Share

Bab 1-Kutukan Itu

Surabaya, Maret  tahun 1995.

Wati tampak berjalan keluar dari kontrakan sebelum senja tiba. Suasana di luar begitu rapuh karena gerimis yang mengguyur kota itu sejak pukul tiga sore. Entah apa yang salah dengan salah satu kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus terpanas itu. Hanya saja, Wati harus cepat. Dia telah berjanji untuk berjumpa dengan teman sesama pekerja panti pijat bernama, May. 

Perempuan itu tampak menggenggam secarik alamat di tangannya. Secebis kertas sigaret berwarna coklat mudah itu telah lusuh terkena keringat. Harusnya dia cukup menghafalkan lantas menyimpan kertas itu di dalam dompet warna coklat bergambar kalung gelang yang merupakan hadiah dari sebuah toko mas. 

"Sudah sampai, Mbak!" ujar sopir angguna. Angkutan umum berwarna kuning terang bernama, Angguna, kependekan dari Angkutan Serba Guna itu sedikit mengejutkan Wati. 

"Oh, ya." Wati menyerahkan uang tiga ratus rupiah kepada sopir itu. 

Dia berhenti di sebuah perkampungan pinggir kota. Wati harus mencari rumah di kawasan perkampungan di Jalan Kalianak. Perempuan itu cepat-cepat berteduh di bawah gapura masuk yang memiliki atap. Padahal tadi terang benderang. Wati mengusap sisa air yang membasahi tangannya. Sedikit menggigil bukan saja karena hujan dan tiupan angin sore yang lumayan keras, tetapi sesuatu yang ngeri telah terjadi di tempat ini. Apa yang dia tahu, daerah ini baru saja masuk koran. 

Sebuah rumah yang diduga sebagai tempat aborsi digerebek Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Krembangan Surabaya. Dalam penggerebekan itu polisi menangkap seorang dukun. Polisi menyita barang bukti ramuan minyak untuk memijat dan dua lembar kain jarik. Ada seorang pasien melakukan aborsi dan mati di dalam kamar sang dukun. 

Kawasan ini memang terkenal dengan hawa mistis. Mungkin karena masuk kawasan 'orang pintar'. 

Wati melempar pandangan ke arah jalan masuk yang terlihat lengang. Ada suara anjing kampung yang semakin membuatnya bergidik. Bukan seperti suara anjing biasa, tetapi lebih mirip lolongan serigala. 

"Ah, kan, baru setengah enam," gerutunya. 

Wati akhirnya menyusuri jalan yang lebih kecil itu. Sayangnya jalan itu tidak dilewati trayek angguna jadi suasananya lumayan mencekam. Sekitar lima belas menit, dia pun tiba di sebuah rumah besar yang terlihat tua di tengah perkampungan ketika hari telah hampir padam. Penjaga pintu kemudian membawanya ke sebuah beranda di mana Mey sudah ada di sana.

"May," panggilnya. 

"Koen sudah datang rupanya. Cepat kesini. Lungguh!"

"Kenapa menyuruhku datang saat Magrib?" Wati langsung duduk di samping May.

"Bukan aku yang menyuruhmu, tapi Mbah Trunojoyo." May atau Maesaroh kembali duduk seperti sinden dengan kaki menekuk ke belakang. "Koen bawa apa yang diminta? Segala tetek bengek e?"

"Ya." 

Wati membawa barang-barang yang dibutuhkan. Sepotong mori seukuran sapu tangan, kuku, rambut, dan sedikit darah. Dia mencubit jari anaknya dengan pemotongan kuku saat memotong kuku dan cepat-cepat mengusapnya dengan kain mori. 

"Sampai kapan kita akan duduk seperti ini?"

"Koen tahu apa artinya ngalap berkah. Ya, lama prosesnya. Lungguh yang benar," herdik May. "Lagi pula awak e dewe nanti akan ndek Malang."

"Jadi bukan di sini?"

"Bukan, oon! Nanti kita ke Gunung Kawi di Malang. Kon ndak pamit sama, El?"

Wati sedikit mendecih. Dia tidak tahu, untuk itulah dia bertanya. Kedatangannya ke tempat yang membuat bergidik ini karena menurut perempuan yang kalau berbicara seperti itu orang marah-marah itu pria bernama Mbah Trunojoyo terkenal dengan ilmunya yang linuwih. Menurut May, laki-laki itu bisa mengusir makhluk halus yang menyatu dalam jiwa putinya. 

Dia ke tempat ini untuk mencari obat. Obat untuk Maziyah.

Mungkin putrinya dititipi pusaka oleh jin khodam. Jin peliharaan keluarga Singgih.Tidak pasti bentuk pusakanya. Bisa saja berbentuk cincin, keris, tombak, kalung, dan semua benda itu tidak sembarang orang mampu melihatnya. 

Dahulu Wati tidak percaya semua hal ghaib itu. Mana mungkin ada sebilah keris dalam tubuh anaknya. Dia terkadang lupa, anak siapa Maziyah itu. 

Sampai beberapa kejadian aneh muncul, dan puncaknya beberapa hari yang lalu, saat Wati telat membayar uang kontrakan, sang induk semang mengumpatnya dengan kata-kata kasar. Kenapa dia yang sudah jualan apem masih saja kekurangan duit untuk melunasi kontrakan. 

