Share

Bab 3

Perlahan, Maura membuka matanya. Pemandangan yang dia lihat saat pertama kali membuka mata, adalah sebuah atap berwarna putih, dan juga lampu yang menyala terang. Maura lantas memegangi keningnya yang masih saja terasa berat. Pandangan Maura menelusuri setiap sudut ruangan, tidak ada siapa-siapa disini. Hanya ada dirinya yang terbaring lemas di brankar.

Tunggu, apa Maura saat ini, sedang berada di klinik kantornya?

Ceklek

Suara pintu terbuka itu, mengalihkan pandangan Maura. Dan ternyata itu adalah Salwa. Salwa tersenyum, kala melihat Maura sudah sadar dari pingsannya. Gadis itu, lantas berlari dengan girang menuju kearah Maura.

“Bagaimana keadanmu, Mau? “ tanya Salwa dengan nada khawatir.

“Aku tidak apa-apa, Salwa.”

“Maura, maaf ya. Sudah meninggalkanmu sendirian. Mungkin jika aku tetap bersamamu tadi, kamu tidak akan jadi seperti ini.”

Salwa, mengatakan hal tersebut dengan nada yang penuh dengan penyesalan. Dia terkejut, saat dijalan hendak menuju kembali e kantin tadi untuk menyusul Maura. Dia berpapasan dengan salah satu mahasiswa laki-laki yang menggendong tubuh Maura, yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri, ditemukan terkunci di dalam gudang. Pantas saja, daritadi Salwa menghubungi Maura, tidak ada jawaban dari gadis itu. Rupanya, tas dan ponsel Maura tertinggal di kantin.

Maura tersenyum kearah Salwa, gadis itu mengelus pelan punggung tangan Salwa. Mengisyaratkan, bahwa dia baik-baik saja.

“Ini bukan salahmu, Salwa. Lagi pula aku sudah membaik sekarang, “ ujar Maura.

“Katakan padaku, siapa yang melakukan semua ini, Mau?”

“Sudahlah, tidak perlu dibahas. Yang terpenting aku baik-baik saja.”

“Aku temanmu, Maura. Aku merasa gagal menjadi temanmu, jika tidak bisa melindungi kamu.”

Maura menghembuskan nafasnya pelan, dia tidak ingin Salwa terlibat dalam masalahnya ini. Maura bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Bukan karna Maura tidak percaya atau bahkan tidak menganggap Salwa itu temannya, tetapi Maura tidak mau Salwa terlibat masalah dengan orang seperti Sarah. Manusia jelmaan iblis.

“Apa ada hubungannya dengan, Pak Jevan?”

Mendengar itu, Maura lantas menoleh sekilas kearah Salwa. Sebelum kemudian kembali mengalihkan pandangannya.

“Nanti akan aku ceritakan, “ ujar Maura.

“Janji?”

“Iya, Salwa.”

“Yasudah kamu lanjut istirahat, Maura.”

“Apa aku tidak boleh pulang sekarang?”

“Tunggu keadaanmu sedikit membaik, kamu masih terlihat pucat.”

“Baiklah.”

Maura berjalan, menuju ke halte bus depan. Daritadi dia memesan taxi online, namun belum juga mendapatkan driver. Jadi dengan terpaksa, dia harus naik angkutan umum saja untuk pulang. Badan Maura masih terasa sangat lemas sekarang, energinya belum sepenuhnya kembali. Namun, apa boleh buat. Maura ingin segera beristirahat di kamarnya. Agar lebih leluasa.

Tadi Salwa pulang dulu, karna ada urusan mendadak. Dan berpesan kepada Maura, untuk jangan pulang sendiri sebelum Salwa datang menjemputnya. Karena Maura sudah tidak tahan berada di klinik, jadi dia mengatakan akan pulang naik taxi online kepada Salwa. Walaupun, kenyatannya berbeda.

“Huft, memesan taxi, ditolak terus. Menunggu bus juga, tidak datang-datang.”

Maura sempat berpikir, apa dia jalan kaki saja terlebih dulu. Mungkin nanti ketika di jalan dia menemukan taxi atau mungkin angkutan umum lainnya?

Tetapi, jika dipikir-pikir lagi. Dia bisa pingsan untuk yang kedua kalinya.

Tiba-tiba saja, di depan halte bus. Tepat di depan Maura duduk. Berhenti sebuah mobil, Porsche 719 berwarna putih. Awalnya Maura melirik sekilas kearah mobil tersebut. Maura seperti tidak asing dengan mobil di depannya ini. Tapi, sepertinya itu hanya perasaan Maura saja. Gadis itu kemudian, kembali fokus dengan ponselnya.

“Maura.”

Maura terkejut, saat ada seseorang yang memanggilnya. Dan saat Maura mendongakkan wajahnya untuk melihat siapa orang tersebut. Maura dibuat lebih terkejut lagi, saat melihat Rion. Sang pengawal pribadinya, berdiri di hadapan Maura saat ini.

