karpet di sepanjang hamparan bunga berwarna putih, jalan yang akan mengantarkan Shesa kepadanya. Menantikan wanita itu berjalan anggun menuju padanya. Shesa begitu cantik dengan balutan gaun sederhana berwarna putih, helaian rambut yang terjuntai di tiup angin itu seakan melambai-lambai. Shesa tersenyum, kala matanya tertuju pada lelaki yang dia cintai
"Jadi Mama besok udah mau pulang ke Tasikmalaya?" tanya Shesa saat makan pagi di rumahnya. Satu minggu semenjak pernikahannya dengan Alvin, Wulan memang pernah mengatakan pada Shesa akan pulang menengok usaha restorannya di Tasikmalaya. "Sebentar aja paling satu minggu, setelahnya Mama kesini lagi ... usaha itu kan sudah Mama percayakan juga ke saudara almarhum ayah tiri kamu, biar mereka saja yang menjalankan Mama tinggal memantau, Mama juga sudah capek, Sha ... sudah waktunya Mama istirahat, nimang cucu," ujar Wulan penuh harap. "Doain, Ma ... semoga secepatnya kita bisa kasih cucu ke Mama," jawab Alvin menggenggam erat tangan Shesa. "Aku mau coba ke dokter, Vin. Boleh? mau tau aja apa aku sehat, siap nggak rahimnya, boleh ya?" "Boleh aja, kapan? besok ya, kalo hari ini kan aku ada meeting," ujar Alvin, Shesa pun mengangguk. "Kamu masih mau terus kerja, Sha?" tanya Wulan. "Shesa kayaknya mau buka butik aja, Ma ... kan kalo da
Bel berbunyi beberapa kali di apartemen Anggi, gadis itu masih mengenakan bathrobe dan handuk yang tergulung membalut rambutnya. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi, hari ini gadis itu harus mengikuti dua mata kuliah di kampusnya. "Siapa, sih? perasaan nggak ada janji temu dengan orang," gumamnya lalu melihat dari lubang kecil yang ada di daun pintu apartemennya. "Hah? Mas Pandu?" "Mas Pandu," pekik Anggi saat membuka pintu dan memeluk kekasihnya itu. Dua minggu menahan rindu bukanlah hal gampang untuk Anggi dan Pandu setelah terakhir mereka bertemu di Indonesia. "Kak Shesa bilang mereka lusa baru kesini, kok kamu kesini duluan?" tanya Anggi yang belum melepaskan pelukannya. "Nggi, aku nggak di suruh masuk dulu nih? Aku capek loh? Dua jam lebih di atas plus delay, belum sarapan, lapar." Pandu merengek dengan wajah mengiba. "Kasian banget pacar aku ini, ayo masuk ... kamu bawain aku apa?" tanya Anggi. "Tanyain kabar dulu, mala
"Sayang, kamu selalu deh lama ... Mama udah nungguin di bawah," ujar Shesa pada Alvin yang baru saja mengancingkan baju kemejanya. Alvin hanya tersenyum, dia tahu betul jika istrinya itu selalu marah jika menunggunya terlalu lama. "Pesawat jam berapa sih?" "Jam 11," jawab Shesa membantu suaminya mengancingkan kancing kemejanya. "Jam 11? Ini baru jam 8, Sayang," ujar Alvin mencolek ujung hidung Shesa. "Ya setidaknya kita udah siap," gerutu Shesa. "Jangan manyun gitu bibirnya," kata Alvin mengangkat dagu istrinya itu lalu menautkan bibir mereka. Ciuman menghanyutkan pagi itu akan lebih lama lagi jika Shesa tidak ingat sang Mama sudah menunggu mereka di teras rumah. "Udah?" tanya Alvin tersenyum kala melihat Shesa terhanyut dengan ciuman yang dia berikan. "Udah," jawab Shesa tersenyum. Pukul dua siang, Shesa, Alvin dan Wulan sudah berada di Singapura. Pandu dan Anggi sudah menunggu mereka di sana. Kening Al
Pandu duduk si sofa ruang tengah apartemen Anggi, dia menunggu Anggi dan Wulan pulang dari swalayan siang itu. Tiga hari sudah lelaki itu berada di Singapura, berbagai macam ide bersemayam di benaknya jika dia pulang nanti ke Indonesia. Mulai dari menemui kedua orang tuanya hingga acara lamaran resmi yang akan dia lakukan di Pulau Bali nanti. Tiga kali bel berbunyi, namun lamunan Pandu sepertinya masih merajai benaknya. Hingga ketukan di pintu bertubi-tubi menyadarkan lelaki itu akan lamunannya. "Mas, kemana aja?" tanya Anggi saat Pandu membuka pintu apartemen itu. "Lagi di kamar mandi, sini aku bawain ... Pandu bantu, Tante," ujar Pandu meraih paper bag berisi sayuran, roti dan barang belanjaan lainnya. "Malam ini, kita makan malam di rumah aja ya, Tabte masakin kalian masakan spesial, nanti Anggi telpon Kak Shesa suruh mereka kesini," ujar Wulan. Pukul tujuh malam, Shesa dan Alvin sudah berada di apartemen Anggi. Hidangan yang di buat oleh W