Jualan apem? 

Dia tidak semurah itu. Wati jual jasa pijat refleksi. Jika, dia mau, Singgih bahkan memintanya untuk tinggal. Sialan sekali, si ibu kost yang membuatnya mengingat Maulana. 

Wati menghela napas panjang. Memang nasibnya harus seperti ini. 

Dia anak sulung, jadi Wati harus berbagi dengan keluarganya. Biaya berobat bapaknya yang lagi-lagi didera sakit. 

Pernah Wati bercerita panjang lebar soal kesusahannya. Dia anggap, anaknya sudah cukup umur. Jadi, berkeluh-kesah lah perempuan 32 tahun itu. "Apa ibumu ini jual diri saja, ya, Nok?"

"Jual diri? Seperti perempuan di Gang Doli?" Elok menggelengkan kepala kuat-kuat. Gang Dolly yang terkenal sebagai tempat lokalisasi pelacuran. "Siapa yang membuat Aang berpikir seperti itu? Ibu kost?"

Wati enggan menjawab. Bisa runyam masalahnya. Maziyah itu seorang anak yang sensitif. Sensitif dan peka sekali. 

"Tidur, Zi, sudah malam."

"Kapan aku sekolah, Ang?"

"Nanti. Tahun ajaran baru," jawab Wati sedikit tidak yakin. "Tidurlah!" 

Mereka tidur di sebuah kontrakan yang lumayan layak. Kamar yang langsung berhampiran pintu. Ada jendela juga di bagian depan berhampiran pintu. Dapur bergandengan dengan kamar mandi. 

"Ang! Aku boleh main, ya?"

Dalam keadaan penat luar biasa dan mata yang sudah terpejam, Aang hanya mengangguk. Dia tidak sadar arti 'main' yang diucapkan putrinya. Sampai seminggu kemudian ketika terdengar pengumuman di langgar dekat kontrakan. 

Pengumuman yang berisi berita lelayu bahwa suami induk semang kosan di lorong tempat mereka tinggal meninggal dunia. Hal paling menyedihkan, pria awal lima puluhan itu meninggal di lokalisasi. 

Anunya tidak bisa dicabut. Mati bersama ciblek penjaja cinta di Gang Doli. Itulah yang ia dengar. 

Wati bergetar seluruh tubuhnya demi mendengar cerita itu. Apalagi saat melihat Maziyah tersenyum simpul. Senyum iblis keturunan Maulana. 

"Kamu yang melakukannya?" Mata Wati mendelik. "Jawab, Ibuk!"

"Aduh! Aang, sakit!" Maziyah berusaha melepaskan cekalan tangan ibunya. Sebenarnya tidak terlalu keras gerakannya saat mengibaskan tangan, tetapi membuat tubuh Wati terpelanting ke belakang menabrak tembok dekat dapur yang hanya ditutup gorden bercorak burung bangau. 

"Apa yang kamu lakukan?"

"Aku nggak sengaja, Ang," lirih gadis kecilnya menunduk. Gadis itu meluru pada tubuh Wati yang terjengkang dan kepalanya membentur pinggiran meja kecil tempat kompor sumbu di dapur. 

"Aku nggak apa-apa. Maksudku, apa yang kamu lakukan sama Pak Kost!?"

"Ta—tapi, dahi Aang berdarah."

"Maziyah Agustin! Apa yang telah kamu buat?"

"Zi, hanya berniat menolong ibu kost. Kalau pak kost tidak mati dia akan menyiksa ibu kost di masa depan."

"Apa maksudmu?" Wati melotot garang. Dengan ujung dasternya, dia menyeka darah yang mengucur di dahi. 

Yah, dia memang pernah menyumpahi induk semangnya soal susahnya jadi janda. Namun, ketika melihat bagaimana perempuan itu meraung menangisi kepergian suaminya—yang terbukti cabul, serong dan tukang selingkuh. Itu sungguh sangat memilukan.

"Ciblek itu punya penyakit, Ang. Dia menularkan pada suaminya ibu kos. Ya, seperti itu, sih. Kalau sampai pak kos pulang ...."

"Apa?"

"Ibu kos bisa ketularan penyakit kelamin, dong."

"Jadi—memang kamu pelakunya? Ya Allah. Demitnya Mau ...!"

"Demitnya siapa, Ang?"

"Bukan siapa-siapa!"

"Mau ...!" Wati langsung membekap bibir Maziyah putrinya. 

"Tanganmu!" jerit seseorang yang ternyata May. "Koen, ngopo, ta? Histeris!"

"Aku ingat bapaknya, Zi."

Sampai detik ini pria itu tetap menerornya. Lewat mimpi juga orang suruhannya. Maziyah memang tidak bisa dijadikan tumbal lagi, tetapi lebih dari sebuah kutukan karena kelakuan pelik bocah itu begitu mengerikan. Wati semakin takut dengan kemampuan putrinya. 

Lima atau enam tahun silam adalah pertemuan pertamanya dengan Singgih. Yah, setelah pelarian panjangnya dia berjumpa dengan suaminya itu di sebuah klub malam di tepian Pantai Anyer, Banten. 

Apakah benar dia masih istri Singgih?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status