"Saya baru saja melihat riwayat lokasi yang kamu kunjungi. Sudah satu jam yang lalu kamu tiba di perusahaan, tapi kenapa kamu tidak kunjung kembali ke ruangan saya?"
Sudah Tari duga. Satu langkah masuk ruangan saja omelan sang Bos langsung meledak. Tari memaki, yang tentunya hanya dalam hati. "Tadi ada karyawan yang mengajak saya mengobrol, Tuan." Alibi Tari. Mata Baskara tidak lepas dari komputer di mejanya. Wajahnya terasa semakin mencekam begitu mendengar jawaban Tari. "Di mana?" "Di lobi." Baskara tertawa garing. Tari akui dia salah. Sejak tadi ponselnya dipegang oleh Raka. Yang mana Raka sendiri langsung kembali ke ruangannya begitu tiba di kantor. Beberapa menit lalu Tari memang sempat masuk ruangan Raka dan meminta ponselnya kembali. Sialnya Tari tidak sempat membuat alasan yang cukup logis supaya bosnya itu tidak curiga kenapa Tari bisa ada di ruangan Raka. "Saya yakin GPS yang saya pasang sangat akurat. Kenapa kamu ke ruangannya Raka?" Benar saja! Baskara bertanya tanpa basa-basi apa pun. "Pak Raka minta bantuan saya menyortir beberapa dokumen terkait proyek ini, Tuan," jawab Tari sambil menunduk. Dia menyerahkan setumpuk dokumen dan satu flashdisk berisi rekaman perkembangan proyek yang tadi Tari datangi. Baskara menerimanya mentah-mentah. Sesaat dia mengecek isi dari beberapa dokumen itu dan mengangguk tipis. Pria itu menyisir ekspresi wajah Tari sekali lagi. Jika Tari tidak berbohong soal Raka, itu artinya Tari memang cukup lama mendiskusikan proyek ini di ruangan Raka. Tari kembali ke kursi kecil miliknya yang bersebelahan langsung dengan kursi Baskara. Sesaat dia menghela napas. Agaknya Baskara sudah tidak curiga lagi padanya. Kini Pria itu kembali fokus dengan pekerjaannya. Cukup lama bergelut dengan pekerjaan masing-masing, sejenak Tari menoleh ke arah sang Bos. Dia kembali teringat dengan ide gila Mona di kafe. Baskara adalah pria keras kepala, kejam, dan semaunya sendiri. Satu-satunya cara supaya pria itu bisa takluk pada Tari adalah dengan cara mengetahui kelemahannya. "Saya bosan! Kita pulang sekarang juga!" Di tengah lamunan Tari, tiba-tiba Baskara bersuara. Wanita itu sedikit terkejut, tetapi langsung paham langkah apa yang harus dia lakukan setelahnya. Tari langsung bangkit dari duduknya dan ikut membantu Baskara membereskan semua pekerjaan yang ada di atas meja. 'Apa kelemahan seorang Baskara?' Pertanyaan itu terus terpikir. Sekalipun sudah dua tahun bekerja dengan pria itu, Tari sama sekali tidak tahu latar belakangnya. Dia tidak mengenal keluarganya. Dia tidak paham kebiasaan kecilnya. Dia tidak tahu siapa saja teman baik Baskara. Selama ini Baskara amat sangat tertutup dan dingin. 'Apa yang begitu berharga bagi Baskara hingga membuat pria itu tidak bisa hidup tanpanya?' *** "Buatkan saya makan malam! Saya mau nasi goreng." Begitu tiba di rumah besar nan megah itu, Tari langsung digiring menuju dapur. Kini Baskara duduk di meja makan, membiarkan Tari berdiri menghadapnya sambil menggigit bibir. Ini kali kedua Tari memasuki rumah ini. Kali pertama yang dia maksud adalah kemarin. Ya, setelah kemarin dimaki, ditampar, ditendang, dan direndahkan dengan segala cara oleh Baskara di kantor, pria itu langsung menyeretnya ke rumah. Pria itu kembali melayangkan pukulan demi pukulan kasar padanya hingga ... Tari tidak berdaya di bawah nafsu Baskara yang kian larut kian memuncak kadarnya. "Saya ... tidak bisa memasak," jawab Tari ragu. Tari tidak berbohong. Selain menyeduh minuman, meracik mie instan, dan merebus air, Tari sama sekali tidak pernah bergelut di dapur. "Saya tidak berharap kata-kata itu keluar dari mulutmu!" Baskara berdecak. Dia beranjak dari kursinya dan segera melangkah ke meja dapur. Kemeja linen biru dongker itu dia singkap hingga sebatas siku. Lalu dia menyugar rambut yang semula