“Rion, Kenapa kamu disini?” Ujar Maura dengan nada terkejutnya.

“Ayo, aku antar pulang.”

“Tidak, aku tidak mau.” Maura mengatakan hal tersebut, sambil melipat kedua tangannya ke depan dada. Dan mengalihkan pandangannya kearah samping. Dia kesal, kenapa Rion menguntitnya. Apa ini suruhan papa Maura?

“Maura!” ujar Rion, dengan nada tegas memberi peringatan.

“Aku tidak mau, Rion, ” kata Maura, sambil memberikan tatapan nyalang kepada Rion.

“Kamu kenapa sih, menguntitku? Sudah aku bilang, aku bisa sendiri. Aku bisa menjaga diriku sendiri!”

“Bisa menjaga diri katamu? Kamu, dirudung oleh seniormu itu. Dan dikunci di gudang sampai pingsan. Apa itu dinamakan bisa menjaga diri?”

Maura, gadis itu terkejut saat Rion tahu kejadian yang dia alami barusan. Berarti, Rion memang sudah memata-matainya dari awal?

Dugaan Maura memang benar, selama ini Rion selalu mengawasi Maura. Namun, jika di ligkungan kantornya. Rion memerintahkan seseorang untuk mengawasi gadis ini. Dan saat mendapat kabar, Maura pingsan. Rion langsung buru-buru untuk melihat keadaan Maura secara langsung. Dia khawatir, sesuatu yang buruk terjadi pada Maura.

“Rion, berhenti mengawasiku! Aku bukan anak kecil!”

“Sudah kuawasi saja, keadaanmu jadi kacau, Maura. Apalagi kubiarkan.”

“Aku tidak peduli! Sekarang, lebih baik kamu pulang! Katakan pada Papa, aku baik-baik saja.”

“Oke, baiklah. Aku akan melaporkan kejadian di kantin tadi kepada papamu, “ ujar Rion santai, Maura yang mendengar ancaman dari Rion. Justru semakin kesal dengan laki-laki itu.

“Rion! Kamu jangan mengancamku ya!”

“Ada dua pilihan, kamu masuk ke dalam mobil, dan aku akan jaga rahasia ini rapat-rapat dari papamu. Atau, kamu tidak perlu repot-repot untuk ikut aku masuk ke dalam mobil tetapi, papamu akan tahu kejadian barusan. Dan dengan sangat amat terpaksa, kamu harus tinggal lagi di rumah. Jadi, tentukan pilihanmu.”

Maura, mengepalkan kedua tangannya dengan keras. Rion ini, benar-benar membuatnya emosi. Bisa-bisanya dia mengancam Maura. Tapi, Maura sangat yakin. Rion tidak akan bermain-main dengan kata-katanya barusan.

“Oke, Rion. Aku ikut denganmu,” jawab Maura pasrah.

Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya. Dengan berat hati, Maura harus mau ikut Rion. Daripada dia dilaporkan, membayangkan kemarahan papanya. Saat tahu apa yang terjadi kepada Maura. Sungguh sangat mengerikan.

Rion jalan terlebih dulu, bergerak membukakan pintu mobil untuk Maura. Sedangkan gadis itu, hanya memutar bola matanya malas. Gadis biasa mana, yang naik mobil mewah. Kemudian dibukakan pintu oleh supirnya? Yang benar saja, Rion ini.

“Dasar berlebihan! Aku bisa buka pintu sendiri, Rion!”

“Sudah, jangan banyak protes. Cepat masuk!”

Maura langsung saja masuk ke dalam mobil. Setelah itu, Rion menutup pintu. Dan berjalan menuju ke pintu kemudi. Tak lama setelahnya, mobil menyala. Dan melaju, meninggalkan halte bus itu.

Dilain sisi, sedari tadi. Sarah dan juga teman-temannya. Menyaksikan gerak-gerik Maura barusan, di dalam mobil yang terparkir, sekitar 1 meter di belakang mobil Rion. Sarah memandang kepergian Maura, dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan. Wajahnya menggambarkan aura kebencian yang teramat dalam.

“Dasar belagu! Apa maksudnya, dijemput dengan mobil mewah seperti itu? Meminta dibukakan pintu pula, mau pamer?”

Sarah berkata, masih dengan tatapan marahnya. Sombong sekali gadis itu. Pikir Sarah.

“Dia itu hanya perempuan miskin! Tetapi gayanya selangit! Dia pikir dia siapa?”

“Sepertinya, kamu harus memberikan dia pelajaran lagi, Sarah,” ucap salah satu teman Sarah. Yang bernama Vika itu.

“Oh, pastinya. Liat saja nanti, apa yang akan aku perbuat padamu, Maura!”

Setelah mengatakan hal tersebut, Sarah langsung melajukan mobilnya dengan kencang. Meninggalkan area tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status