sedikit menghalangi pandangannya. "Kalau begitu cuci semua piring itu! Saya yang akan memasak untuk makan kita malam ini!" Tanpa basa-basi lagi, Baskara langsung menyiapkan seluruh peralatan masak yang ada. Pada jarak sedekat ini Tari seketika mematung. Harus dia akui bahwa tubuh Baskara sangat-sangat kekar. Tulang-tulang punggungnya menonjol di balik kemeja yang dia kenakan. Postur tubuhnya yang sangat atletis. Terlebih lagi lengan kemeja yang baru saja dia lipat sebatas siku itu memperlihatkan tonjolan urat yang begitu menggoda. Kini Tari paham mengapa Mona sangat ingin mencicipi tubuh Baskara. Oh, tidak! Agaknya Tari sudah tidak waras. Dia harus ingat bahwa tubuh itu juga yang semalam menggagahinya hingga Tari nyaris mati tersiksa. Tari berjalan ke arah wastafel. Dia segera melaksanakan perintah yang beberapa waktu lalu dikatakan Baskara. Harus Tari akui bahwa selain pintar bermain di atas ranjang, pria itu juga ahli urusan dapur. Gerakannya cukup cekatan ketika mencampur beberapa bahan. Bahkan sebelum masakannya matang, aroma harum sudah tercium. Tidak ada interaksi apa pun di antara keduanya. Sampai akhirnya Tari menyelesaikan cucian piring terakhir dan Baskara menghentikan aktivitas memasaknya sejenak. "Oh, kenapa tubuhmu selalu membuatku tergoda?" Sebuah tangan kekar melingkar di pinggang Tari. Dari arah belakang, Tari bisa merasakan bibir Baskara kembali menyusuri lehernya. "Kenapa aromamu selalu membuatku bergairah? Hm?" Tari memejamkan Mata. Di saat yang bersamaan Tari merasa takut dan ... keenakan. Bibir Baskara beralih menekuni sepanjang punggung Tari. Telapak tangannya kembali menyentuh dua gunung kembar itu dan memainkannya perlahan. Tari semakin merasa terbang. Tari ingin menghindar, tetapi di satu sisi dia ingin merasakan sentuhan itu jauh lebih dalam. "Saya rasa ... saya tidak akan pernah melepaskanmu! Sedetik pun!" Bisikan Baskara menusuk indra pendengaran Tari. Membuat Tari berkali-kali menelan ludah sembari mendesah. "Tuan ...." "Kita akan menikah, Tari," ucap Baskara, tepat di telinga kirinya. "Saya akan memilikimu seutuhnya." Sentuhan tangan kekar itu semakin jauh. Nyaris sekujur tubuh Tari berhasil diraba. Lalu ketika tubuh mereka menempel erat, Tari tahu persis milik Baskara sudah berdiri tegak di bawah sana. "Oh, sial! Sepertinya saya sudah sangat mencintaimu." Lagi dan lagi Tari kembali merasakan sensasi yang sama. Sensasi ketika disentuh dan dimainkan oleh tangan terampil Baskara. Bedanya kali ini Tari jauh lebih terbiasa. Dia tidak lagi memberontak habis-habisan seperti kemarin malam. Di saat Baskara melepas kancing baju Tari, wanita itu teringat satu hal. 'Ternyata kelemahan seorang Baskara Samudra adalah ... sebuah hubungan intim yang begitu menggairahkan.' ***Karena gairah Baskara semakin meningkat, pria itu tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Terlebih Tari berkali-kali mendesah tanpa perlawanan sedikit pun.Baskara segera membawa Tari ke dalam kamar. Dia sudah lupa dengan masakannya di atas kompor ataupun cucian yang masih belum rampung di wastafel.Begitu sampai kamar, tubuh Tari langsung dibanting ke ranjang dan Baskara kembali menyesapi sekujur tubuhnya dengan lebih liar lagi.Baskara mulai melepas satu per satu pakaian yang membalut Tari. Setelah itu dia beralih melucuti dirinya sendiri.Wanita itu mengenakan bra yang hampir serupa seperti kemarin malam. Berwarna merah, dengan sedikit hiasan di tengahnya. Bra itulah yang membuat Baskara semakin dan bermain jauh lebih beringas dari sebelum-sebelumnya.Begitu seluruh pakaian mereka terlepas, adegan panas kembali terjadi. Tari hanya bisa pasrah karena pertahanan Baskara jauh lebih kuat dari dirinya."Tuan ..., sakit ....""Biar aku ajari cara bermain yan
"Saya baru saja melihat riwayat lokasi yang kamu kunjungi. Sudah satu jam yang lalu kamu tiba di perusahaan, tapi kenapa kamu tidak kunjung kembali ke ruangan saya?" Sudah Tari duga. Satu langkah masuk ruangan saja omelan sang Bos langsung meledak. Tari memaki, yang tentunya hanya dalam hati. "Tadi ada karyawan yang mengajak saya mengobrol, Tuan." Alibi Tari. Mata Baskara tidak lepas dari komputer di mejanya. Wajahnya terasa semakin mencekam begitu mendengar jawaban Tari. "Di mana?" "Di lobi." Baskara tertawa garing. Tari akui dia salah. Sejak tadi ponselnya dipegang oleh Raka. Yang mana Raka sendiri langsung kembali ke ruangannya begitu tiba di kantor. Beberapa menit lalu Tari memang sempat masuk ruangan Raka dan meminta ponselnya kembali. Sialnya Tari tidak sempat membuat alasan yang cukup logis supaya bosnya itu tidak curiga kenapa Tari bisa ada di ruangan Raka. "Saya yakin GPS yang saya pasang sangat akurat. Kenapa kamu ke ruangannya
Usai mengecek langsung ke lokasi proyek, Raka mengajak Tari kembali ke kantor. Namun, Tari segera menolak. Tari bercerita pada Raka bahwa dia punya janji temu dengan salah seorang temannya. Sayangnya Baskara sedang melakukan penjagaan ketat pada Tari lewat sambungan GPS. Makanya dia sempat minta tolong Raka untuk membawa ponselnya kembali ke kantor. Dengan begitu Baskara tidak akan curiga apa pun padanya. Raka menyanggupi. Sebagai bawahan yang juga sering terkena omelan maut Baskara, Raka tahu persis Tari tidak ingin hidupnya habis hari ini juga. Kini Tari sudah bertemu dengan Mona di sebuah kafe yang tidak jauh dari lokasi proyeknya. "Gue harus apa, Mon? Bahkan dia naruh chip di HP gue buat ngelacak tempat mana aja yang gue datengi, jam berapa aja, dan dia selalu monitoring apa pun yang gue lakuin." Tisu di atas meja sudah habis lima. Begitu mereka bertemu dan saling memeluk satu sama lain, Tari tidak bisa mengendalikan diri lagi. Wanita itu langsung m
"Vendor mengadu ke bagian WD dua terkait keterlambatan laporan bulanan, Pak Bas. Data penjualan yang seharusnya sudah kita setor dua minggu yang lalu baru dikirim lima hari kemarin." Salah seorang penanggung jawab dari bagian manajemen pemasaran menemui Baskara ke ruangannya. Saat ini Baskara tengah menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil memejamkan mata. Sesaat dia menghela napas setelah mendengar pengaduan yang sama seperti dua minggu lalu. "Bawa salah satu pimpinan bagian keuangan ke hadapan saya sekarang juga!" "Baik, Pak Bas." Orang itu segera menunduk, memberikan penghormatan pada Baskara lalu pamit pergi. Tentu Baskara tidak memberikan penghormatan balik. Pria itu memang terkesan cukup keras biarpun usianya masih sangat muda. Meski saat ini posisi duduk Tari cukup jauh dari Baskara, tetapi wanita itu bisa mendengar jelas umpatan yang baru saja keluar. "Buatkan saya kopi hitam seperti biasa!" Baskara memerintah tanpa menoleh
"Berani-beraninya kamu melanggar peraturan yang saya buat!"Plak!"Ampun, Tuan, saya memang bersalah. Ampun ..., mohon ampuni saya.""Tidak ada kata ampun untukmu, Perempuan Sialan! Hari ini kamu harus membayar semua kesalahanmu!"Baskara mendorong tubuh asistennya ke kasur. Kini Tari tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah. Tenaga semakin melemah lantaran sang Bos menindasnya habis-habisan."Jangan harap setelah ini kamu bisa lepas dari saya, Tari!"Tubuh Tari ditelentangkan. Kedua kakinya dihimpit menggunakan paha besar Baskara. Sementara, tangannya dicengkeram kuat-kuat hingga Tari tidak mampu berkutik lagi.Tari menangis sejadi-jadinya. Dia terus menggigit bibir, mengamit doa supaya Tuhan menurunkan pertolongan dalam bentuk apa pun. Demi Tuhan dia tidak mau dihabisi oleh bosnya malam ini."Saya tidak akan puas kalau pertanggungjawabanmu hanya sebatas menghapus semua skandal tentang saya di media! Saya baru bisa puas kalau kamu ...."Tari